Cerita

Burnley adalah Tim Paling Inggris di Liga Primer Inggris

Burnley menjadi sensasi di Liga Primer Inggris musim ini. Skuat asuhan Sean Dyche menjelma menjadi kuda hitam yang sulit ditaklukan. Mereka merangsek ke peringkat tujuh klasemen sementara, dan hanya kemasukan 23 gol. Jumlah yang lebih sedikit bahkan ketimbang tim-tim di atasnya seperti, Tottenham Hotspur, Liverpool, dan Arsenal.

Manchester United berhasil mereka tahan imbang di Old Trafford, sementara Chelsea berhasil Ben Mee dan kawan-kawan taklukan di Stamford Bridge. Manchester City dan Pep Guardiola yang tampil superior musim ini pun baru-baru ini gagal menaklukan Burnley di Turf Moor. Penampilan hebat mereka menjadi sesuatu yang menarik di Liga Primer Inggris musim ini.

Ada sesuatu yang boleh dibilang menarik dari penampilan luar biasa Burnley musim ini. Bukan terkait aksi mereka di lapangan, tetapi terkait kebijakan perekrutan pemain yang mereka sebenarnya mengandung sebuah nilai dan tradisi yang dipertahankan. Turf Moor, yang menjadi kandang Burnley, nyatanya begitu kental dengan rasisme dan etnosentrisme.

Rasio pemain Inggris dan pemain kulit berwarna di Burnley

Terkadang justru bukan di pusat pemerintahan tempat beradanya kaum puritan, atau mereka-mereka yang mengagungkan kemurnian suatu kelompok. Sama seperti Athletic Bilbao yang memiliki kebijakan pemain asal Basque, Burnley pun memiliki kebijakan ketat terkait perekrutan pemain mereka. Kesebelasan berjuluk The Clarets ini lebih mengutamakan para pemain asli Britania, dan lebih gilanya lagi, sepertinya Burnley lebih senang merekrut para pemain berkulit putih.

Burnley memiliki pemain Inggris terbanyak di antara seluruh peserta lain di Liga Primer Inggris. Skuat asuhan Sean Dyche memiliki 14 pemain asli Inggris di skuat utama mereka. Ini belum dihitung lima pemain asal Republik Irlandia, dan satu pemain asal Skotlandia yakni Phil Bardsley.

Jumlah 14 pemain ini bahkan lebih banyak ketimbang yang dimiliki oleh tim-tim besar Inggris seperti misalnya Arsenal, yang hanya memiliki lima pemain asli Inggris di tim utama mereka. Jumlah yang sama juga ada di skuat Chelsea. Sementara itu Liverpool dan United masing-masing memiliki sembilan pemain berkewarganegaraan Inggris. Lalu City dan Spurs memiliki tujuh pemain Inggris dalam skuat mereka.

Para pemain ‘asing’ Burnley pun sebenarnya bukan pengecualian. Penyerang asal Austria yang tengah moncer, Ashley Barnes, lahir dan besar di daerah Bath, yang tidak jauh dari Burnley. Steven Defour asal Belgia tapi sangat fasih berbahasa Inggris. Sementara Johann Berg Gudmunsson dan Anders Lindegaard, sudah lama berkarier di Inggris. Serta beberapa pemain yang berasal dari luar Britania tampi masuk dua syarat di atas, fasih berbahasa Inggris dan sudah lama bermain di sepak bola Inggris.

Berlanjut ke fakta selanjutnya. Di skuat utama Burnley saat ini hanya ada tiga pemain dengan kulit berwarna yakni Nahki Wells, dan dua pemain yang baru direkrut, Aaron Lennon dan George-Kevin N’Koudou. Jumlah ini jelas paling sedikit ketimbang tim-tim lain yang bahkan didominasi oleh para pemain berwarna.

Grafis di atas merupakan informasi terkait kuantitas para pemain kulit berwarna di tiap tim peserta Liga Primer Inggris. Burnley menjadi kesebelasan yang paling sedikit memiliki pemain dengan kulit berwarna. Kategori ini termasuk para pemain Asia dan Amerika Latin yang tidak berkulit putih. Sementara Watford menjadi kesebelasan yang paling banyak menggunakan para pemain dengan kulit berwarna, yang bahkan angkanya sampai mencapai 19 pemain atau sekitar 90% dari jumlah pemain mereka di tim utama.

Tren menarik lainnya adalah, meskipun Watford yang cukup dekat dengan ibu kota London memiliki jumlah pemain kulit berwarna yang cukup banyak, bisa dilihat kesebelasan-kesebelasan asal London memiliki pemain dengan kulit berwarna tidak sebanyak tim-tim lain. Arsenal, Chelsea, Bournemouth, Crystal Palace, dan West Ham United memiliki pemain dengan kulit berwarna tidak lebih banyak dari sepuluh pemain. Hanya Tottenham saja yang memiliki pemain berwarna lebih dari sepuluh pemain.

Menjadi wajar karena soal imigran dan rasisme adalah sesuatu yang masih sangat bergejolak di Inggris. London sebagai ibu kota tentu menjadi daerah yang paling mengalami dampak besarnya. Sementara dua kota industri, Manchester dan Liverpool, memiliki jumlah pemain dengan kulit berwarna yang lumayan banyak karena memang dunia industri sedikit lebih terbuka terhadap para imigran.

Apakah itu merupakan hal yang salah?

Penyebab utama tingginya tingkat rasisme di Burnley adalah hal yang serupa dengan yang terjadi di Inggris dan seluruh Eropa. Kedatangan para imigran yang kemudian dianggap membuat lapangan pekerjaan semakin sulit dicari menjadi akar masalah utama.

Para penggemar Burnley bahkan termasuk yang paling kentara menunjukan sikap rasis mereka. Hal yang bahkan membuat penyerang Andre Gray pergi dari Turf Moor dan mendarat di Watford yang lebih “ramah” terhadap para pemain dengan kulit berwarna.

Perlu banyak perspektif dan pandangan menyikapi kebijakan pemain yang dilakukan Burnley. Di satu sisi, ini tentu akan menyulitkan mengingat dunia dan sepak bola modern mengusung jargon “tanpa batas” dan universalisme. Bagaimana manusia dinilai bukan dari asal, suku, atau warna kulitnya. Tetapi benar-benar dari kualitas yang mereka miliki.

Tetapi di sisi lain, ada keteguhan prinsip yang mesti diapresiasi. Pertanda bahwa Burnley memegang teguh sesuatu yang menjadi akar dan identitas mereka. Karena di sepak bola Indonesia sendiri pun masih menjadi isu hangat, bagaimana para penggemar berharap tim mereka diperkuat oleh putra daerah.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia