Cerita

Cerai Sebelum Bercinta ala Bursa Transfer Liga Indonesia

Sebuah peribahasa berbunyi, sekali mendayung dua tiga pulau terlewati, yang berarti bahwa sekali melakukan sesuatu ada lebih dari satu pekerjaan yang terselesaikan. Situasi itu kurang lebih juga terjadi di Liga Indonesia, tapi sedikit dimodifikasi kalimatnya, menjadi: Sekali menggelar kompetisi, dua tiga masalah menghampiri.

PSSI didirikan pada 19 April 1930, dan saat ini sudah berusia hampir 88 tahun. Liga Indonesia kasta tertinggi yang dulunya terpecah menjadi Galatama dan Perserikatan mulai dilebur pada 1994. Artinya, sudah lebih dari puluhan tahun sepak bola Indonesia bergulir, tapi masalah-masalah yang timbul selalu sama tiap tahunnya, seakan berputar-putar di tempat yang sama seperti pengendara sepeda motor di wahana Tong Setan.

Jadwal kompetisi belum pasti, regulasi berganti-ganti, bahkan untuk hal yang sangat lumrah seperti perekrutan pemain saja, aroma semrawut masih sangat kental di bursa transfer Liga Indonesia. Poin terakhir itulah yang akan kita bicarakan di sini.

Bagi kita yang rutin mengikuti liga-liga top Eropa, pasti sudah familiar dengan kepindahan pemain di bursa transfer. Berawal dari calon klub baru dan sang pemain yang saling tertarik, dilanjutkan dengan negosiasi, dan berujung pada perpindahan pemain yang diiringi dengan nilai transfer, atau tanpa biaya jika memakai aturan Bosman.

Semua jelas, tersusun dengan rapi, untuk memudahkan tiap klub mengurus administrasi mereka dalam aktivitas jual-beli pemain. Manfaatnya apa? Pertama, klub bisa merancang manuver mereka di pasar pemain secara dini, dan bagi si pemain sendiri ia akan memiliki tenggat waktu yang pasti untuk menentukan ke mana akan berlabuh, jika memang berniat hengkang.

Lalu bagaimana jika pemain yang baru didatangkan tak lama kemudian justru diputus kontraknya? Inilah, yang sayangnya, masih terjadi di sepak bola Indonesia, yang musim lalu federasinya berkoar-koar slogan “Liga Baru Semangat Baru”.

Cerai sebelum bercinta

Fatkhullo Fatkhuloev terbang menuju Indonesia dengan optimisme tinggi. Berbekal status sebagai Pemain Terbaik Liga Tajikistan 2017 dan membawa timnya, Istiklol, menjuarai liga domestik di musim tersebut, ia yakin sepenuh hati dapat memberikan yang terbaik untuk klub barunya, Persela Lamongan.

“Saya mengerti Persela ini tim yang solid dan mengedepankan kekeluargaan. Saya juga tahu Persela baru saja kehilangan sosok legenda, Choirul Huda. Saat ini saya bahagia. Saya ingin fokus memberikan yang terbaik untuk Persela,” kata Fatkhullo setelah diperkenalkan sebagai pemain baru Laskar Joko Tingkir, dikutip dari Indosport.

Kedatangan Fatkhuloev pun menambah panjang deretan pemain Asia Tengah yang musim ini banyak berdatangan ke Liga Indonesia, seperti Azamat Baimatov (Borneo FC) dan Noureddine Davronov (Madura United), serta Manuchekhr Dzhalilov (Sriwijaya FC) yang merupakan rekan setimnya di Istiklol.

Akan tetapi, nasib Fatkhuloev tidak semanis dua rekannya tersebut. Kontraknya diputus Persela di tengah jalan dengan alasan sang pemain tidak cukup bagus kualitasnya. Padahal, ia sudah meneken kontrak selama setahun dengan klub asuhan Aji Santoso itu.

Tak hanya Fatkhuloev, nasib serupa juga dialami Gaston Castano, Rodrigo Ost dos Santos, Pape N’Daw, dan Marcel Sacramento. Kontrak mereka diputus klub di tengah jalan, yang membuat nasib mereka kini terkatung-katung, kecuali Marcel yang setelah dilepas Madura United langsung diikat Persipura Jayapura.

Pembatalan kontrak di tengah jalan tersebut menggambarkan bahwa ada yang tidak beres dalam sistem perekrutan klub-klub Indonesia. Fatkhuloev adalah pemain terbaik Liga Tajikistan musim lalu, dan Marcel masih terhitung sebagai penyerang tajam, tapi hanya karena performa mereka tak bagus di laga pra-musim, kontrak langsung dibatalkan.

Kemudian bagi Rodrigo (Arema FC) dan N’Daw (Persipura), kontrak mereka dibatalkan lantaran perubahan regulasi pemain asing yang baru diterapkan ketika bursa transfer Liga Indonesia sudah berjalan, bukannya diumumkan sejak hari pembukaan.

Parahnya lagi, jadwal ditutupnya bursa transfer Liga Indonesia tidak jelas, yang bisa menjadi penghambat mereka dalam mengurus berkas-berkas di klub baru, jika nantinya baru resmi bergabung jelas batas waktu penutupan. Sudah sering terjadi kan, pemain yang harus menunggu dokumen-dokumen transfernya sah dulu baru bisa dimainkan?

Mengurus perpindahan pemain itu tidak mudah dan cepat, terutama bagi pemain asing yang baru kali ini datang di Liga Indonesia. Harus ada dokumen yang lengkap seperti International Transfer Certificate (ITC) dan KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) karena mereka termasuk tenaga kerja asing.

Nah, kalau fenomena pemutusan kontrak secara dini di bursa transfer Liga Indonesia masih jamak ditemukan, bagaimana para pemain, yang sudah diceraikan sebelum sempat bercinta dengan klub barunya ini, bisa mengembangkan karier dengan nyaman? Justru yang ada hanyalah tekanan, karena setiap saat mereka dituntut tampil prima.

Berharap calon klub baru memberi kemudahan? Ya kalau memang ada, karena rasional saja, klub pasti lebih memilih pemain yang dokumen transfernya mudah diproses dan langsung siap main.

Fatkhullo Fatkhuloev dan beberapa pemain di atas hanya segelintir contoh dari maraknya fenomena pemutusan kontrak di awal musim yang dilakukan klub-klub Indonesia. Membuktikan bahwa sepak bola di negeri ini sangat sulit diajak berbenah. Orang-orang baik yang mengutarakan beragam saran perubahan bagaikan berpidato di padang pasir. Tak ada yang menggubris.

Bahkan Yoo Jae-hoon sampai berkomentar di salah satu akun sepak bola nasional yang tenar di Instagram.

“Setiap tahun berubah regulasi. Itu artinya setiap tahun mulai dari nol.”

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.