Penunjuk suhu di mobil yang tim Football Tribe tumpangi kemarin siang (12/10) menunjukkan angka 42 derajat Celcius. Saya paling tidak nyaman dengan suhu dan cuaca yang terlampau panas, apalagi ketika harus berjalan sekitar hampir satu kilometer dari tempat parkir mobil ke Stadion Gelora Bung Tomo. Persebaya Surabaya menjamu Kalteng Putra sore itu.
Sekitar pukul dua siang, kami sampai di kawasan stadion yang resmi dibuka pada 6 Agustus 2010 ini. Bonek sudah tumpah ruah di tepi jalan menuju stadion dan di tegalan-tegalan tambak garam. Mereka berjalan beriringan di bawah terik matahari yang begitu menyengat. Sampai saya berpikir bahwa panas matahari yang sudah membuat saya tak jenak, adalah karib mereka setiap hari.
Beberapa memasang wajah kusut ketika harus mengelap wajah yang dibanjiri keringat. Namun ada juga yang terus mengumbar senyum, meski dahinya dikerubuti bulir keringat sebesar biji jagung. Laki-laki ceria ini tengah kesulitan menyulut kretek, sebelum akhirnya, temannya yang geli melihat tingkah kawannya tersebut, menyodorkan pemantik api yang baru.
Menyaksikan Persebaya bermain bukan ritus yang sering saya lakukan. Dan sore kemarin, dari tribun tingkat kedua Stadion Bung Tomo, sebuah perayaan tersaji. Sedikit kaget, saya sapukan pandangan ke semua sisi tribun stadion. Setidaknya ada tiga kelompok suporter, yang semuanya bernyanyi. Hebatnya, chants yang dinyanyikan semua berbeda, saling sahut. Ramai sekali.
Pada tahap tertentu, kata “perayaan” itu menemui wujudnya. Ya benar-benar perayaan, gemuruh chants dari tiga sisi tribun menjadi latar belakang, dengan pikuk celoteh Bonek dalam bahasa Jawa Timur-an beberapa kali sampai di telinga saya. Bapak dan ibu penjaja es teh bergerak dengan gesit membawa nampak berisi gelas-gelas plastik dengan embun es yang menetes. Menggoda tenggorokan yang asat karena panas menyengat.
Kejadian tiga sisi tribun yang bernyanyi tersebut merupakan sebuah pengalaman yang tak hanya sureal, namun juga ajaib. Sureal dan ajaib karena, misalnya di Yogyakarta, ada dua kutub suporter yang tak (mau) kompak menyanyi. Dan tentu saja ada ketegangan di antara kedua kutub suporter ini. Satu di sisi Selatan, dan satunya di Utara. Bernyanyi dengan selera masing-masing. Berjarak. Seperti memelihara sesuatu yang tak lagi penting.
Namun berbeda dengan kejadian di Stadion Gelora Bung Tomo. Kawan saya, salah satu anggota suporter Persegres Gresik, menjelaskan bahwa yang berada di sisi Utara adalah Green Nord. Di Selatan, kawan saya menyebutnya Bonek saja. Bagaimana dengan sisi Timur? Ya Bonek, dengan keistimewaan bahwa mereka yang berdiri di tribun Timur harus selalu ikut bernyanyi. Tribun Timur Gelora Bung Tomo memang legendaris.
Ketiganya mengekspresikan ikatan emosi dengan Persebaya dengan caranya masing-masing. Di sisi Utara, nyanyian “khas ultras” paling mendominasi. Namun, di sisi Selatan, meski kalah jumlah, tingkat nyaring nyanyian tak bisa dikatakan benar-benar kalah. Keduanya bahkan terdengar bisa saling mengimbangi.
Di sisi Timur? Tribun legendaris? Anggota yang ikut menyanyi paling sedikit, mungkin hanya 100 lebih sedikit. Dua dari dirigen mereka adalah Bonita, atau Bonek Wanita, yang meski terlihat kepayahan karena panas, masih bisa melempar senyum untuk kawan-kawan mereka di tribun legendaris yang mau ikut menyanyi.
Saya berdiri di tribun legendaris ini, sibuk terpukau, dan sesekali ikut menyanyi, meski dalam hati.
Dan saat yang sureal itu menemui puncaknya ketika Green Nord memberi “umpan chants” untuk Bonek di tribun lainnya. Pertama-tama, tribun VIP yang biasanya diam, menimpali dengan semangat. Mungkin ikut gemas lantaran Persebaya kesulitan mencetak gol, meski sepanjang pertandingan memegang penguasaan permainan dan inisiatif.
Lalu, giliran tribun Selatan, tribun Bonek lainnya kata kawan saya, yang menyambut “umpan” dari Green Nord. Mereka saling “menyapa”, saling bersuka dengan perayaan sore itu. Sekejap, saya dibuat merinding. Memang beginilah seharusnya piknik di stadion. Aliran adrenalin, suara gemuruh pendukung, dan persaudaraan yang (seharusnya) erat di antara suporter (kawan sendiri).
Saudara satu emosi dan satu jiwa
Jujur saja, pada awalnya saya kecewa ketika melihat ada dua “Bonek” yang berdiri di dua sisi tribun dengan chants yang berbeda. Saya mengira ada ketegangan di antara mereka. Namun saya salah, ikatan emosi itu terasa nyata ketika mereka saling menyahut chants. Indah betul, dan sore itu saya bahagia.
Saya memang bahagia karena persembahan Bonek. Namun, Bonek sendiri mungkin tengah masygul karena Kalteng Putra memberi mereka kekalahan perdana di kandang sendiri. Fakta yang menyakitkan, namun yang akan terjadi, pasti terjadi.
Kekalahan itu harusnya hanya riak kecil di bentang sejarah panjang sebuah klub. Tentu sangat menyakitkan ketika kalah untuk kali pertama di rumah sendiri. Namun, hal seperti ini tak bisa mutlak untuk dihindari. Ada saatnya. Yang paling penting adalah menyongsong matahari esok hari. Emosi jiwa yang menjadi dasar Bonek dan Persebaya, saya rasa, adalah ikatan yang tak hanya kuat, namun inti.
Maka jangan sampai, goresan kekalahan dari Kalteng Putra menjad tajuk utama di masa depan. Respons positif, respons hati, yang paling dibutuhkan. Bangkit di delapan besar adalah jawaban satu-satunya.
Suasana sempat memanas ketika wasit menyudahi pertandingan. Susah payah, panitia pertandingan menenangkan semua suporter. Saya rasa aksi ini sangat penting mengingat Bonek akan selalu disorot bahkan untuk satu lemparan botol kosong bekas minuman. Berbeda dengan kasus kekerasan salah satu “suporter fanatik” di atas lapangan sepak bola yang sampai menghilangkan satu nyawa tempo hari.
Oleh sebab itu, di antara Bonek harus saling menjaga, mengingatkan. Jangan sampai, satu aksi kecil digunakan pihak jahat untuk menyudutkan Persebaya. Saudara satu emosi dan satu jiwa tentu (seharusnya) akan lebih mudah untuk saling mengingatkan. Kedekatan itu nyata dan harus dimanfaatkan secara positif. Jangan gunakan energi hanya untuk memaki.
Saudara, bukan hanya soal pertalian darah. Saudara juga bisa terjalin di tengah teriknya matahari Surabaya, di tengah festival chants tiga sisi tribun. Tiga gema di Gelora Bung Tomo adalah gema persaudaraan. Harus dijaga, dihormati, dan diresapi.
Seperti ketika teriakan “Salam Satu Nyali!” dikumandangkan, untuk dijawab dengan sepenuh hati: “Wani!”
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen