Kota Berlin terkenal karena berbagai alasan dan salah satunya adalah obrolan malam di bar penuh asap rokok dan juga manusia. Obrolan malam yang tiba-tiba menjadi obrolan seru dan mendalam. Hari itu, di mana beberapa gelar bir tergenggam erat di dada kami, saya dan teman saya mendiskusikan betapa gemilangnya seorang Freddie Ljungberg.
Saya tidak ingat bagaimana sosoknya hadir dalam pembicaraan kami. Seingat saya, namanya muncul ketika kami membicarakan sebuah klub amatir lokal, SFC Friedrichshain Internazionale, yang sehari sebelumnya menang 7-1 dan unggul enam poin di puncak klasemen.
Ljungberg menurutku adalah contoh pemain terbaik yang memiliki pergerakan yang luar biasa dan salah satu penyerang kami yang sudah menyentuh standar permainan seperti pemain asal Swedia saat itu. Hingga saat ini, saya tahu dengan pasti bahwa para pemain Swedia, dengan Zlatan Ibrahimovic dijadikan pengecualian, kurang disorot ketika membicarakan tentang sepak bola. (Jangan lupa kalau Zlatan, secara efektif, harus menjadi agen dari Public Relation (PR) untuk dirinya sendiri agar disorot oleh dunia.) Henrik Larsson juga begitu, tidak mendapat apresiasi yang sepadan seperti halnya Ljungberg.
Ketika Larsson menjadi pemain kelas dunia di luar sana, Ljungberg mencapai level tertingginya hanya di satu momen: lari yang dia lakukan untuk mencetak gol. Pergerakan seperti itu memang bisa dilatih, namun para pesepak bola hebat punya naluri yang membuat mereka bergerak.
Ibaratnya, seperti juru masak yang tahu berapa rempah-rempah yang harus ditambahkan untuk membuat bumbu, atau seorang pegolf yang tahu seberapa kuat tenaga yang harus disalurkan ke besi pemukul. Jika berbicara tentang kemampuan pergerakan pemain, Ljungberg adalah jagonya; seorang profesor di kotak penalti, seorang ahli di bidang serangan balik.
Awalnya, keahliannya tersebut tidak menonjol. Saat bergabung dengan Arsenal, Ljungberg lebih dikenal karena warna rambut neon yang menghiasi kepalanya. Selebihnya, tidak ada yang menonjol dari pria Swedia itu. Dia punya etos kerja yang luar biasa, tapi itu tergolong biasa karena dia bermain sebagai pemain sayap di Liga Primer Inggris, jika benar itu adalah posisi dia sebenarnya (saya sekarang curiga kalau dia itu adalah seorang second striker yang bergerak menyusur sisi lapangan, seorang pencuri gol ulung di menit-menit terakhir.) Total gol di dua musim pertamanya tidak terlalu mengesankan, rata-rata golnya kurang dari satu di setiap lima pertandingan The Gunners. Namun di musim 2001/2002, performanya meledak.
Ljungberg membobol gawang sebanyak 17 kali dalam 39 pertandingan, menjadi pencetak gol arahan sang arsitek, Dennis Bergkamp. Pasti akan ada yang mengejar bola yang dikirim oleh si pemain Belanda yang terlihat tanpa tujuan tersebut. Dan para bek tengah pun akan ketakutan ketika Bergkamp melakukan hal yang jarang dilakukannya itu.
Setiap Bergkamp melakukannya, pasti ada Ljungberg di ujung bola. Golnya, sama seperti larinya, datang di menit-menit pertandingan. Momen yang paling diingat mungkin saat Arsenal berhadapan dengan West Ham pada bulan April tahun 2002.
Saat itu, Arsenal sedang mengejar gol untuk merebut titel liga. Namun, The Gunners dibuat frustrasi dengan pertahanan sempurna yang diperagakan Glenn Roeder hingga di menit ke-80. Di saat itulah, di jarak 40 meter dari gawang, Bergkamp berhasil menguasai bola. Penyihir dari Belanda itu melihat sekitar dan menemukan teman Swedia-nya tersebut. lalu, Ljungberg pun melakukan apa yang sering dilakukannya.
Saya tidak tahu bagaimana Ljungberg bisa tahu gerakan yang paling dibenci oleh para bek. Tahun itu, terlihat jelas bahwa dia tahu rahasianya. Aku tahu tentang hal itu saat aku bermain sebagai gelandang bertahan selama dua tahun di liga amatir. Gerakan lari yang paling saya benci adalah ketika seorang penyerang datang dengan kecepatan penuh di tempat yang pas dengan bola terobosan.
Sebagai bek, kalian tidak bisa mengalihkan pandangan ke kedua tempat secara cepat. Bisa saja, jika kalian mau gantung sepatu dengan brace di leher atau kalian mau memutus leher kalian. Melawan West Ham dan berhadapan dengan seorang bek mereka, Ljungberg muncul dan bergerak ke arah umpan Bergkamp yang terlihat lembut. Ljungberg berhasil mendapatkannya dan 1-0 untuk Arsenal; mereka berhasil memenangkan pertandingan dan juga liga.
Saya masih membayangkan bagaimana cara memaksimalkan permainan Ljungberg di era saat ini. Saya membayangkan dirinya bermain untuk Atletico Madrid, bermain menjadi pelayan setia Diego Simeone, jarang mencetak gol namun dapat diandalkan ketika bermain tandang. Ada sesuatu yang lebih dalam dirinya, di balik potongan rambutnya tersebut, yang mengingatkan saya kepada sikap kejam dan kemurkaan dari pelatih asal Argentina itu. Dua sikap yang sudah lama mengintai sikap lemah lembut Arsene Wenger. Dan di balik obrolan pada malam di Berlin itu, kamu berpikir betapa semangat dari Ljungberg sangat dibutuhkan Arsenal saat ini.
Author: Musa Okwonga
Penerjemah: Budy Darmawan (@budydiew)