Di saat klub-klub sepak bola profesional seperti Genoa, Udinese dan Juventus berturut-turut lahir pada tahun 1893, 1896 dan 1897, Italia justru belum memiliki sebuah induk organisasi resmi yang membawahi kompetisi di berbagai level, profesional maupun amatir.
Berkaca dari hal itulah, sebuah asosiasi yang lantas diberi nama Federazione Italiana Giuoco Calcio (FIGC) didirikan pada 16 Maret 1898 di kota Turin dengan Luigi D’Ovidio dan Mario Vicary didapuk sebagai presiden.
Hanya berselang beberapa saat usai pendirian, FIGC langsung menghelat sebuah kompetisi profesional resmi di Negeri Pizza. Uniknya, ajang tersebut cuma diselenggarakan satu hari saja dengan Genoa keluar sebagai kampiun sehingga beroleh titel Scudetto di tahun 1898 atau yang pertama sepanjang sejarah.
Sebagai induk organisasi yang bertanggungjawab atas seluruh kompetisi sepak bola Italia di sejumlah kasta, FIGC berjuang keras untuk menyelenggarakannya secara rutin walau masih diekori berbagai masalah.
Berjarak dua belas tahun dari pendirian FIGC, tim nasional Italia akhirnya ‘lahir’ ke muka Bumi dengan partai melawan Prancis di tanggal 15 Mei 1910 sebagai debutnya. Pada laga itu sendiri, Italia sukses mengunci kemenangan via kedudukan telak 6-2.
Kehadiran Perang Dunia I di tahun 1916 sampai 1919 memaksa sepak bola Italia terhenti denyutnya akibat situasi tidak kondusif di dalam negeri. Terlebih, saat itu mereka maju sebagai salah satu negara paling aktif bertempur di peperangan sehingga banyak kawasan di Italia yang hancur lebur.
Tapi lewat pembenahan bertahap dan sistematis, perkembangan sepak bola Italia terus membaik seiring waktu pasca-perang. Hal ini pula yang membuat iklim bal-balan Negeri Pizza semakin menggeliat.
Akan tetapi, hal tersebut juga memunculkan friksi di dalam tubuh FIGC dengan klub-klub utama Italia saat itu sehingga lahir Confederazione Calcistica Italiana (CCI) sebagai ‘tandingan’.
Alhasil, di musim kompetisi 1921/1922, Italia punya dua kompetisi sekaligus. Satu di bawah payung CCI (diikuti oleh klub-klub ternama Italia) dan sisanya mengikuti ajang yang dihelat FIGC (berisi kesebelasan yang lebih kecil). Namun semusim berselang, CCI kembali melebur dengan FIGC sehingga tak ada lagi kompetisi dari ‘dua induk’ yang berbeda.
Di era 1930-an, Italia semakin melejit sebagai salah satu raksasa sepak bola dunia berkat prestasi yang mereka ukir di atas lapangan. Bersama Vitorio Pozzo sebagai nakhoda, Gli Azzurri sukses meraih titel Piala Dunia 1934 dan 1938 serta medali emas Olimpiade 1936.
Namun, periode manis Italia di kancah sepak bola ini lagi-lagi terdistraksi lantaran Perang Dunia II yang berlangsung di tahun 1939 sampai 1945. Walaupun FIGC sukses bangkit secara pelan-pelan, performa Italia di kancah internasional selepas perang justru angin-anginan.
Mereka selalu tumbang di babak penyisihan grup Piala Dunia 1950 dan 1954 serta gagal lolos ke Piala Dunia 1958 akibat rontok pada fase kualifikasi. Kendati demikian, FIGC masih punya satu pencapaian hebat di era tersebut yakni jadi satu dari tiga federasi (bersama Belgia dan Prancis) yang menginisiasi kelahiran asosiasi sepak bola Eropa (UEFA).
Periode-periode berikutnya semakin penuh liku dan warna. Walau Italia sulit beroleh prestasi di kancah internasional kecuali Piala Eropa 1968, klub-klub Negeri Pizza sukses membuktikan diri sebagai kekuatan yang menakjubkan tak hanya di kompetisi domestik.
Pada sejumlah ajang antarklub garapan UEFA, Italia memanen beberapa trofi juara di Piala/Liga Champions, Piala Inter-Cities Fairs/Piala UEFA/Liga Europa, dan Piala Winners (kini sudah tidak diselenggarakan).
Makin menterengnya prestasi klub-klub Italia ternyata justru diikuti sebuah skandal pengaturan skor ekstrem bernama Totonero. Skandal ini melibatkan tujuh kesebelasan di Serie A dan Serie B berikut sejumlah beberapa tokoh penting, baik presiden klub maupun pesepak bola. Ajaibnya, iringan kasus yang menodai citra tersebut malah bikin Italia keluar sebagai juara Piala Dunia 1982.
Beruntung, dalam tempo cepat, FIGC berhasil memulihkan nama baik Italia dalam kancah sepak bola. Apalagi di era 1990-an, kompetisi Serie A meroket sebagai kiblat sepak bola dunia akibat banyaknya megabintang lapangan hijau yang mengadu nasib di sana. Tak hanya itu, Italia juga berhasil merombak sistem hak siar televisi.
Persaingan sengit di antara klub-klub Serie A juga terduplikasi di kompetisi Eropa. Secara fantastis, mereka bergiliran memetik titel kampiun pada tiga kejuaraan antarklub Eropa.
Namun kegelapan kembali datang di era 2000-an akibat skandal lain yang menggoyang sepak bola Italia. Skandal itu sendiri berupa pengaturan ofisial pertandingan dan disebut Calciopoli. Juventus, AC Milan, Fiorentina, Lazio, dan Reggina menjadi tersangka utama dalam skandal yang mengemuka di tahun 2005 dan 2006 ini.
Beberapa tokoh penting dari klub-klub di atas dan sejumlah wasit kenamaan memperoleh hukuman berat dari FIGC. Namun selayaknya tahun 1982, Italia lagi-lagi sukses meraih gelar Piala Dunia 2006.
Tapi ironis, prestasi Italia setelah itu, baik di level timnas ataupun klub, terus mengalami penurunan. Praktis, setelah Internazionale Milano jadi kampiun Liga Champions 2009/2010, tak ada lagi kesebelasan Negeri Pizza yang menggamit trofi di ajang antarklub Benua Biru.
Degradasi prestasi ini seolah dijustifikasi dengan kegagalan Italia lolos ke Piala Dunia 2018 mendatang akibat remuk di babak kualifikasi meski sempat menyimpan kans lolos via play-off. Situasi buruk itu memaksa Carlo Tavecchio mundur sebagai Presiden FIGC dan Giampiero Ventura kehilangan jabatan pelatih.
Di usianya yang tepat 120 tahun hari ini, ada banyak hal yang mesti dikerjakan FIGC guna mengantar sepak bola Italia menuju era baru yang lebih baik.
Meramu seluruh kasta agar lebih kompetitif dan profesional untuk para kontestannya, melenyapkan praktik pengaturan skor, membenahi tata kelola klub supaya kasus pailitnya sebuah tim tak terulang lagi serta menyulap Gli Azzurri jadi superior kembali adalah kewajiban-kewajiban yang harus diwujudkan sesegera mungkin.
Jika tak mampu mewujudkan poin-poin tersebut, bisa dipastikan bahwa sepak bola Italia, di level klub maupun timnas, akan jalan di tempat untuk beberapa tahun ke depan sehingga makin tertinggal oleh para pesaing yang kulturnya justru semakin maju.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional