Cerita

Diplomasi Sepak Bola yang Melejitkan Filipina

Sebelum tahun 2010, sepak bola Filipina bukan apa-apa. Mereka lebih dikenal sebagai penggembira, atau lebih parah lagi, lumbung gol di turnamen antarnegara Asia Tenggara. Namun saat ini, di tahun 2018, mereka memastikan kelolosan ke Piala Asia 2019. Apa yang membuat sepak bola Filipina berkembang pesat?

Perlu diketahui bahwa sepak bola bukan olahraga favorit di Filipina. Negara kepulauan ini lebih dikenal dengan prestasi basketnya, yang sudah mengakar kuat selama 50 tahun lebih. Itu dikarenakan Filipina adalah bekas negara jajahan Amerika Serikat. Bahkan saking populernya basket, dua pemain timnas di era 1950-an dan empat di tahun 1970-an sampai beralih profesi jadi pemain basket, karena alasan finansial.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa sepak bola hanya sekadar olahraga biasa di Filipina, yang tidak dikemas dengan gemerlap layaknya pesta di Indonesia. Lalu mengapa bisa membawa mereka, yang dulu pernah dibantai 13-1 oleh Indonesia dan 15-1 oleh Malaysia, tapi tahun depan bermain di Piala Asia? Setidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya.

Bantuan FIFA

Filipina sudah mengenal sepak bola sejak tahun 1890-an dan diikuti dengan terbentuknya tiga klub di Manila. Namun setelahnya, permasalahan yang mereka hadapi tetap sama sampai era milenium baru, yaitu dana dan animo penonton yang minim.

Dua permasalahan tersebut bukan hal sepele, karena seperti yang telah diuraikan di awal artikel, sepak bola Filipina jauh kalah pamor dibanding basket, padahal mengelola sepak bola perlu dana besar. Masalah finansial ini sampai membuat beberapa pemain timnas alih profesi ke basket, dan membuat Filipina kesulitan menggulirkan liga secara rutin.

Berbekal pengalaman tersebut, Filipina kemudian berdiplomasi ke FIFA, mengajukan proposal bantuan pengembangan sepak bola pada tahun 2000. Filipina mengajukan empat tahap pembangunan, yang terus dilakukan secara berkala selama 13 tahun. Proyek tersebut kemudian disetujui FIFA.

Dimulai dari tahun 2000, FIFA membangun 6 kompleks sepak bola di Iloilo, Laguna, Negros Ocidental, Cagayan de Oro, Zamboanga, dan Agusan del Sur. Enam tahun kemudian, dibentuklah kantor federasi sepak bola Filipina (PFF) di Manila, lalu dilanjutkan renovasi stadion timnas, Rizal Memorial Stadium, pada Agustus 2012.

(Foto Rizal Memorial Stadium)

Rizal Memorial Stadium. Kredit: Shutterstock

Proyek FIFA kemudian rampung pada tahun 2013, dengan dibangunnya pusat latihan di Bukidnon, yang terdiri dari lapangan dengan rumput asli, asrama, kamar ganti, dan perkantoran. Dengan infrastruktur yang telah memadai, United Football League (UFL) yang sejak 2009 hanya terdiri dari satu kasta, dapat melahirkan divisi dua pada tahun 2014.

Dengan infrastruktur yang telah memadai, AFC kemudian mengikutsertakan Filipina ke AFC President Cup, kompetisi untuk negara-negara yang baru mengembangkan bibit sepak bolanya seperti Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Pakistan, Sri Lanka, dan Korea Utara. Dua klub Filipina yang bermain di ajang itu adalah Global FC (sekarang bernama Global Cebu FC) pada 2013, dan Ceres-La Salle (sekarang bernama Ceres-Negros FC) pada tahun 2014.

Tidak asal naturalisasi

(Foto duo Younghusband)

Duo Younghusband. Kredit: Davao Today

Beralih ke tim nasional, dengan liga yang berjalan rutin dan proses pembinaan pemain muda yang terus berlanjut, diharapkan dapat membawa peningkatan signifikan pada timnas Filipina. Namun, karena kebangkitan sepak bola mereka belum lama dilakukan, Filipina butuh sesuatu untuk mempercepat perkembangan timnasnya. Cara yang ditempuh adalah naturalisasi, tapi mereka tidak asal menaturalisasi.

Ada kriteria-kriteria khusus yang diterapkan PFF untuk menaturalisasi pemain keturunan Filipina di luar negeri, terutama Eropa. Mereka tidak hanya sekadar tercatat sebagai pemain di klub itu, tapi juga harus memiliki etos kerja ala pemain Eropa.

Mantan pelatih kepala Kaya FC, Fabien Lewis, pernah berkata pada FOX Sports Asia, “Saya yakin Filipina bisa sukses di Asia Tenggara dan klub-klubnya meraih hasil positif di Piala AFC, karena para pemain naturalisasi di sini bisa ikut membangun sepak bola nasional. Mereka memiliki segudang pengalaman di Eropa, dan Filipina mendapat keuntungan besar dari kultur yang terbangun itu.”

“Semua tim besar memiliki akademi, dan para pemain naturalisasi tersebut ikut menyalurkan pengetahuan mereka pada pemain junior. Patrick Reichelt misalnya, lahir di Jerman dan ditempa oleh pelatih-pelatih top di Bundesliga. Lalu ketika bergabung dengan Global Cebu, ia memberikan banyak ide pada klub dari apa yang didapatnya di Jerman,” pungkasnya, tentang pemain yang kini merumput di Liga Thailand bersama Port FC itu.

Contoh lainnya adalah Younghusband bersaudara, yang sudah menimba ilmu di Chelsea selama 1997-2004. Mereka bukan pemain yang hanya satu-dua tahun berkarier di klub top Eropa untuk mempercantik rekam jejak, tapi sudah dilatih selama bertahun-tahun di klub tersebut, sehingga DNA sepak bola Eropa sudah mengakar kuat dalam diri mereka.

Dengan seleksi ketat untuk naturalisasi ini, Filipina bisa membentuk tim nasional yang kompetitif. The Azkals yang dulu pernah terperosok ke peringkat 195 FIFA, pada 2017 lalu sempat menduduki peringkat 116, tertinggi di Asia Tenggara, jauh mengungguli negara seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia, yang selalu jadi unggulan di Piala AFF.

Lalu mengapa para pemain keturunan tersebut mau membela Filipina yang sama sekali tidak ternama di percaturan sepak bola internasional? Ada faktor diplomasi Dan Palami di sana, yang akan kita bahas di bawah ini.

Faktor Dan Palami

Siapakah dia? Dan Palami adalah manajer timnas senior Filipina sejak 2009, dan ia juga diberi kewenangan untuk ikut membangun sepak bola Filipina. Ia terkenal sebagai negosiator ulung, yang menjadi aktor utama di balik kedatangan Michael Weiß, pria Jerman eks pelatih Timnas U-17 Rwanda, yang menjadi tonggak awal dari kemajuan timnas Filipina.

(Foto Dan Palami kalo ada)

Dan Palami. Kredit: Sport Inquirer.net

Palami pula yang berjasa besar membawa Thomas Dooley sebagai pelatih timnas Filipina. Dooley merupakan mantan kapten timnas Amerika Serikat, dan pernah menjadi asisten pelatih Jürgen Klinsmann di tim berjuluk USMNT itu. Dengan kemampuan berbahasa yang baik, Dooley tidak kesulitan berkomunikasi dengan pemain-pemain Filipina yang mayoritas adalah naturalisasi, pun hidup di Filipina yang sedikit banyak menganut kultur Amerika Serikat karena pernah dijajah negara tersebut.

Meski demikian, Dan Palami tidak memulai kiprahnya dengan mudah untuk membangun timnas Filipina. Ia sempat gagal total saat timnas junior kandas di kualifikasi Piala AFC U-19 tahun 2010, dan di awal masa jabatannya memimpin timnas senior, ia banyak menggunakan uang pribadi untuk mendanai tim, karena kesulitan mendapat sponsor.

Dana Palami dulu didapat dari bekas perusahaan miliknya, Autre Porte Global, yang bergerak di bidang pembangunan rel kereta. Perusahaan tersebut juga menjadi sponsor utama Global Cebu FC, klub yang berada satu grup dengan Bali United di Piala AFC 2018.

Sebagai lulusan jurusan akuntansi, Dan Palami paham betul bagaimana mengelola keuangan, dan ilmunya tersebut dikombinasikan dengan pengalaman sebagai mantan bos perusahaan, diaplikasikan dengan sangat baik untuk membina timnas Filipina. Di awal masa jabatannya, ia mengumbar janji akan membawa Filipina menembus 100 besar ranking FIFA.

Kini di tahun 2018, Filipina semakin dekat dengan impiannya itu. Menempati peringkat 122 dan akan bermain di Piala AFF 2018 serta Piala Asia 2019, skuat asuhan Thomas Dooley berpotensi besar untuk menembus 100 besar jika meraih hasil positif.

Sebuah peningkatan pesat, dari negara yang 26 kali perjumpaannya dengan timnas Indonesia, hanya menang 2 kali dan kalah 24 kali. Hanya memasukkan 20 bola, dan kemasukan 106 gol.

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.