Dengan menemukan diksi serta penggunaan kalimat yang tepat, pelatih telah melangkah di jalur yang benar terkait perannya sebagai orang yang membantu pemain mengembangkan diri.
Berikut penjabarannya:
Pemain sebagai penerima informasi
Menentukan diksi serta cara menyampaikannya ke pemain bukan sekadar “menggunakan bahasa Indonesia” yang baik dan benar. Lebih dari itu, diksi dan penggunaan kalimat harus dapat dipahami pada konteks yang pas.
Perlu diingat juga, memilih diksi dan penyampaiannya harus memperhatikan kultur (sepak bola) setempat, kelompok usia, dan latar belakang pengetahuan pemain. Ketika pelatih merasa perlu meng-install permainan posisional dengan segala prinsip-prinsipnya, ia harus paham, pernahkah filosofi ini dipraktikan (secara turun-temurun).
Ketika permainan posisional merupakan barang baru, jangan kaget apalagi mangkel saat pelatih merasa pemain tidak kunjung memahami apa itu permainan posisional, serta apa yang perlu dan harus pemain lakukan di atas lapangan.
“Barang baru” selalu butuh waktu untuk dikenal dan diterima dengan hati terbuka.
Kelompok usia juga memegang peranan sangat penting. Melatih anak usia 12-13 tahun dengan melatih pemain usia 19-21 tahun bisa menjadi dua pengalaman yang sangat berbeda. Mayoritas anak usia 12-13 tahun, umumnya, belum memiliki kemampuan kognitif sebaik pemain berusia 20 tahun. Salah satu faktor yang memengaruhi kemampuan kognitif di sini adalah kemampuan untuk fokus pada satu objek.
Ketimbang orang dewasa, fokus anak usia dini lebih mudah terbagi, antara memperhatikan apa yang menjadi tujuan atau topik utama (sesuai yang disampaikan pelatih), dengan apa yang menarik perhatian mereka di sekitar lingkungan tempat berlatih.
Menghadapi hal semacam ini, pelatih bukan hanya perlu bersabar, tetapi ia harus memiliki evaluasi yang detail (yang saya sendiri belum mampu melakukannya secara konsisten dan terstruktur) terkait perkembangan anak. Di luar itu, kewajiban pelatih adalah menemukan diksi dan penyampaian yang mudah diterima sesuai kelompok usia.
Latar belakang pengetahuan (pendidikan) pemain, seperti pendidikan di sekolah formal, pendidikan di rumah, dan pergaulan di lingkungan sekitarnya, menjadi faktor (yang sangat) penting. Bila seorang pemain dibiasakan kritis, terbiasa menganalisis, mempertimbangkan, dan menyimpulkan apa yang mereka hadapi, dan diberikan bekal percaya diri yang tepat, ia memiliki potensi untuk lebih cepat bereaksi atau menangkap hal-hal baru yang sedang mereka pelajari.
Menentukan diksi dan cara penyampaian
Pada awal Februari 2018, saya sempat menghubungi beberapa kolega untuk meminta pendapat tentang penggunaan istilah ruang apit sebagai padanan halfspace dalam Bahasa Indonesia. Coach Ganesha Putra, salah satu orang yang saya hubungi, langsung memberikan saran untuk menyingkatnya menjadi RAPI (RuAng aPIt). Saya setuju dan keesokan harinya istilah ini kami gunakan di lapangan.
Di lapangan, penyingkatan istilah dan sosialisasi ke pemain dimulai dari pemahaman bahwa sepak bola bukan hanya tentang RuAng TengAh (RATA) dan RuAng Sayap (RASA), tetapi di antara kedua ruang tadi terdapat RuAng aPIt (RAPI). Kenapa disebut apit, karena ia diapit oleh koridor tengah dan sayap.
RATA, RAPI, RASA
Penggunaan istilah RATA, RAPI, dan RASA (yang singkat) membuat pemain mudah mengingatnya. Dan untuk, secara implisit, mengingatkan pemain bahwa RATA dan RAPI memiliki nilai strategis lebih berarti ketimbang RASA, urutan penyebutannya adalah RATA, RAPI, dan RASA.
Langkah berikutnya adalah mendiskusikan apa kegunaan masing-masing ruang. Penjelasan dimulai dari apa dan kenapa pentingnya formasi berlian (belah ketupat) atau segitiga, ketika bola berada di RASA di sepertiga akhir. Kemudian, penjelasan berlanjut dengan apa perbedaan antara melepaskan umpan silang dari RAPI dan RASA.
Kenapa “situasi ketika bola berada di RASA di sepertiga akhir” dan “umpan silang” digunakan untuk menjelaskan RAPI adalah karena, sejak game di hari pertama, yang terlihat adalah pemain selalu menyerang melalui RASA. Dan dari RASA, permainan akan “diakhiri” dengan umpan silang melambung ke depan gawang lawan (kultur sepak bola setempat).
Dribble cepat ke area depan membuat pemainan menjadi sangat vertikal. Situasi 1 lawan 1 (sama jumlah) bahkan 1 lawan 2 (kalah jumlah) di sayap sering kali tercipta. Salah satu penyebabnya adalah jarak antara pemain sayap dan penyerang tengah serta pemain belakang dan gelandang terlalu berjauhan antara satu pemain dengan yang lain.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai berdiskusi dengan pemain untuk memainkan sepak bola dengan akses yang lebih dekat antara satu dengan yang lain. Ke mana gelandang kanan harus bergerak ketika bola masuk ke sepertiga akhir di RASA kanan; ke mana penyerang tengah dan gelandang kiri jauh sebaiknya berposisi; di mana gelandang tengah sebaiknya bergerak; dan di mana bek serta kiper sebaiknya berpatroli.
Kepada setiap pemain di posisinya masing-masing, mereka mendapatkan panduan apa saja tugas mereka ketika melakukan Build Up Dari Kiper (disingkat BUDiKi)saat tendangan gawang. BuDiKi sendiri kami bagi menjadi dua, yaitu BuDiki setelah berhasil menggagalkan serangan lawan di dekat kotak penalti dan BuDiKi dari tendangan gawang. Karena kedua BuDiKi ini memiliki sifat-sifat berbeda, pemain diberikan panduan dan penjelasan yang membedakan keduanya.
Ide lainnya adalah menyuntikkan serum pressing ke dalam darah pemain. Salah satu area paling kentara yang mana pemain belum pernah belajar memainkannya adalah press tepat setelah kehilangan bola (gegenpressing).
Dalam sebuah obrolan, coach Ganesha menyampaikan, di Semarang, ada sebuah tim yang memakai istilah Kebo Langsing, yaitu KEhilangan BOla LANGsung presSING. Karena menarik, istilah ini langsung saya adopsi ke dalam tim (matur nuwun, coach Ganesha).
Dalam setiap bentuk latihan yang mana pemain wajib melakukan gegenpressing, istilah ‘kebo langsing’ sangat sering kami teriakan. Ini merupakan bagian dari penggunaan rangsangan suara.
Selain itu, penggunaan rekaman video latihan dan video dari sepak bola Eropa menjadi media yang kami pakai untuk mendiskusikan apa itu ‘kebo langsing’ dan bagaimana memainkannya. Dalam level individual, untuk pemain-pemain tertentu yang lebih “pasif” ketika pressing, setelah melalui diskusi berkelanjutan, penjelasan ‘kebo langsing’ kami permudah lagi dengan kalimat “rebut kembali secepatnya, setiap kali bola lepas” ditambah beberapa diskusi soal orientasi dan hubungan ruang-waktu (spatio-temporal).
Efek ketuk
Pemilihan diksi serta penyampaian yang berbeda sudah pasti memiliki efek ketuk berbeda. Contoh simpel, kalau pelatih terus-menerus memarahi pemain yang salah umpan ketika BuDiKi, perlahan tapi pasti, si pemain akan “takut” dan, pada gilirannya, selalu memainkan umpan melambung jauh ke depan tanpa ia paham kapan, bagaimana, dan kenapa ia melepaskan umpan jauh ke depan.
Sama seperti ilustrasi di atas, diksi serta kalimat penyampaian selama pembelajaran awal ‘kebo langsing’ membuat gegenpressing para pemain berkarakter ball oriented. Kenapa disebut ball oriented (berorientasi ke bola) karena tepat ketika bola lepas dari penguasaan, 2 sampai 4 pemain akan melakukan press segera ke area di mana bola berada.
Menyikapi adanya efek ketuk dari setiap kalimat, apa yang kemudian dilakukan oleh pelatih untuk menyikapinya menjadi sangat penting.
Begitu melihat efek ketuk terhadap aksi pemain, ada saatnya seorang pelatih tidak perlu serta-merta melakukan perubahan guna meredam efek yang muncul. Atau, lebih buruknya lagi, pelatih marah-marah serta menggunakan kata-kata yang, walaupun tidak terdengar kasar, tetapi malah membunuh kreativitas pemainnya.
Pelatih bisa mencatataksi aksi yang dilakukan para pemainnya untuk melihat sampai sefasih apa pemain memainkan gaya mereka saat ini. Pelatih (secara independen) dapat menentukan sampai sejauh mana level kefasihan pemain sampai sebelum ia memutuskan untuk melakukan perbaikan atau penyempurnaan.
Contoh, pelatih yang baru satu hari melatih ‘kebo langsing’ ke dalam tim dan melihat para pemainnya terlalu berorientasi ke bola, sebaiknya tidak perlu segera mendesain dan memberikan instruksi untuk melatih dan memainkan ‘kebo langsing’ gaya lain yang ia pikir “lebih aman”. Biarkan pemain memainkannya sampai pada level kefasihan tertentu bisa menjadi pilihan logis.
Kenapa? Karena desain baru akan terasa terlalu mendadak dan dapat membuat para pemain semakin “pusing”. Bisa saja, penyesuaian mendadak ini membuat pemain tidak dapat mengontrol kompleksitas latihan. Bukannya menjadi mahir, para pemain malah semakin bingung dan akusisi “kemampuan baru” menjadi zonk.
Dalam proses akusisi “kemampuan baru”, pelatih perlu untuk terus memberikan motivasi ekstrinsik dengan cara mendorong pemain untuk lebih konsisten dan berani beraksi walaupun banyak kesalahan mendasar yang dilakukan. Karena, sekali lagi, mempromosikan “barang baru” butuh waktu dan karenanya membutukan cara-cara yang tepat agar dapat diterima oleh pasar.
Tulisan terkait soal ini bisa dicek di sini:
- A Coaching Carol – The Ghost Of Coaching Past by Rene Maric di konzeptfussballberlin.de
- https://twitter.com/NovalAziz/status/945337968255942656 cuitan @NovalAziz di Twitter
Author: Ryan Tank (@ryantank_)