Tribe Ultah

Alessandro Nesta, Bukan Bek Biasa

Bek, pemain belakang, atau pemain bertahan, sebuah posisi yang sering digambarkan sebagai kumpulan pemain-pemain keras. Mengandalkan fisik, tidak segan menjatuhkan lawan, dan tidak jarang mendapat kartu merah. Namun, segala stereotip negatif itu tidak berlaku untuk Alessandro Nesta.

Dibesarkan dalam kultur catenaccio, dan digembleng di dua klub besar Italia, Nesta tumbuh sebagai bek yang halus, di bawah asuhan pelatih-pelatih jempolan seperti Sven-Göran Eriksson, Zdenek Zeman, dan Carlo Ancelotti. Nesta, yang di awal kariernya bermain sebagai penyerang dan gelandang, menjelma jadi bek bernilai seni tinggi dengan beragam prestasi.

Di Lazio dan AC Milan ia memenangi trofi-trofi bergengsi di skala nasional dan Eropa. Mulai dari Serie A, Coppa Italia, Piala Super Italia, Liga Champions, dan Piala Super Eropa, semua pernah ia juarai bersama I Biancocelesti dan I Rossoneri. Itu belum termasuk medali yang didapatnya bersama Gli Azzurri, seperti Piala Eropa U-21, Liga Primavera, dan puncaknya tentu saja, Piala Dunia 2006.

Karier Nesta memang luar biasa. Selain sederet prestasi di atas, ia juga pernah memperoleh beragam penghargaan individu, di antaranya Pemain Muda Terbaik Serie A, termasuk ke daftar 100 pemain terbaik versi FIFA, terpilih ke tim terbaik seperti Piala Eropa, FIFPro, dan UEFA, lalu dinobatkan sebagai bek terbaik Serie A selama empat musim beruntun pada tahun 2000 hingga 2003.

Sebagai seorang bek, torehan sebanyak itu jelas terbilang luar biasa. Lalu mengapa karier Nesta bisa bergelimang prestasi? Karena dia bukan bek biasa.

Seperti yang disebutkan di awal artikel, bek adalah posisi yang identik dengan permainan kasar, tapi Nesta justru sebaliknya. Sepanjang karier Nesta adalah bek yang sangat estetis. Tekelnya sangat halus dan hampir selalu tepat sasaran, pengawalannya kalem tapi mematikan, bahkan kontak fisiknya terlihat tidak menyakitkan tapi sangat efektif dalam merebut bola.

Nesta bukan bek biasa. Kalau pemain-pemain seperti Diego Maradona, Juan Riquelme, Lionel Messi, dan Andrea Pirlo mendapat sebutan seniman lapangan hijau karena kemampuan olah bolanya, Nesta adalah seniman berbeda dari posisi yang kerap dianggap tidak memiliki karya seni. Ia melukis dengan seluncuran tekelnya, mewarnainya dengan sundulan yang terarah, lalu dilengkapi dengan penempatan posisi yang tepat.

Kehebatannya itu bahkan tidak luntur di usia senja. Pernah suatu ketika saat ia berusia 36 tahun, berhadapan dengan Messi yang 12 tahun lebih muda darinya. Di babak perempat-final Liga Champions 2011/2012 itu, Nesta merebut bola dari kaki Messi dengan tekel yang sangat presisi, Sangat halus, bahkan sesaat La Pulga tidak menyadari kalau bola sudah terebut dari kakinya.

Terjatuh Messi di kotak penalti, tapi dia tidak protes ke wasit untuk meminta penalti. Ia justru terdiam, terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan Nesta, tapi ia hanya sanggup menggerutu dalam hati. Seorang bek berusia 36 tahun, yang sudah jauh melewati masa jayanya, membuat seorang dewa sepak bola masa kini tak berdaya.

 

Tandem sehati

Meski secara individu Nesta adalah bek jempolan, tapi ia tidak akan sanggup bekerja sendirian terus menerus. Ia butuh tandem, yang kompak, saling melengkapi, dan juga berjiwa pemimpin. Alkisah, lalu tersebutlah nama-nama seperti Paolo Negro, Paolo Maldini. Thiago Silva, Kakha Kaladze, Alessandro Costacurta, sampai Siniša Mihajlović dan Jaap Stam.

Dari deretan bek kelas kakap itu, tiga nama pertama adalah pemain paling layak disebut tandem sehati Nesta.

Paolo Maldini adalah bek yang paling sering berpasangan dengan Nesta di lapangan. Tak kurang dari 194 pertandingan mereka lakoni bersama, dengan rataan 2,02 poin didapat per pertandingan. Keduanya adalah bagian dari keemasan AC Milan di awal tahun 2000-an, yang sekarang coba dilahirkan kembali melalui duet Leonardo Bonucci dan Alessio Romagnoli.

Kemudian Paolo Negro, adalah bek yang menjadi pasangan paten Nesta di Lazio. Sekitar 15.000 menit lebih mereka menghabiskan waktu bersama di lapangan hijau, dan sempat membawa Elang Ibu Kota terbang tinggi di akhir tahun 1990-an. Namun karena Lazio terlilit masalah keuangan, duet ini harus berpisah pada 2002, yang ditandai hengkangnya Nesta ke AC Milan.

Lalu yang terakhir adalah Thiago Silva. Duet yang unik, karena Nesta saat itu sudah melewati masa jayanya, dan ia berpasangan dengan bek yang jauh lebih muda. Namun, kombinasi keduanya justru berbuah manis, salah satunya berujung gelar Serie A 2010/2011.

21 tahun karier Nesta adalah rentang waktu yang penuh suka cita. Meski ia beberapa kali dihantam cedera parah, bahkan sempat absen 8 bulan karena cedera pungggung, pemain kelahiran Roma ini selalu dapat kembali ke performa terbaiknya. Bahkan ketika merumput di Montreal Impact pun ia sempat menjuarai Piala Kanada 2012/2013.

Buon compleanno, Alessandro!

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.