Penulis Hanum Rais mengangkat tanah Andalusia sebagai latar film dan novelnya, ’99 Cahaya di Langit Eropa’. Region di selatan Spanyol yang pernah menjadi wilayah kekuasaan Islam ini sekarang sedang dilanda kefanatikan akan ‘agama’ sepak bola.
Selama hampir setahun tinggal di Sevilla, ibu kota Andalusia, saya menyaksikan sendiri sepak bola telah merasuk dalam ke seluruh lapisan masyarakat Andalusia. Tua-muda, pria-wanita, warga lokal maupun pendatang, hampir semuanya tergila-gila sepak bola.
Andalusia memang kurang mendapat sorotan dibandingkan Madrid dan Barcelona. Padahal, banyak figur terkenal yang berasal dari kawasan ini, antara lain seniman legendaris Pablo Picasso dan aktor hebat Antonio Banderas. Di lapangan hijau, siapa yang tak kenal Sergio Ramos atau Isco Alarcon?
Karena letaknya yang dekat dengan Timur Tengah dan Afrika Utara, Andalusia juga merupakan gabungan beberapa budaya. Tak ada yang dibilang “ras asli Andalusia”. Secara historis, kawasan ini merupakan tempat meleburnya berbagai macam budaya dari Romawi, Arab, dan Afrika. Nama ‘Andalusia’ sendiri berasal dari Bahasa Arab, ‘Al-Andalus’, yang mengandung arti ‘warna hijau di akhir musim panas’.
Pada akhir Februari 2018 lalu, masyarakat Andalusia memperingati hari libur yang dikenal sebagai ‘Andalucia Day’. Ini merupakan peringatan referendum yang mereka adalah pada 28 Februari 1980. Hasilnya adalah diresmikannya wilayah ini menjadi salah satu kawasan otonomi di bawah pemerintahan Kerajaan Spanyol. Bertolak belakang dengan masyarakat Catalonia yang tak henti-hentinya menuntut kemerdekaan dari Spanyol, hingga kini masyarakat Andalusia terkenal sebagai yang paling setia terhadap pemerintah negara tersebut.
Saya memanfaatkan momen libur ‘Andalucia Day’ untuk menikmati serangkaian pertandingan sepak bola yang berlangsung di pekan tersebut.
Lesu di Malaga, heboh di Sevilla
Hujan turun dengan deras ketika saya tiba di Stadion La Rosaleda, kandang Malaga. Tepat pada Andalucia Day yang jatuh pada 28 Februari itu, stadion tersebut menjadi tuan rumah ‘derbi Andalusia’ antara Malaga melawan Sevilla.
Udara dingin dan hujan berangin, plus prestasi Malaga yang terpuruk di posisi terakhir klasemen, membuat stadion berkapasitas sekitar 30 ribu itu hanya terisi setengahnya. Meski demikian, bukan berarti tensi tinggi pertandingan teredam. Sebaliknya, teriakan ‘Puta Sevilla’ berulang-ulang terdengar. Pihak panitia pun harus beberapa kali mengingatkan penonton agar tidak mengatakan sesuatu yang menghujat apalagi rasis.
Sevilla unggul tipis di laga tersebut melalui gol Joaquin Correa. Di sekeliling saya, wajah-wajah suram publik Malaga menggambarkan prestasi buruk mereka di musim 2017/2018 ini. Klub korban investasi gagal pengusaha Qatar itu tampaknya sudah bersiap menyongsong kompetisi kasta kedua musim depan.
Sehari setelahnya, saya berada di kota Sevilla untuk menyaksikan langsung Real Betis di kandang angker mereka, Benito Villamarin. Sudah lama saya penasaran ingin merasakan atmosfer stadion terbesar keempat di Spanyol ini. Selain itu, Betis menjadi fenomena di awal musim 2017/2018.
Tiket terusan mereka sudah habis terjual, menyamai torehan dua klub besar, Barcelona dan Real Madrid. Ini merupakan fenomena tersendiri, karena Los Verdiblancos sudah tak tampil di kompetisi Eropa dalam empat musim terakhir dan terakhir kali merasakan raihan trofi pada tahun 2003 lalu.
Berbeda dengan atmosfer Camp Nou dan Santiago Bernabeu yang dipadati banyak turis, Villamarin menyajikan kearifan lokal kota Sevilla. Di sekitar stadion terlihat penjual kacang dan kuaci bunga matahari. Pub-pub di sekitar stadion menyajikan berbagai minuman tradisional Spanyol, antara lain bir-bir merek lokal dan sangria.
Sewaktu berada di dalam Stadion Villamarin, saya terkesan akan antusiasme para Beticos. Meskipun hujan masih mengguyur tanah Andalusia, stadion tersebut terisi sekitar 95% dari total kapasitasnya. Pada saat hujan lebih deras pun, para penonton tak beranjak dari kursi mereka. Sebagian besar bahkan sudah mempersiapkan jas hujan dan payung yang mereka gunakan agar tidak kebasahan.
Sayang, tuan rumah gagal menundukkan tamu mereka, Real Sociedad. Pasukan Enrique Setien dipaksa bermain imbang tanpa gol. Meski demikian, saya tidak kecewa, apalagi ada satu momen spesial yang membuat saya terkesan. Pemain senior berusia 36 tahun, Joaquin Sanchez, nyaris mencetak gol di menit-menit akhir pertandingan. Meski belum berhasil, nama pemain yang baru dimasukkan pada menit ke-70 tersebut langsung dielu-elukan oleh seluruh stadion, layaknya Lionel Messi di Camp Nou.
Pertandingan antara Sevilla melawan Athletic Bilbao menjadi laga terakhir yang saya saksikan langsung pada pekan tersebut. Saya sudah sering mengunjungi Stadion Ramon Sanchez Pizjuan untuk menyaksikan langsung tuan rumah Sevilla berlaga. Namun, saya tak pernah bosan menyaksikan antusiasme para Sevillistas.
Momen favorit saya di setiap laga kandang Los Nervionenses adalah menit ke-16, ketika seluruh stadion bertepuk tangan dan menyanyikan nama Antonio Puerta, mantan kapten mereka yang meningga dunia pada tahun 2007.
Menjelang laga panas di babak 16 besar Liga Champions Eropa melawan Manchester United, Sevilla sukses memanaskan mesin. Dua gol dari Luis Muriez dan Franco Vazquez di babak pertama memastikan keunggulan anak-anak asuh Vincenzo Montella dengan skor 2-0. Saya juga terhibur dengan antusiasme Montella di pinggir lapangan ketika laga berjalan. Meskipun tidak segalak Jürgen Klopp dan Diego Simeone, mantan pelatih AC Milan ini sesekali berteriak lantang sehingga membakar semangat suporter. Gairah ini yang tak ditunjukkan pendahulunya, Eduardo Berizzo.
Akhir cerita, kegairahan sepak bola Spanyol tidak hanya didominasi oleh kota Madrid dan Barcelona. Cobalah sekali-sekali nonton langsung di Andalusia dan rasakan sendiri kehebohannya!
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.