Cerita

Diam adalah Emas: Sebuah Kontradiksi dari Daniel Alves

Nama Daniel Alves adalah sosok bersejarah sebagai pesepak bola kelas dunia. Belasan gelar juara pernah ia peroleh di kariernya, terutama ketika bermain di level klub. Dia merasakan nikmatnya mencium trofi Liga Champions sebanyak tiga kali bersama Barcelona. Apalagi jika ditambahkan berkali-kali juara La Liga, Copa Del Rey dan serangkaian prestasi lainnya bersama klub berjuluk Blaugrana teresebut. Tak cuma bersama Barcelona, di Sevilla dan Juventus pun, pemain asal Brasil itu juga punya segudang pencapaian.

Alves bisa dikatakan bek kanan terbaik dunia yang pernah ada. Kualitas Alves tergambar jelas pada sebesar apa Barcelona sudi membeli mahal seorang bek, jauh-jauh hari sebelum John Stones, Aymeric Laporte, atau Virgil van Dijk disulap jadi bek-bek termahal dunia.

Sebelum meroketnya harga bek di sepak bola masa kini, Alves menjadi salah satu pionir bagaimana penggawa pertahanan mulai dihargai setinggi langit. Dia pindah dari Sevilla ke Barcelona dengan mahar 35,5 juta euro pada 2008 lalu.

Namun, selain penampilan yang atraktif nan ofensif sebagai bek kanan ketika bermain lapangan, pemain berusia 34 tahun itu menyibak teka-teki tersendiri mengenai sikap dan perangainya sebagai seorang individu. Frasa “diam adalah emas” adalah perumpamaan yang tepat untuk mengurai kepribadian Alves sebagai seorang individu manusia, di samping figurnya sebagai pesepak bola.

Alves menunjukkan betapa dirinya adalah individu hebat yang sangat brilian dan cool dalam menghadapi tindak diskriminasi yang kini makin gencar untuk disirnakan dari sepak bola: rasisme. Ketika masih menjadi andalan Barcelona (musim 2013/2014), dirinya pernah mendapat perlakuan buruk dari suporter lawan dalam sebuah pertandingan. Dia mendapati diri menjadi objek rasisme pendukung Villarreal dalam bentuk pelemparan pisang dari tribun stadion.

Mendapati dirinya diobjektifikasi sebagai kera, hebatnya Alves tidak marah-marah atau protes pada wasit. Walau sebenarnya amarah dan protes terhadap perlakuan rasis bisa dikatakan manusiawi, karena sekali lagi tindakan rasis sangat merendahkan harkat dan martabat seorang manusia. Namun sebaliknya, Alves justru memungut pisang lemparan suporter dan memakannya dengan ekspresi tenang, diam, dan sangat kalem, seakan tidak terjadi apa-apa.

Umumnya tindakan rasis atau diskriminasi bertujuan untuk membuat objek sasaran marah, frustasi, kesal, dan kalau perlu, mencak-mencak. Seperti tindakan bullying, di mana si pem-bully akan merasa senang dan seakan tujuannya tercapai ketika si objek sasaran bully merespons dengan takut, kesal, marah, frustasi, sedih atau bahkan menangis. Tetapi, ketika orang yang dijadikan sasaran bully justru tidak merespons atau memberi respons tidak seperti apa yang diangankan si pem­­-bully, maka si pem-bully besar kemungkinan gagal klimaks atau libido diskriminatifnya tidak akan mencapai “orgasme” seperti apa yang diinginkan.

Tindakan Alves terhadap suporter Villarreal, patut disadari merupakan counter yang sangat luar biasa terhadap tindakan rasis yang ia alami sendiri. Dengan tidak menunjukkan rasa amarah, frustasi ataupun protes kepada wasit, dan justru diam lalu tenang saja memakan pisang yang dilemparkan padanya, sama saja dirinya menggagalkan tujuan yang suporter rasis itu sendiri inginkan.

Aksinya bahkan memicu tren di dunia maya ketika beberapa pesepak bola berfoto dengan memakan pisang sebagai gesture dukungan terhadap “diam adalah emas” yang nyata dari ketika Alves mendapat perlakuan rasis.

Namun di samping perlawanan luar biasa diam adalah emas yang Alves lakukan pada suporter rasis, frasa itu juga menjadi kontradiksi tersendiri bagi perangainya selama ini. Seperti diketahui, Alves adalah pribadi yang selain eksentrik, juga terhitung eksplosif. Hal itu semakin kentara ketika Alves membuka sendiri pada publik,perihal tirai yang menutupi hubungan buruknya dengan manajemen Barcelona ketika sudah pindah ke Juventus.

Dia mengungkapkan bahwa (manajemen) Barcelona di bawah rezim Joseph Bartomeu tak pernah menghargai dirinya dengan pantas, selayaknya pemain yang berkontribusi besar bagi sejarah El Barca di era sepak bola modern. Isu perpanjangan kontrak di masa-masa akhir Alves disana menjadi semacam main course, ketika hendak melongok konflik antara dirinya dan Barcelona rezim Bartomeu.

Kemudian, kontradiksi lain dari diam adalah emas seorang Alves adalah komentarnya pada Neymar dan Paulo Dybala. Ketika dia sudah pindah dari Barca, dia mengatakan Neymar harus pergi dari sana jika ingin keluar dari bayang-bayang seorang Lionel Messi. Entah terpengaruh atau tidak, faktanya Neymar hijrah dari Barcelona pada musim ini.

Kemudian, ketika sudah tak lagi berstatus pemain Juventus, Alves mengatakan Paulo Dybala harus pindah agar potensinya benar-benar keluar. Ini sama saja mengatakan Juventus bukan lagi tempat yang tepat bagi Dybala. Apakah Dybala juga pindah? Kita belum tahu akan hal ini. Namun yang jelas, selentingan dari Alves untuk Neymar dan Dybala, kecil atau besar pernah memerahkan telinga Barcelona dan Juventus.

Kemudian, yang terbaru yakni komentar Alves tentang meninggalnya Davide Astori. Dalam sebuah press conference jelang partai Paris Saint-Germain lawan Real Madrid, dia mengaku ikut bersedih akan berita duka kematian kapten Fiorentina tersebut. Namun, yang mengejutkan dirinya menganggap bahwa selain hal itu (meninggalnya Astori), masih banyak anak-anak kelaparan ini dan juga perlu mendapatkan perhatian besar. Memang benar, isu kemanusiaan seperti jutaan manusia kelaparan atau meninggal juga menjadi perhatian besar kita semua sebagai warga dunia.

Sebenarnya ucapan Alves tidak salah, namun kata-kata yang keluar dari mulutnya keliru secara waktu dan tak pas dari segi etika. Dia berargumen demikian ketika dunia sepak bola sedang berkabung beberapa hari terakhir pasca-tragedi Astori. Alves dianggap tak punya kepekaan atau afeksi diri, terlebih yang sedang tertimpa musibah ialah orang yang berprofesi sama seperti dirinya: pesepak bola.

Wajar saja apabila dia dihujani caci maki oleh wargamaya. Harusnya lebih baik Alves cukup ungkapkan kesedihan (atas peristiwa Astori) atau cukup berdiam diri saja, daripada menyulut kontroversi di atas sebuah tragedi. Atau mungkin jangan-jangan Alves tak memahami bawah diam adalah emas terkadang merupakan sikap terbaik dari seorang manusia yang pernah ia lakukan sebelumnya.

Author: Haris Chaebar (@chaebar_haris)