Turun Minum Tribe Travel

Tur ‘Theatre of Dreams’ di Old Trafford

“Ada suporter Liverpool di sini? Silakan keluar lewat pintu sebelah sana.”

Lelucon yang dilontarkan tour leader bernama Dave itu disambut tawa semua peserta tur, termasuk saya. Kami sadar betul bahwa kami sedang berada di Old Trafford, kandang Manchester United. Liverpool adalah rival mereka selama bertahun-tahun. Maka, kami harus siap mendengar berbagai lelucon tentang Liverpool.

“Maaf, saya bercanda. Tapi jika ada suporter Liverpool yang menganggap serius sih, tak apa-apa,” sambung Dave sambil tertawa lebar.

Saya lupa nama belakang Dave, yang jelas ia lahir dan besar di wilayah Greater Manchester. Pertama kali ia datang menonton langsung Manchester United bermain di stadion pada usia delapan tahun, diajak oleh ayahnya. Sejak saat itu, Dave menjadi suporter setia MU.

Saya menaksir usianya sekarang sekitar 50-an tahun. Namun, energinya dalam memandu tur stadion Old Trafford bagaikan anak muda berusia 20-an. Dave mengingat data dan fakta sejarah dengan detail, serta melempar lelucon-lelucon segar yang membuat tur bertajuk ‘The Theater of Dreams Stadium Tour’ terasa menyenangkan, meski bagi peserta yang bukan suporter MU seperti saya.

Seperti namanya, tur stadion MU benar-benar dikemas serius agar para pencinta sepak bola dari seluruh dunia bisa menikmati ‘teater impian’ bersejarah bernama Old Trafford.

Stadion tersebut memang sudah berusia lebih dari 100 tahun, tapi sama sekali jauh dari kesan kuno. Kesan modern yang elegan bisa kita lihat di layar televisi setiap kali MU berlaga. Stadion bersejarah ini memang dilengkapi berbagai teknologi modern di setiap sudutnya.

“Kalian bisa lihat mesin yang di sana itu,” Dave menunjuk ke lapangan hijau. “Itu disebut Stadium Grow Lighting (SGL). Cuaca Manchester memang sering mendung, kami jarang memperoleh sinar matahari. Maka, mesin tersebut berfungsi menciptakan sinar matahari buatan. Tujuannya untuk menjaga pertumbuhan rumput lapangan.”

Lalu, Dave kembali menyambung dengan bercanda. “Kalian ingat tidak tahun lalu ada pemain bernama Angel Di Maria? Ia dibeli dari Real Madrid dengan harga 50 juta euro, padahal hanya bertahan satu musim di MU.”

“Harga satu mesin SGL adalah 1 juta euro. Jadi, sebenarnya daripada membeli satu Di Maria, dana itu bisa dipakai untuk membeli 50 mesin SGL.”

Para peserta kembali tertawa mendengarnya. Saya sendiri bertepuk tangan perlahan, karena saya memperoleh kesan pernyataan itu lebih dari sekadar lelucon. Mungkin saja itu memang curahan hati Dave sebagai Mancunian sejati, yang diperdengarkannya kepada kami.

Peserta diberi kesempatan mengagumi tribun-tribun stadion yang salah satunya diberi nama ‘Sir Alex Ferguson stand’, lalu duduk-duduk di bangku pemain cadangan. Setelah itu, kami dituntun masuk ke ruang ganti pemain.

Saya memperoleh kesan bahwa ruang ganti tersebut terkesan kurang menarik jika dibandingkan dengan ruang ganti stadion-stadion terkenal lain seperti Camp Nou atau San Siro. Meski demikian, pengalaman kami di ruang ganti tersebut tetap berkesan karena Dave sama sekali tak kehabisan cerita.

“Kalian lihat cermin ini?” Dave menunjuk sebuah cermin seukuran tinggi badan manusia di sampingnya. “Sampai sekarang cermin ini dikenal sebagai cermin Cristiano. Kalian tahu kenapa?”, para peserta sudah tersenyum, karena jelas alasannya cukup bisa ditebak. Tapi tidak seorang pun berkomentar karena tak ada yang ingin mengganggu asyiknya kelanjutan cerita Dave.

“Kursi di depan cermin itu dulunya tempat duduk Cristiano Ronaldo. Dia suka memandang cermin itu sebelum pertandingan dalam waktu lama. Lalu, jika pemain-pemain lain sudah masuk ke lapangan, Cristiano menutup pintu, masih memandangi dirinya sendiri sambil bersisir di depan cermin.”

Setelah meninggalkan ruang ganti pemain, Dave lalu membawa kami berkeliling menelusuri koridor-koridor di dalam stadion Old Trafford. Tak lupa, ia menjelaskan beberapa foto pemain legenda Red Devils, seperti Sir Bobby Charlton dan George Best. Selain itu, ia juga menambah pengetahuan para peserta tur yang cukup awam akan sejarah MU dengan menceritakan berbagai momen bersejarah.

Saya sendiri cukup suka cara Dave bercerita tentang pasukan-pasukan muda Sir Matt Busby yang tewas di kecelakaan pesawat di Muenchen pada tahun 1958. Meski bukan pendukung fanatik MU, saya sempat terharu mendengar cerita tragis tersebut diceritakan kembali lewat cara unik sang tour leader.

Namun, Dave cukup pandai mengembalikan suasana ceria kembali dengan leluconnya yang lagi-lagi mengejek Liverpool. “Kalian ingat momen ketika Liverpool nyaris juara tapi kemudian gagal gara-gara Steven Gerrard terpeleset di lapangan? Kami juga menyimpan fotonya. Ini dia…”

Dave lalu mengangkat papan kuning bergambar orang terpeleset dan bertuliskan ‘awas lantai licin’. Kali ini suara tawa seluruh peserta tur bergema di koridor-koridor Old Trafford.

Thanks  Dave, saya sangat menikmati tur saya di Theatre of Dreams pada hari itu!

Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.