Entah kutukan atau apa, tapi keahlian Internazionale Milano buat menyia-nyiakan alumnus dari akademi sepak bola mereka sendiri sungguh luar biasa. Kalaupun bisa dihitung, barangkali jumlahnya mencapai ribuan. Tragisnya, banyak dari mereka yang sanggup memperlihatkan kilaunya di klub lain sehingga Interisti meradang.
Di era 1980-an silam, ada seorang bocah yang menimba ilmu di akademi I Nerazzurri. Walau masih belia, kemampuan olah bolanya dinilai cukup mumpuni. Aksi-aksinya di atas lapangan juga sering menghadirkan pujian. Dialah Giuseppe ‘Beppe’ Signori.
Akan tetapi, disaat ia siap beroleh status pemain profesional, Inter justru melepasnya. Pihak manajemen berargumen jika postur tubuhnya yang pendek bakal menyulitkan Signori untuk jadi seorang pemain hebat di kancah profesional.
Sebagai pemain muda yang punya cita-cita setinggi langit, apa yang diperbuat oleh manajemen Inter tentu sangat menjengkelkan. Oleh sebab itu, Signori memproklamirkan diri untuk membuktikan diri sekaligus membuat manajemen I Nerazzurri menyesali keputusannya.
Paham bahwa impiannya untuk menjadi pesepak bola profesional hebat tak bakal ia jalani bersama klub papan atas, Signori tak berkecil hati. Masa-masa bermain untuk klub-klub di divisi bawah Italia seperti Leffe, Piacenza, dan Trento, tetap dimanfaatkannya untuk mengasah kemampuan.
Semakin apik dan matangnya skill Signori membuat beberapa tim lain di Italia meminati jasanya. Satu di antaranya adalah Foggia yang akan bertempur di Serie B musim 1989/1990.
Dilansir forzaitalianfootball, Signori menceritakan pertemuan pertamanya dengan pelatih Foggia, Zdenek Zeman, sebagai sesuatu yang penuh impresi.
“Halo, Bomber”, ujarnya menirukan kata-kata Zeman waktu itu. Signori tentu heran dengan panggilan tersebut karena jumlah golnya selama berkostum Leffe, Trento, dan Piacenza pas-pasan.
Namun ucapan Zeman ketika itu menunjukkan bahwa sang pelatih tahu bagaimana cara memaksimalkan pemain barunya di atas lapangan. Berbekal gocekan, akurasi umpan, kecepatan lari, dan insting mencetak gol brilian, Zeman membentuk pria kidal ini sebagai predator ulung di kotak penalti. Cuma dalam tempo tiga musim, Signori berhasil membukukan 100 gol untuk I Satanelli.
Seolah tak cukup, bersama Foggia pulalah keahliannya sebagai algojo bola-bola mati semakin teruji. Salah satu ciri khas yang susah dilupakan penikmat sepak bola Italia adalah cara Signori dalam mengeksekusi tendangan bebas ataupun penalti.
Ia hanya akan mengambil ancang-ancang sejauh satu atau dua langkah dari bola. Menariknya, tendangan yang ia lepaskan memanfaatkan bola-bola mati itu tetap saja sulit diantisipasi para kiper.
Penampilan memukau yang disuguhkan Signori memutar roda nasibnya untuk bergabung dengan tim yang lebih mapan. Dengan mahar senilai 8 miliar lira, Lazio meresmikan kedatangan Signori ke Stadion Olimpico per musim 1992/1993.
Siapa yang menduga bahwa aksi-aksinya berseragam I Biancoceleste adalah momen emas dalam kariernya. Ia selalu menjadi andalan pelatih-pelatih Lazio, Dino Zoff dan juga Zeman, buat mengisi lini depan.
Kendati tak mampu menghadiahkan sebiji trofi pun untuk I Biancoceleste, ketajaman Signori di depan jala lawan membuatnya sukses meraup gelar capocanonniere sebanyak tiga kali (1992/1993, 1993/1995, dan 1995/1996).
Secara total, dalam kurun lima musim berkostum biru langit, Signori merumput di 195 partai pada seluruh ajang dan mengemas 126 gol. Jika dirata-ratakan, rasio gol Signori ada di angka 0,64 gol/laga.
https://www.youtube.com/watch?v=fLyagETZjNQ&t=3s
Namun kedatangan Sven-Goran Eriksson ke Formello, markas latihan Lazio di musim panas 1997, mengubah takdir Signori. Lantaran tidak masuk ke dalam skema permainan sang allenatore, waktu bermain sang penyerang ganas tereduksi. Di bursa transfer musim dingin 1998, ia pun memutuskan untuk merapat ke Sampdoria dengan status pinjaman.
Bareng I Blucerchiati, performa ajaib Signori dalam hal mencetak gol kembali melesat. Kendati demikian, ia tak memperoleh tawaran kontrak permanen dari klub yang berkandang di Stadion Luigi Ferraris tersebut.
Di sisi lain, Signori menyadari bahwa masa depannya tak lagi di Lazio. Kenyataan itu bikin ia memilih Bologna sebagai pelabuhan anyarnya per musim 1998/1999. Rupanya, keputusan pindah itu tidak salah karena ia tetap memesona kendati usianya telah menembus kepala tiga.
Selama enam musim, Signori menjadi idola publik Stadion Renato Dall’Ara. Menjadi ujung tombak utama tim, ia sempat mengecap manisnya kesempatan berkolaboarasi dengan nama-nama seperti Julio Cruz, Carlo Nervo, Gianluca Pagliuca, dan Fabio Pecchia sehingga I Rossoblu konsisten ada di papan tengah.
Dengan kostum Bologna, Signori berlaga di 173 pertandingan di seluruh ajang serta mengoleksi 80 gol. Sungguh catatan yang fantastis!
Penampilan eksotis dari figur yang sekarang merayakan hari ulang tahun ke-50 tersebut bahkan membuat tifosi I Rossoblu amat mencintainya. Saking cintanya, mereka justru melayangkan protes tatkala Signori terlibat perseteruan dengan pelatih Francesco Guidolin serta tak kunjung mendapat tawaran perpanjangan kontrak di pengujung musim 2002/2003.
Merasa tak mendapat dukungan, Guidolin berketetapan untuk mengundurkan diri. Tempatnya pun lantas digantikan oleh Carlo Mazzone. Namun sial buat Signori, di musim 2003/2004 ia kerapkali diganggu cedera. Alhasil, kesempatannya untuk turun ke lapangan juga merosot drastis.
Sadar jika kemampuannya tak lagi cocok untuk kasta tertinggi di Italia, Signori yang duduk sebagai pencetak gol terbanyak kesembilan sepanjang sejarah Serie A via torehan 188 gol sepakat pindah ke Yunani untuk membela Iraklis di Liga Yunani.
Walau begitu, karier Signori di Negeri Para Dewa berlangsung singkat karena di musim berikutnya, ia hengkang ke Hungaria guna memperkuat Sopron sekaligus mengakhiri karier profesionalnya di sana.
Karier sepak bola Signori memang tidak lekat dengan gelimang trofi, tapi meragukan kemampuannya untuk menjadi seorang pesepak bola nan hebat jelas patut disesali oleh manajemen I Nerazzurri.
Tanti auguri, Beppe.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional