Cerita

Mandeknya Regenerasi Penyerang Lokal di Indonesia

Di era sepak bola modern ini, posisi penyerang lazimnya diisi oleh satu orang. Entah perannya sebagai target man atau poacher, posisi juru gedor terlampau vital untuk ditinggalkan. Namun, pada dasarnya, posisi ini memang tak membutuhkan banyak sumber daya. Maksimal dua penyerang digunakan dalam satu skema, dan dalam satu skuat, biasanya hanya dihuni oleh empat hingga lima juru gedor.

Meskipun kuotanya memang sedikit, menjadi penyerang di satu tim adalah pekerjaan yang, dapat diperdebatkan, lebih rewarding ketimbang posisi lain. Dengan bermain sebagai penyerang, kalian mendapat kesempatan yang lebih besar untuk mencetak gol, dan mencetak gol di satu pertandingan adalah sebuah reward yang tentunya amat menyenangkan hati. Kami yakin, ketika bermain sepak bola, kalian pasti ingin menjadi seorang penyerang, bukan?

Singkatnya, penyerang adalah posisi yang diinginkan banyak orang. Pemain depan adalah posisi yang membuat orang rela mengantre.

Namun, hal ini tampak tak berlaku di Indonesia, atau setidaknya, timnas Indonesia. Di timnas, posisi yang lazim disebut ‘nomor 9’ ini justru dihuni oleh pemain naturalisasi. Selepas era Bambang Pamungkas dan Boaz Solossa yang kian menua, regenerasi lini depan di timnas Indonesia tampak mandek. Fenomena macetnya regenerasi lini depan di timnas Indonesia ini tampaknya disebabkan oleh beberapa hal.

Alasan pertama mandeknya regenerasi penyerang timnas Indonesia adalah minimnya kesempatan yang diberikan oleh klub-klub kasta paling atas Liga Indonesia terhadap penyerang-penyerang lokal. Jelang Liga 1 yang akan dimulai tanggal 23 Maret mendatang, hanya ada empat dari 18 klub yang menggunakan juru gedor lokal.

Keempat klub ini adalah Pusamania Borneo (Lerby Eliandry), PS Barito Putera (Samsul Arif), Persipura Jayapura (Boaz Solossa, Prisca Womsiwor), dan Persebaya Surabaya (Risjadi Fauzi, Richard Kayame). Sisanya, posisi juru gedor dihuni oleh pemain asing, atau pemain naturalisasi.

Tak diberikannya kesempatan bagi penyerang lokal untuk bersinar di klub adalah alasan paling utama mengapa regenerasi juru gedor di timnas Indonesia mandek. Satu pemain agar bisa mencapai kaliber timnas tentunya harus mendapatkan menit bermain yang cukup. Jika klub lokal tak memberikan menit bermain bagi penyerang lokal, ke mana mereka harus mendapatkannya?

Argumen bahwa posisi pemain depan adalah posisi yang terlampau vital untuk diberikan ke penyerang lokal yang kualitasnya tak sebagus pemain asing mungkin menjadi alasan dari klub-klub tersebut. Namun, salah satu fungsi dari adanya klub sepak bola profesional adalah membantu kemajuan dari tim nasional, dan fungsi ini tak akan terpenuhi apabila alasan tersebut digunakan.

Alasan kedua adalah terlalu banyaknya pemain hasil naturalisasi yang ada di timnas dan sialnya, mereka berposisi sebagai penyerang. Sebenarnya, alasan ini adalah rentetan dari tak diberikannya menit bermain terhadap penyerang lokal di klub. Pemain pertama yang dinaturalisasi oleh pemerintah Indonesia untuk bermain di timnas adalah seorang penyerang, yakni Cristian Gonzales. Setelah Gonzales, ada 16 pemain lagi yang dinaturalisasi, dan 8 pemain di antaranya adalah penyerang (Greg Nwokolo, Sergio van Dijk, Johnny van Beukering, Ezra Walian, Herman Dzumafo, Guy Junior, Ilija Spasojevic, hingga yang terbaru, Beto Goncalves).

Sah-sah saja sebenarnya melakukan naturalisasi. Namun, cara ini sebenarnya adalah hal yang terlampau instan. Sementara, seperti yang kita semua tahu, kesusksesan tak bisa diraih dengan sesuatu yang instan. Dengan adanya pemain naturalisasi, muncul pola pikir bahwa masalah di timnas bisa diatasi dengan menerima pemain asing tanpa membangun fondasi yang baik terhadap pemain lokal.

Berkaca pada negara-negara yang sepak bolanya sukses, tak ada pemain hasil dari naturalisasi. Tak perlu jauh-jauh, coba tengok timnas Thailand. Mereka berhasil merajai Asia Tenggara, dan kini mulai diperhitungkan di level Asia karena memiliki dasar pengembangan pemain lokal yang baik, tanpa mengandalkan pemain naturalisasi.

Bukti dari mandeknya timnas Indonesia saat ini bisa dilihat dari perolehan Timnas U-22 di ajang SEA Games lalu. Pemain yang tercatat sebagai pencetak gol terbanyak di tim Garuda Muda adalah Septian David Maulana, seorang gelandang serang. Penyerang yang kala itu ditunjuk, Marinus Wanewar dan pemain naturalisasi, Ezra Walian, tak mampu tampil sesuai harapan.

Memang, masih ada nama-nama seperti Rafli Mursalim dan Hanis Saghara yang tentunya menjanjikan. Namun, mereka pun belum begitu banyak mendapat kesempatan. Tak hanya itu, regenerasi pemain Indonesia saat ini tampak menjanjikan dari sisi sayap. Dengan munculnya pemain-pemain seperti Febri Haryadi, Osvaldo Haay, Irfan Jaya, hingga tentunya Egy Maulana Vikri, kedua sisi sayap timnas Indonesia tampak aman untuk beberapa tahun ke depan.

Namun, penyerang adalah posisi yang terlampau penting untuk dilewatkan. Satu tim tak akan mampu memenangkan pertandingan apabila tak mampu mencetak gol, dan tugas utama mencetak gol diemban oleh seorang penyerang. Tanpa penyerang tengah berkualitas, satu tim sulit untuk bersaing di level paling tinggi.

Kalau begini, kita hanya bisa mengenang kehebatan Bambang, Zaenal Arief, hingga Ilham Jayakesuma, yang membuat nama-nama penyerang lokal setara derajat dan kemampuannya di hadapan juru gedor asing.

Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket