Kolom

Liga Champions Eropa yang Seharusnya Berganti Nama Menjadi Liga Super Eropa

Siapa bilang sepak bola sangat identik dengan kehidupan nyata? Jika memang benar begitu adanya, tidak akan ada kekalahan besar seperti yang dialami Porto, Basel, dan Besiktas. Bahkan mereka tidak sekadar kalah telak, tapi juga harus membuang waktu serta tenaga untuk melakoni leg kedua yang sudah tidak ada artinya. Mereka hanya tamu yang singgah sebentar di istana Liga Champions yang mewah.

Di Portugal dan Swiss, awalnya optimisme membuncah tinggi. Porto dan Basel yang melakoni leg pertama babak 16 besar bertekad memberikan perlawanan sengit pada Liverpool dan Manchester City, tapi yang didapat justru musibah besar. Begitu pula di Istanbul, di mana sekitar 32.000 pasang mata menantikan para pemain Besiktas kembali ke kandang dengan membawa modal berharga jelang leg kedua, tapi yang didapat justru wajah-wajah murung dengan tatapan kosong tanpa harapan.

Sekali lagi, mereka hanyalah tamu, yang mampir sebentar menikmati gemerlap Liga Champions, dan pamit undur diri secara dini karena waktu berkunjung yang sudah habis.

Liga Champions adalah arena bermain para klub raksasa terutama dari kompetisi yang sering kita sebut ‘Lima Liga Top Eropa’. Tak peduli bagaimana rekam jejak mereka di Liga Champions selama ini atau kapan terakhir kali tampil di pentas tertinggi kompetisi antarklub Eropa ini, asalkan berstatus tim elite dari ‘Lima Liga Top Eropa’, mereka akan diterima dengan tangan terbuka.

Paris Saint-Germain (PSG) yang sama sekali belum pernah menjuarai Liga Champions musim ini jadi tim tersubur di fase grup dengan 25 gol. Liverpool, yang hanya finis keempat di Liga Primer Inggris 2016/2017 dapat mengalahkan juara Liga Rusia dan Liga Slovenia dengan total memasukkan 18 gol dan hanya kemasukan sekali.

Memang ada Borussia Dortmund, Atlético Madrid, dan Napoli yang tersingkir ke Liga Europa, tapi 3 tim dibanding 12 kesebelasan elite yang lolos ke fase gugur bukan masalah besar bagi kredibilitas ‘Lima Liga Top Eropa’. Ibarat pemain berbakat di tim junior, ia sudah berulang kali melewati lawan-lawannya sehinga satu atau dua kesalahan tidak akan membuat pamornya luntur seketika.

Fakta bahwa di empat laga final terakhir hanya diisi bergantian oleh empat klub, dan 16 laga semifinal terakhir didominasi oleh delapan tim, mengukuhkan status Liga Champions sebagai kawasan bermain klub-klub elite. Sebuah fenomena yang juga menunjukkan bahwa jarak perbedaan ‘Lima Liga Top Eropa’ dengan liga-liga domestik lainnya di bawah naungan UEFA semakin jauh, mengingat dulu pada 2001-2004 ada 8 klub yang tampil di final Liga Champions, alias selalu berbeda tiap musimnya.

Oleh karenanya, tak heran jika banyak penikmat sepak bola Eropa yang merasa Liga Champions sebaiknya mengganti nama menjadi Liga Super Eropa, karena pada akhirnya para klub liliput, debutan, dan tanpa sejarah panjang di Liga Champions seakan hanya menjadi lawan latihan bagi para kandidat juara, bahkan tak peduli seberapapun dominan atau kuatnya mereka di liga domestik.

Ambil contoh Tottenham Hotspur, yang pada akhirnya tetap takluk di tangan klub legendaris, Juventus, Bahkan PSG pun yang dianggap sebagai klub terkaya saat ini, juga tak mampu mengalahkan klub kaya lainnya yang sudah menjadi kekuatan tradisional di Eropa, yaitu Real Madrid.

Seminggu sebelum bertandang ke Santiago Bernabéu, PSG menghancurkan Dijon dengan skor 8-0, dan di atas kertas akan kembali menjuarai Liga Prancis, merebut kembali takhta yang sempat dipegang AS Monaco. Namun di Liga Champions, Neymar dan kolega tetap tak berdaya di hadapan El Real yang melempem di Liga Spanyol.

Inilah mengapa Liga Champions, sebagai kompetisi antarklub paling elite di Eropa bahkan dunia, hanya ramah pada para kontestan yang juga memiliki kemewahan dan berstatus kekuatan tradisional. Mereka yang berpredikat debutan atau kuda hitam, hanyalah tamu yang sekadar mampir untuk berkunjung secara singkat.

Pada akhirnya, yang kaya tetap berjaya, dan yang datang apa adanya akan teraniaya. Apakah di kehidupan nyata kita diajarkan untuk berperilaku seperti itu?

Author: Alex Hess
Penerjemah: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)