Piala Dunia di Rusia nanti terancam tak diikuti oleh timnas Inggris, hal ini terjadi setelah Sergei Skripal, seorang mata-mata asal Rusia yang kemudian membelot diracuni bersama anaknya. Pelakunya diduga merupakan orang suruhan pemerintah Rusia.
Kejadian ini kemudian membuat pemerintah Inggris merasa perlu memikirkan keikutsertaan timnasnya pada Piala Dunia nanti. Faktor keamanan menjadi alasan boikot tersebut. Dikutip dari The Guardian, Perdana Menteri Inggris, Theresa May, mengatakan bahwa penyerangan tersebut tak hanya ditujukan kepada Sergei saja, melainkan mengancam masyarakat Inggris.
Jika rencana pemboikotan tersebut dilakukan maka hal itu akan menambah daftar tindakan boikot dalam sepak bola, terlebih dalam Piala Dunia.
Baca juga: Kisruh Politik dengan Rusia, Inggris Mempertimbangkan Mundur dari Piala Dunia 2018?
Ya, gelaran akbar tersebut boleh dibilang akrab dengan aksi boikot. Sudah sejak 1934, atau saat Piala Dunia II, aksi boikot tersebut sudah dilakukan oleh timnas Uruguay. Tindakan boikot tersebut merupakan bentuk protes atas minimnya keikutsertaan tim-tim Eropa pada gelaran Piala Dunia sebelumnya. Hanya empat tim Eropa yang ikut dalam Piala Dunia pertama.
Juga pada tahun 1950, saat itu FIFA memberikan satu slot kualifikasi untuk negara di Asia dan India menjadi negara yang paling mungkin berlaga di pentas tertinggi sepak bola yang diadakan di Brasil kala itu. Namun apa daya, India kemudian memutuskan mengundurkan diri. Sebabnya adalah FIFA tidak memenuhi permintaan mereka yakni bermain dengan tidak menggunakan sepatu alias bertelanjang kaki.
Namun ada kabar lain yang menyebutkan bahwa sebab pengunduran diri tersebut lebih karena alasan ketiadaan dana, serta pemerintah India yang menganggap Piala Dunia bukanlah turnamen penting.
Atas alasan yang nyaris sama itulah Inggris di awal-awal pernah memboikot Piala Dunia, karena mereka menganggap turnamen yang mereka adakan jauh lebih berggengsi. Sebuah keangkuhan yang khas. Bahkan Charles Sutcliffe, salah seorang anggota FA kala itu, menganggap Piala Dunia sebagai sebuah lelucon.
Seperti sebuah karma, beberapa tahun kemudian Inggris yang balik diboikot. Jika sebelumnya aksi boikot hanya dilakukan oleh satu-dua negara, tidak pada saat Inggris menjadi tuan rumah di tahun 1966 sebab saat itu mereka diboikot oleh satu konfederasi, yakni negara-nagara yang berada dalam anggota CAF di Benua Afrika.
Penyebabnya bermula pada tahun 1964 ketika FIFA mengeluarkan sebuah keputusan kontroversial yang dianggap mendiskriminasi negara-negara Afro-Asia. Bagaimana tidak, FIFA menetapkan 16 slot dalam Piala Dunia yang dimenangkan tuan rumah itu, dari 16 terbagi masing-masing 10 slot untuk zona Eropa, 4 slot untuk zona Latin, serta 1 slot untuk zona Amerika Tengah dan Karibia. Sedangkan zona Afrika, Asia, dan Oseania digabung menjadi satu dan hanya memperoleh 1 slot.
Menanggapi aturan tersebut petinggi, CAF lantas mengirimkan nota protes ke Zurich. Dalam salah-satu telegram yang dikirimkan oleh Ohene Djan, direktur olahraga Ghana, mengatakan bahwa keputusan FIFA itu menyakitkan hati dan mesti dicabut.
“Pendaftarkan keberatan keras terhadap peraturan tak adil atas negara-nagara Afro-Asia. Negara di Afrika berjuang melalui serangkaian kualifikasi mahal yang menyakitkan untuk berlaga di fase final adalah sesuatu yang menyedihkan”, tulis Djan dalam telegramnya seperti dikutip dari laman BBC.com.
Sedangkan Tessema Yidnekatchew, mantan pesepak bola asal Ethiopia menganggap aturan tersebut sebagai “sebuah lelucon ekonomi, politik, dan geografi”.
Bukan hanya alasan diskriminasi saja yang menjadi pertimbangan protes tersebut melainkan juga pertimbangan ekonomi yang dianggap terlampau mahal. Bagaimana tidak, dengan aturan tersebut berarti negara-negara Afrika mesti melakukan lawatan ke Asia, begitupun sebaliknya. Dan lawatan kualifikasi itu tentu akan memakan biaya yang tidak sedikit. Atas dasar itulah CAF bersikeras memprotes keputusan FIFA, mereka mengancam akan melakukan boikot hingga permintaan mereka disetujui.
Lagi-lagi soal politik
Aksi-aksi boikot piala dunia memang kebanyakan tak ada hubungannya dengan sepak bola itu sendiri, tetapi lebih karena intrik politik yang melibatkan negara-negara di dalamnya. Keputusan FIFA menggabungkan Afrika dengan Asia dan memberikan satu slot itu tak bjsa tidak merupakan tindakan politis.
Saat itu kita tahu benua Afrika, khususnya Afrika Selatan masih berkutat dalam kebengisan sistem Apartheid. Sebuah sistem yang memisahkan ras kulit hitam dan kulit putih dalam segala hal. Sistem ini bermula dari kedatangan Inggris yang kemudian berdampak pada meletusnya Perang Boer.
CAF memang mempunyai sikap yang keras terhadap sistem tersebut. Pada tahun 1960, CAF memutuskan untuk mendepak Afrika Selatan dari keanggotaannya. Alasannya karena sistem yang dianut Afrika Selatan saat itu dianggap tidak menjunjung kemanusiaan.
Aksi boikot CAF membuahkan hasil, bahkan boleh dibilang membawa perubahan signifikan pada gelaran Piala Dunia. Dua tahun setelah Piala Dunia ke-8 di Inggris, FIFA menyetujui permintaan mereka dan memisahkan slot untuk negara-negara di Afrika dan Asia.
Author: Rizal Syam