Berawal dari rasa tidak puas dengan apa yang terjadi di dalam tubuh Milan Cricket and Football (cikal bakal AC Milan), sekelompok orang Italia dan Swiss yang dimotori oleh Giorgio Muggiani, memutuskan untuk membelot serta mendirikan sebuah klub sepak bola anyar di kota Milan yang lantas diberi nama Internazionale Milano pada 9 Maret 1908 silam.
Perpecahan itu sendiri lahir akibat dominasi orang-orang Italia yang memperkuat Milan. Di sisi lain, orang-orang asing yang ada di klub tersebut acapkali dinomorduakan.
Mengacu pada situsi itu juga, Muggiani dan kolega sepakat dengan nama Internazionale untuk klub anyar bentukan mereka. Sebuah representasi nyata jikalau klub mereka terbuka lebar untuk orang asing.
Semenjak kemunculan I Nerazzurri, kota Milan yang mulanya terkonsentrasi buat mendukung I Rossoneri, mulai ‘terpecah belah’. Dukungan masif kepada Milan disaingi dengan sokongan kepada Inter. Tak ayal, rivalitas di antara Milan dan Inter pun semakin meruncing, baik di dalam maupun luar lapangan.
Layaknya klub pendatang baru lainnya, perjalanan Inter mengarungi kompetisi profesional di Italia sama sekali tidak mudah dan penuh liku. Pada era fasis kepemimpinan Benito Mussolini, Inter bahkan dipaksa untuk mengganti namanya jadi Ambrosiana Inter.
Kendati demikian, I Nerazzurri berhasil membuktikan diri bahwa mereka adalah tim yang wajib diperhitungkan dalam konstelasi sepak bola Italia setelah merebut lima Scudetto dalam rentang empat dekade usai berdiri. Pencapaian itu sendiri dilengkapi dengan satu buah trofi Coppa Italia.
Nama yang semakin besar seantero Negeri Pizza tak membuat kubu Inter puas. Di bawah rezim Angelo Moratti, tim ini justru menancapkan kukunya sebagai salah satu raksasa Eropa dan juga dunia.
Dibekali skuat mentereng semisal Tarcisio Burgnich, Mario Corso, Giacinto Facchetti, Sandro Mazzola, dan Armando Picchi, serta Helenio Herrera sebagai allenatore, Inter sanggup mencaplok tiga Scudetto plus masing-masing dua trofi Piala/Liga Champions dan Piala Interkontinental. Mengacu pada prestasi apik tersebut, skuat I Nerazzurri pun mendapat label La Grande Inter.
Namun era emas Inter di bawah komando Angelo selesai di tahun 1968 karena yang bersangkutan melepas kepemilikannya kepada Ivanoe Fraizzoli. Sedikit ironis bagi I Nerazzurri, periode Fraizzoli sebagai presiden selama hampir dua dekade cuma menghasilkan sedikit prestasi.
Situasi tak berbeda jauh juga dialami saat Ernesto Pellegrini menjabat sebagai presiden anyar dari tahun 1984 sampai 1995, padahal Inter termasuk salah satu klub Italia yang rajin mencomot pemain bintang di masa itu.
Nasib Inter berubah cukup drastis ketika putra Angelo, Massimo Moratti, mengakusisi klub dari tangan Pellegrini. Status taipan minyak membuat kondisi finansial Massimo cukup baik guna menopang roda operasional klub. Tak heran bila sejak ia duduk sebagai pemilik, Inter berulangkali membeli pemain-pemain dengan harga mahal, termasuk memecahkan rekor transfer. Tak peduli bahwa kelak, si pemain akan tampil jeblok berseragam biru-hitam.
Walau begitu, peruntungan klub yang berkandang di Stadion Giuseppe Meazza ini tak serta merta berubah. Karena banyak sekali pelatih yang menjadi korban ‘tirani’ Massimo. Butuh waktu satu dekade buatnya untuk membuat Inter berjaya di Italia, Eropa dan juga dunia.
Seperti sang ayah, rezim Massimo di Inter dihiasi cukup banyak gelar, antara lain lima Scudetto, masing-masing empat Coppa Italia dan Supercoppa Italia plus sebiji titel Liga Champions serta Piala Dunia Antarklub. Fantastis? Tentu saja.
Akan tetapi, era Massimo juga diekori dengan bobroknya Inter di sektor finansial. Bisnis klub tidak berjalan semestinya sehingga utang mereka menumpuk. Sialnya, nominal utang tersebut begitu masif dan sewaktu-waktu bisa membuat klub dinyatakan pailit alias bangkrut. Sebuah realita yang sampai hari ini, masih coba dipungkiri oleh sebagian Interisti.
Ketidakmampuan untuk mengelola klub kesayangannya lagi, termasuk menyelesaikan utang-utang yang ada, memaksa Massimo melego Inter kepada pebisnis asal Indonesia di tahun 2013 lalu, Erick Thohir. Namun pergantian kepemilikan tak langsung bikin neraca keuangan Inter membaik secara cepat.
Utang yang menggunung bikin Thohir berpikir keras untuk mengikisnya perlahan-lahan, termasuk menyesuaikan diri dengan klasul Financial Fair Play (FFP) yang sudah disepakati bersama asosiasi sepak bola Eropa (UEFA).
Beruntung, di tahun 2016 kemarin, Thohir mendapat ‘teman’ baru dalam wujud konsorsium asal Cina, Suning Group, yang dipimpin oleh Zhang Jindong.
Tak main-main, Suning Group bersedia membeli saham mayoritas Inter dari Thohir sebesar 68,55 persen. Meski begitu, pria asal Indonesia tersebut masih duduk sebagai pemegang saham minoritas sekaligus presiden klub.
Kudu diakui, Massimo yang mewariskan utang kepada para suksesornya membuat pergerakan klub sangat terbatas kendati telah diakuisisi. Inter seakan melangkah di jalan terjal yang begitu sulit dilalui dan penuh liku. Usaha bangkit dari keterpurukan memang bukan perkara gampang.
Mereka diwajibkan untuk terus menekan kerugian di setiap musim agar bisa lepas dari jerat FFP dan kebangkrutan. Alhasil, kemampuan finansial I Nerazzurri untuk membeli pemain bintang pun merosot drastis. Sialnya, keadaan ini juga membuat sisi kompetitif mereka terkebiri.
Tak ada trofi yang mampir ke Appiano Gentile, markas latihan Inter, selama tujuh tahun terakhir. Absensi dari kompetisi antarklub nomor wahid Eropa, Liga Champions, juga sudah mereka lakoni selama enam musim pamungkas akibat kepayahan untuk sekadar finis di posisi tiga besar. Jangan heran bila kesebelasan yang pernah datang ke Indonesia di tahun 2012 ini sering diejek pendukung klub lain.
Sekarang, I Nerazzurri merayakan hari jadi mereka yang ke-110 tahun. Namun untuk merebut kembali status tim raksasa nan tangguh serta kompetitif, Inter masih butuh perjuangan panjang, sistematis dan tak semudah menulis status di Facebook buat mengolok-olok manajemen.
Semoga kalian kuat, Interisti.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional