Takkan ada asap jika tak ada api merupakan satu pepatah beken yang kurang lebih bermakna, suatu hal (buruk) tidak akan pernah terjadi andai pemicunya juga tidak pernah ada.
Namun untuk kesekian kali, muncul lagi friksi di antara manajemen Persebaya Surabaya dan suporter setia klub tersebut, Bonek. Asal muasal dari ketegangan ini adalah harga tiket Blessing Game melawan klub asal Malaysia, Sarawak FA, yang bakal diselenggarakan pada hari Minggu besok (18/3) di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya.
Blessing Game sendiri akan menjadi momen krusial bagi Persebaya jelang bertempur di Liga 1 musim 2018. Di acara inilah, launching tim dan seragam anyar bakal dilaksanakan.
Melalui akun media sosialnya, manajemen Bajul Ijo sudah mengonfirmasi bahwa harga tiket pertandingan tersebut, dibagi dalam dua kategori yakni Superfans dan Fans, berada di kisaran 250 ribu dan 50 ribu rupiah.
Harga tiket laga yang ditetapkan oleh pihak manajemen memang berbeda dengan biasanya. Saat bertarung di Liga 2 kemarin serta beberapa laga persahabatan, Persebaya ‘cuma’ mematok biaya senilai 40 ribu rupiah untuk kategori Fans.
Alhasil, naiknya harga tiket itu memantik rasa kesal Bonek. Mereka menganggap bahwa manajemen sedang berusaha memanfaatkan loyalitas Bonek dalam mendukung tim kebanggaannya. Kalimat “hanya cari untung” pun membahana sekali lagi.
Di sisi lain, kubu manajemen lewat sang presiden, Azrul Ananda, menyebut bahwa hal ini adalah satu dari sekian kebijakan tidak populer yang kudu diambil sebagai langkah untuk membangun klub yang mandiri dan sustainable. Lewat catatan yang ia publikasi via laman resmi Persebaya, putra Dahlan Iskan tersebut bahkan siap dijadikan target caci maki.
Jika ditelusuri lebih jauh, apa yang terjadi di antara manajemen Bajul Ijo dan Bonek merupakan suatu hal yang wajar. Kedua belah pihak sama-sama memiliki ‘kepentingan’ dalam hal ini. Namun mesti dipahami juga bahwa kepentingan itu sama-sama bersifat positif.
Lantas, kepentingan apakah itu?
Seperti yang sudah beberapa kali Azrul ungkapkan, membangun Persebaya untuk menjadi klub yang mandiri dan sustainable bukanlah pekerjaan ringan. Butuh usaha keras yang menyita tenaga dan waktu guna mewujudkan hal tersebut.
Terlebih, manajemen yang ia pimpin bisa dikatakan tengah berjudi karena iklim sepak bola nasional masih jauh dari kata ideal. Contoh sederhananya, jadwal pertandingan yang acapkali berubah (bahkan Liga 1 2018 sudah mengalami beberapa kali pengunduran jadwal) sehingga memaksa pihak klub memutar otak agar biaya operasional tak semakin membengkak dan membebani sektor finansial.
Sekali saja bermasalah, akan banyak efek negatif yang dapat membelit Bajul Ijo saat mengarungi musim. Oleh karena demikian, berbagai kebijakan yang mungkin saja tidak populer akan sering muncul dari manajemen walau sejatinya itu bermanfaat untuk Persebaya.
Di sisi lain, Bonek sebagai kelompok suporter yang amat setia terhadap Persebaya jelas membutuhkan hiburan (menyaksikan pertandingan dari Irfan Jaya dan kawan-kawan) yang menyenangkan dan memacu adrenalin dari klub kesayangannya.
Pendukung kesebelasan sepak bola mana yang tidak gembira saat menyaksikan pujaan mereka beraksi di atas lapangan?
Hal ini berarti, Bonek siap melakukan apa saja demi Persebaya, termasuk membeli merchandise asli hingga membeli tiket pertandingan untuk mendapatkan hiburan itu.
Akan tetapi, wajib dipahami pula jikalau mereka bukan sapi perah yang bisa dijadikan objek mendulang fulus semata. Layaknya para pemain dan pelatih, Bonek adalah aset penting bagi Persebaya. Bonek adalah ruh dari eksistensi Bajul Ijo selama 90 tahun terakhir.
Coba saja bayangkan, menonton laga kesebelasan yang berdiri di tahun 1927 ini tapi tribun penonton sepi akibat Bonek enggan datang ke stadion lantaran harga tiket yang mahal. Seperti apa rasanya?
Lantas, siapa yang bakal merugi jika kondisi itu senantiasa terjadi? Tentu saja manajemen karena pemasukan mereka via pembelian tiket pertandingan merosot drastis. Akibatnya, program untuk membangun klub yang mandiri dan sustainable mengalami gangguan nyata.
Maka dari itu, diperlukan win-win solution terkait problem yang berkelindan di antara manajemen Bajul Ijo dan Bonek. Perihal itu bisa diselesaikan kedua belah pihak dengan mengintensifkan komunikasi. Mencari jalan tengah dari kasus Blessing Game (utamanya harga tiket) adalah keharusan, utamanya saat resmi berlaga di Liga 1 nanti sehingga masing-masing kubu, manajemen dan Bonek, sama-sama merasa nyaman.
Jika masalah semacam ini gagal diselesaikan oleh manajemen dan Bonek, percik-percik friksi bakal terus membayangi langkah Bajul Ijo saat berlaga di Liga 1. Dilihat dari sisi manapun, situasi begini takkan menguntungkan untuk semua pihak. Korbannya pun jelas, Persebaya sendiri.
Guna membangun klub yang mandiri dan sustainable tapi suporternya tetap dapat menyaksikan laga tanpa dihantui kekhawatiran harga tiket yang mahal, manajemen dan Bonek wajib bersinergi di segala lini. Sebuah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Yakinlah, kolaborasi prima dari keduanya justru bisa dijadikan senjata hebat untuk mengantar Persebaya bertransformasi sebagai klub yang luar biasa dalam segala aspek.
#SalamSatuNyali
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional