![fokus Napoli](https://football-tribe.com/indonesia/wp-content/uploads/sites/10/2018/02/Napoli.jpg)
“Sebelum menjadi raksasa Eropa, kami harus terlebih dahulu menjadi raksasa di Italia. Pertandingan kontra RasenBall (RB) Leipzig pasti sangat menarik. Namun prioritas utama kami pada musim ini ada di ajang Serie A”.
Begitulah kalimat yang dilontarkan oleh allenatore Napoli, Maurizio Sarri, sebelum berjumpa utusan Jerman tersebut di fase 32 besar Liga Europa musim 2017/2018 seperti dikutip via Gazzetta dello Sport.
Walau pernyataan di atas beraroma kejujuran tinggi dari sang pelatih, tapi sejumlah kalangan mengkritik habis Sarri dan Napoli lantaran mengesampingkan ajang Liga Europa yang juga menyediakan trofi untuk dimenangi.
Ketidakseriusan mereka untuk beraksi di kejuaraan antarklub kelas dua itu dianggap mencederai nama baik klub-klub Italia yang kini semakin tertinggal dari wakil Bundesliga Jerman, La Liga Spanyol, Liga Primer Inggris sampai Ligue 1 Prancis di kancah Eropa.
Ironis memang, tapi keputusan I Partenopei untuk memfokuskan segalanya pada kompetisi Serie A tentu sangat beralasan dan wajib dihormati oleh siapapun.
Terlepas dari performa apik yang disuguhkan oleh Dries Mertens dan kolega sehingga mereka duduk manis di puncak klasemen sementara, ada kekhawatiran bahwa kesungguhan Napoli untuk tampil di Liga Europa akan mengebiri kans mereka untuk menjadi kampiun di tanah Italia.
Seperti yang sama-sama kita ketahui, skuat asuhan Sarri terbilang cukup ramping yakni 24 orang pemain. Dengan gaya main yang begitu cair tapi menguras energi, membagi fokus di dua ajang berbeda jelas bukan perkara mudah. Terlebih, jadwal pertandingan di Liga Europa, Kamis malam waktu Eropa, sangat-sangat mepet dengan jadwal laga Serie A yang biasanya digelar pada Sabtu dan Minggu malam waktu Eropa.
Bukankah jadwal pertandingan Serie A bisa disesuaikan demi mengakomodasi kampanye Napoli di Liga Europa?
Memang benar apabila otoritas Serie A bisa menyesuaikan jadwal pertandingan di kompetisi domestik, misalnya saja laga-laga Napoli dimainkan pada Senin malam waktu Eropa, supaya tidak mengganggu aksi-aksi I Partenopei andai melaju jauh di Liga Europa. Akan tetapi, hal tersebut punya dampak negatif di sejumlah aspek.
Pertama, tentu berkaitan dengan masa istirahat yang semakin pendek. Hal seperti ini bakal mengganggu setiap persiapan yang dilakukan oleh Napoli setiap pekannya. Apalagi jadwal pertandingan di Liga Europa yang memiliki kontestan lebih banyak daripada kejuaraan antarklub Eropa yang lain, Liga Champions, sangat-sangat padat.
Bermain setiap tiga hari sekali jelas bukan sesuatu yang ideal buat Napoli sekarang, karena seperti yang telah saya catut di bagian awal artikel, skuat mereka tergolong ramping musim ini. Melakukan rotasi secara konstan tak selalu bisa menjadi jawaban.
Kedua, dengan asumsi Mertens dan kolega masih bertarung di Liga Europa, maka Napoli justru akan mendapat tekanan psikologis yang besar untuk bersaing dengan kandidat peraih Scudetto yang lain, Juventus. Memainkan pertandingan terakhir pada suatu giornata (Senin malam waktu Eropa), apalagi kalau I Bianconeri terus-terusan bermain lebih dahulu dan senantiasa memetik hasil positif, akan memberi tekanan hebat kepada Napoli.
Di sisi lain, anak asuh Sarri justru kehilangan momentum untuk mengirimkan ancaman nyata kepada pesaing beratnya tersebut, misalnya saja dengan bermain lebih dahulu sekaligus memenangi laga sehingga tekanan malah bersemayam di kubu Juventus.
Dalam situasi krusial seperti saat ini, aspek psikologis kerap menentukan langkah sebuah klub. Ada akibat fatal yang terhampar bila mereka gagal mengatasi tekanan-tekanan psikologis yang muncul kapan saja.
Di sepasang leg fase 32 besar Liga Europa melawan RB Leipzig, Napoli akhirnya rontok kendati agregat di antara mereka sama kuat 3-3. Mertens dan kolega kalah dalam hal agresivitas gol di markas lawan.
Usai ‘memastikan diri’ gugur dari Liga Europa, fokus Napoli bisa dicurahkan semaksimal mungkin pada ajang Serie A. Masih ada 11 pertandingan yang kudu mereka selesaikan di sisa musim ini sampai benar-benar mencaplok titel Scudetto ketiga mereka sepanjang sejarah.
Pada musim 2015/2016 silam atau periode perdana Sarri menukangi klub yang bermukim di Stadion San Paolo itu, Napoli dibawanya tampil eksepsional di Liga Europa dan juga Serie A. Walau begitu, ia mencoba untuk berfokus di kedua ajang sekaligus.
Namun sial, kekuatan I Partenopei seolah mengendur begitu memasuki fase gugur Liga Europa dan paruh kedua musim Serie A. Alhasil, mereka takluk di tangan Villarreal pada babak 32 besar Liga Europa dan terus merosot di papan klasemen Serie A. Padahal, kala itu Sarri berhasil membawa tim besutannya merengkuh catatan Campioni d’Inverno alias juara musim dingin.
Dalam kultur sepak bola Italia, kesebelasan yang berhasil mendapat titel tersebut seringkali keluar sebagai juara di akhir musim. Berdasarkan statistik dalam kurun 11 musim pamungkas, 10 peraih Scudetto adalah mereka yang beroleh predikat Campioni d’Inverno. Satu-satunya tim yang gagal itu adalah Napoli musim 2015/2016!
Enggan mengukir cerita pahit serupa, Sarri dan Napoli sudah membuat sebuah ketetapan di musim ini. Maka dari itu, I Partenopei harus selalu tampil maksimal karena Scudetto adalah harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional