Cerita

Perempat-final Liga Champions yang Terasa Begitu Sulit Ditembus Klub Inggris

Hanya dalam tempo sepekan, awan mendung menggelayuti Liga Primer Inggris yang oleh penggemarnya disebut-sebut sebagai kompetisi terbaik di dunia. Secara tragis, tiga kesebelasan dari Negeri Ratu Elizabeth yang mentas di ajang Liga Champions yaitu Tottenham Hotspur, Manchester United, dan Chelsea, tersingkir di fase 16 besar.

Tottenham remuk di tangan Juventus dengan agregat akhir 4-3, United ditumbangkan tim anak bawang, Sevilla, lewat kedudukan total 2-1, dan Chelsea bertekuk lutut di hadapan Barcelona usai tumbang via skor agregat 4-1.

Kegagalan-kegagalan di atas tentu semakin mencoreng muka Liga Primer Inggris. Padahal, mereka jadi kompetisi dengan wakil paling banyak di fase 16 besar, lima klub!

Berdasarkan situasi itu pula, utamanya sebelum diadakan undian guna mengetahui lawan di fase tersebut, media-media Inggris tak sungkan untuk gembar-gembor bahwa wakil Liga Primer Inggris dapat berjaya di Liga Champions musim ini.

Namun seperti yang telah saya paparkan di paragraf sebelumnya, Inggris kehilangan tiga wakilnya sekaligus di babak ini. Praktis, harapan mereka kini bergantung pada dua klub tersisa yaitu Liverpool dan Manchester City.

Benar kalau Liga Primer Inggris adalah kompetisi paling glamor lantaran dijejali banyak bintang, punya nilai hak siar paling mentereng, dan berbagai predikat jempolan lainnya. Namun semua itu terlihat artifisial tatkala kesebelasan Inggris bertempur di Liga Champions, khususnya saat memasuki fase knock-out.

Mengacu pada statistik yang dihimpun dalam lima musim terakhir via laman resmi federasi sepak bola Eropa (UEFA), Inggris jadi satu dari sekian negara elite yang semakin kesulitan buat mengirimkan klubnya menembus babak perempat-final.

Sebagai contoh, pada musim 2012/2013 lalu, Inggris sama sekali tak punya wakil di fase perempat-final. Hal ini terjadi karena Arsenal dan United, dua klub Liga Primer Inggris yang lolos ke 16 besar, ditumbangkan oleh Bayern München serta Real Madrid pada babak tersebut.

Musim berikutnya alias 2013/2014, nasib mereka sedikit membaik karena ada Chelsea dan United yang masuk ke perempat-final. Namun harus diketahui juga bahwa pada babak 16 besar, Inggris sesungguhnya menempatkan empat wakil sekaligus (dua tim lain yakni Arsenal serta Manchester City gugur di tangan Bayern dan Barcelona).

Cerita lebih kelam bahkan dicatat oleh Inggris di musim 2014/2015. Memiliki tiga utusan pada fase 16 besar yaitu Arsenal, Chelsea, dan Manchester City, tak ada satu pun dari trio di atas yang berhasil menjejak perempat-final akibat keok dari AS Monaco, Paris Saint-Germain (PSG), dan Barcelona.

Nahasnya lagi, derita Inggris tak kunjung lenyap karena pada musim 2015/2016, keadaan pahit seperti itu kembali terulang. Dari tiga partisipan di 16 besar, cuma City yang sukses menembus perempat-final. Sementara langkah Arsenal dan Chelsea dihentikan oleh Barcelona serta PSG.

Penghiburan yang terus dicari Inggris realitanya juga gagal terwujud di musim 2016/2017 kemarin. Kendati punya Arsenal, City, dan Leicester City sebagai petarung pada babak 16 besar, hanya nama terakhir yang sanggup menempatkan kakinya di perempat-final. Arsenal dan City secara mengenaskan dibuat luluh lantak oleh Barcelona dan Monaco.

Maaf-maaf saja, klub kesayangan para Gooners alias Arsenal bahkan terlihat seperti badut di Liga Champions akibat konsisten angkat koper pada fase 16 besar. Sungguh hakiki. Terasa semakin menyedihkan sebab pada lima musim di atas, tak ada satu klub Inggris pun yang berhasil menembus partai puncak!

Hal tersebut berbanding terbalik dengan pencapaian wakil Bundesliga Jerman (dua wakilnya melenggang ke final di musim 2012/2013), Serie A Italia (Juventus jadi utusan di musim 2014/2015 plus 2016/2017), dan khususnya lagi, La Liga Spanyol (selalu punya tim di partai final empat musim pamungkas dan menjadi kampiun).

Rapor jeblok ini pula yang membuat Inggris belum juga keluar dari masa paceklik trofi di kompetisi antarklub nomor wahid Benua Biru. Kesebelasan terakhir yang sukses beroleh trofi Liga Champions dari Negeri Ratu Elizabeth adalah Chelsea di musim 2011/2012 silam.

Para pengamat, media dan para suporter klub asal Inggris boleh saja terus-terusan mengklaim bahwa kompetisi Liga Primer Inggris adalah yang terbaik seantero Bumi. Akan tetapi, mereka pun harus sesegera mungkin bercermin sekaligus sadar bahwa status itu tak membuat wakil mereka bisa seenaknya begitu mentas di Liga Champions. Bahkan untuk menjejak perempat-final saja mereka acapkali ngos-ngosan.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional