Sering dikategorikan sebagai warga kelas dua, terutama setelah tragedi berdarah yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), etnis Tionghoa sebenarnya memiliki peranan besar dalam perkembangan olahraga sepak bola di bumi Nusantara. Bahkan, di masa lalu, etnis Tionghoa kerap menjadi andalan ketika Indonesia bertarung di pentas internasional.
Buku Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola karya R.N. Bayu Aji merupakan literatur yang wajib Anda baca apabila ingin mengetahui soal keterikatan etnis Tionghoa terhadap perkembangan sepak bola Indonesia. Di sana diceritakan bagaimana keterlibatan etnis Tionghoa ini terutama di awal-awal keberadaan sepak bola di Hindia Belanda.
Steden wedstrijden atau kompetisi internal etnis Tionghoa yang sudah dimulai sejak 1917, menjadi terobosan pertama. Awalnya, kompetisi mereka berjalan monoton karena hanya diikuti kelompok sepakbola Tionghoa dari kota-kota besar saja. Puncaknya, pada 1927, Comite Kampioen Wedstrijden Tiong Hoa [CKTH]. Dari situ akhirnya munculnya NHVB sebagai organisasi yang menaungi semua kelompok sepak bola Tionghoa di Hindia Belanda. Steden wedstrijden ini kemudian menjadi patokan awal adanya turnamen sepak bola di negeri ini.
Puncaknya jelas terjadi ketika Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda, bermain di Piala Dunia 1938 di Prancis, di mana skuat saat itu banyak diisi oleh para pemain dari etnis Tionghoa, mulai dari Tan Mo Heng hingga Tan See Hadi. Masih tercatat dalam sejarah bagaimana Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda merupakan negara Asia pertama yang berlaga di Piala Dunia.
Skandal suap Asian Games 1962
Pada era awal kemerdekaan, etnis Tionghoa masih merupakan primadona. Kualitas mereka diakui dan banyak diperlakukan laiknya bintang besar. Orang selalu berbondong-bondong untuk menyaksikan tim yang dihuni oleh etnis Tionghoa. Persija Jakarta saat itu merupakan salah satu tim yang dihuni oleh cukup banyak pemain dari etnis Tionghoa, juga rival mereka Persib Bandung yang sempat diperkuat oleh Endang “Si Kuda Terbang” Witarsa, yang memiliki nama Tionghoa, Liem Soen Joe.
Latif Harris Tanoto atau yang lebih dikenal sebagai Tan Lioung Houw, merupakan bintang besar dari etnis Tionghoa saat itu. Ia berperan penting membawa Indonesia bisa berbicara banyak di level internasional. Prestasi terbaiknya tentu ketika berhasil membawa Indonesia ke perempat-final Olimpiade di Melbourne pada tahun 1956.
“Jangan tanyakan masalah nasionalisme orang-orang Tionghoa. Kami siap mati di lapangan demi membela Indonesia melalui sepak bola,” menjadi ungkapan paling tersohor yang bisa terkenang dari sosok Tan Lioung Houw.
Namun setelahnya, situasi politik, sosial, dan keamanan Indonesia pada tahun 1960-an memang tidak kondusif. Mulai ada sentimen besar terhadap warga keturunan Tionghoa dan PKI yang kemudian menjadi partai terlarang. Semakin dipersulit karena saat itu beberapa pemain Tionghoa dianggap terlibat dalam skandal suap pada ajang Asian Games tahun 1962, hanya tiga tahun saja sebelum kejadian berdarah pada bulan September dan Oktober tahun 1965.
Setelahnya, seperti yang sudah tercatat dalam sejarah, sentimen terhadap etnis Tionghoa semakin menjadi ketika Soeharto menjabat sebagai presiden. Beberapa kebijakan yang banyak mengandung sentimen dan diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa menjadi salah satu penyebab mengapa semakin berkurangnya para pesepak bola dari etnis tersebut.
Jurnalis Kompas dan juga “guru” wartawan olahraga, Sumohadi Marsis, bahkan menyebut bahwa pada masa itu banyak sekali orang tua etnis Tionghoa lebih memilih agar anaknya fokus di dunia bisnis ketimbang sepak bola.
Ketika hak-hak mereka “dikembalikan”, terutama setelah era Reformasi pada tahun 1998, mulai kembali menjamur keberadaan etnis Tionghoa di lingkup sepak bola Indonesia. Sayangnya, mereka sejauh ini masih belum mencapai prestasi yang benar-benar signifikan. Nova Arianto menjadi generasi awal setelah Reformasi. Ia pernah beberapa kali membela tim nasional, namun tidak lama. Irvin Museng sempat menjadi harapan, namun sayangnya ia mesti pensiun dini.
Harapan kini ada di dua nama, yaitu Kim Kurniawan dan Sutanto Tan. Sayang, sepertinya keduanya lebih tersohor karena aktivitas di luar lapangan, padahal banyak yang mengakui bahwa kedua pemain ini memliki bakat dan kemampuan yang hebat.
Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia