Eropa Lainnya

Orang Inggris dan Balet Tchaikovksy di Pedalaman Swedia

Ketika wasit Juan Martinez Munuera meniup peluit akhir di Jämtkraft Arena malam itu, ia baru saja mengakhiri sebuah pertandingan bersejarah, bagian dari sebuah dongeng yang sedang ditulis.

Tuan rumah Östersunds baru saja mengalahkan tamu mereka, raksasa Turki Galatasaray, dua gol tanpa balas di laga pertama putaran kualifikasi kedua Liga Europa UEFA 2017/2018. Di hadapan lima ribu penonton setia mereka, gol-gol Saman Ghoddos dan Jamie Hopcutt sudah cukup untuk memastikan sang tamu pulang ke Istanbul dengan tangan kosong.

Namun yang lebih mengagumkan lagi, inilah kali pertama Östersund tampil di pentas Eropa. Jalan mereka menuju Liga Europa mungkin adalah salah satu yang paling menarik untuk disimak pada musim ini. Bagaimana bisa mereka melakukannya?

Östersunds sendiri bukanlah tim yang tenar-tenar amat. Bila kita berbicara soal sepak bola Swedia, maka yang tersebut mungkin nama sang legenda, Zlatan Ibrahimovic dan penyerang ikonik, Henrik Larsson, atau tim-tim yang sudah jamak muncul di Liga Champions seperti Malmö FF, pemegang sembilan belas titel nasional. Tak ada yang akan langsung terlintas berpikir soal tim yang bermarkas di wilayah Jämtland, nun jauh di utara negeri.

Kisah mereka bermula pada 1996, tak lebih dari dua dekade lampau. Östersunds FK berdiri setelah bergabungnya tiga klub lokal di wilayah Jämtland, yaitu Östersund FF, Ope IF dan IFK Östersund. Dari ketiga tim itu, IFK Östersund adalah yang tertua, telah berdiri sejak 1908. Ketiganya boleh pula disebut tim semenjana, karena tak satupun dari mereka pernah berprestasi di luar kota berjuluk vinterstaden (kota bersalju) ini.

Tim yang baru berdiri ini memulai hidup mereka di kasta ketiga sepak bola Swedia, Division 2, pada 1997. Adalah Daniel Kindberg, sang direktur sepak bola yang kini menjabat ketua klub, yang memulai perubahan. Di awal tahun 2000, ia menjalin kontak dengan Swansea City, yang saat itu masih bermain di kasta bawah di Inggris. Hubungan inilah yang di kemudian hari terbukti krusial dalam membantu perjalanan Östersund menuju kasta tertinggi.

Salah satu buah kerja samanya dengan The Swans adalah menambahkan cita rasa Britania ke tim pedalaman Swedia ini. Graham Potter tiba untuk mengisi kursi pelatih kepala pada Desember 2010. Östersund baru saja terdegradasi ke kasta keempat musim sebelumnya. Potter, mantan bek tengah Southampton yang menghabiskan sebagian besar kariernya di kasta bawah sepak bola Inggris ini, membawa angin segar, dalam bentuk yang tak diduga semua orang.

“Jika yang kami lakukan hanyalah bermain sepak bola, maka itu hal yang semua pemain merasa nyaman untuk dilakukan,” jelas Potter dalam sebuah wawancara dengan Daily Mail. “Jika Anda ingin membina mereka sebagai manusia, Anda harus menghadapkan mereka dengan pengalaman yang tak membuat nyaman.”

Berkolaborasi dengan Kindberg, pria asal Solihull ini membangun tim sepak bola layaknya memimpin sebuah sanggar seni nyentrik. Setiap musim, Östersund menyelesaikan paling tidak satu proyek kesenian. Itu boleh jadi menyelenggarakan pameran seni, menulis buku atau membuat pertunjukan teater. Seluruh komponen klub terlibat: koreografer dan pelatih seni serius diterbangkan untuk melatih sekumpulan atlet di pedalaman Swedia yang dingin menari-nari mengikuti musik klasik.

Potter menerapkan kebijakan nyentrik ini dari pengalaman. Ia tahu betul bahwa ia perlu membuat perbedaan di kota kecil ini. Östersund terletak lebih dari tiga ratus mil di utara ibu kota Stockholm dan mereka bermain di divisi empat. Tak ada yang dapat menarik pemain bertalenta ke pertandingan yang hanya dihadiri lima ratus orang paling banyak dan dengan cuaca dingin mencucuk tulang. “Ini hampir samar bedanya dengan hilang akal,” ujarnya mengenang masa-masa awal. “Kami harus kreatif mencari pemain.”

Ia terhubung dengan Östersund lewat Graeme Jones, mantan rekan setimnya yang bekerja sebagai asisten Roberto Martinez di Swansea, Everton dan kini di tim nasional Belgia. Pada musim pertamanya, ia mengangkat mereka ke kasta ketiga. Hanya perlu semusim bagi mereka untuk mencapai Superettan, kasta kedua sepak bola Swedia. Jämtkraft Arena, kandang baru mereka yang berkapasitas 8.500 orang, dibuka pada bulan Juli 2007.

“Kami pernah berperan dalam pertunjukan teater, kami sudah pernah melukis, kami sudah pernah menari dan kami sudah pernah bernyanyi. Saya bagian dari seluruhnya dan tak ada yang makin mudah,” ujar Hopcutt, gelandang asal Inggris yang bergabung pada 2012. Tahun lalu, para pemain dan pelatih mempertunjukkan modern dance diiringi Swan Lake, Op. 20, salah satu mahakarya balet yang digubah maestro Rusia, Peter Tchaikovsky.

Di lapangan, filosofi Potter diterjemahkan menjadi sebuah permainan yang cepat namun beradab dan penuh determinasi. Mereka bertahan tiga musim di Superettan sebelum mencapai promosi ke Allsvenskan, kasta tertinggi. “Ini sangat besar,” ujar Potter, “karena tiba-tiba mereka dapat menonton Malmo, IFK Goteborg, dan AIK (tiga tim besar Swedia) di kota mereka sendiri. Benar-benar mengasyikkan.”

Sementara mereka mengejar mimpi-mimpi di kasta tertinggi, Östersund tak melupakan misi yang membuat mereka klub yang berbeda. Dengan tibanya banyak pengungsi dari wilayah konflik di Suriah dan negara Timur Tengah lainnya ke Swedia, para pemain melayani anak-anak pengungsi dengan program membaca buku dan bermain bola bersama.

Musim lalu, perdana di Allsvenskan, Östersund finis di peringkat delapan dari enam belas tim: sangat mengagumkan untuk tim yang masih bermain di kasta ketiga tepat dua dekade lalu. Kindberg sang ketua malah tak sepakat. Kala diwawancarai koran nasional Aftonbladet, ia berujar eksplosif. “Finis di peringkat delapan itu sangat memalukan. Kami akan memenangi Allsvenskan.”

Yang mengesankannya, seperti gerakan balet mereka yang lincah dan tanpa putus, Östersunds seakan tak peduli dengan tantangan besar yang mereka hadapi. Anak-anak asuh Potter juga memenangkan Piala Swedia musim lalu setelah mengalahkan Norrkoping, juara bertahan liga, di final. Titel pertama mereka berbuah satu tiket di Liga Europa musim ini, mempertemukan mereka dengan Galatasaray.

“Mudah untuk mengatakan, ‘mereka tak akan dapat melakukan itu di kasta tertinggi Swedia’, atau ‘mereka takkan dapat melakukannya melawan Galatasaray’,” ujar Potter. “Adalah tugas kami untuk membuktikan betapa salahnya sikap seperti itu ketika kami mendapatkan kesempatan seperti ini. Dalam sepak bola, Anda membutuhkan kisah seperti kami untuk menunjukkan apapun bisa terjadi.”

Author: Ramzy Muliawan (@ramzymuliawan)
Penulis dan pembaca. Penikmat kopi hitam, punk rock dan Luca Toni.