Tepat pada hari ketika para pemain muda Uzbekistan melaju ke final Piala Asia U-23 setelah menghajar Korea Selatan dengan skor 4-1, Federasi Sepak Bola Uzbekistan meresmikan kerja sama dengan Federasi Sepak Bola Spanyol untuk memajukan pembinaan talenta masa depan mereka. Singkat kata, sepak bola Uzbekistan sedang menatap masa depan yang cerah.
Perhatian kita di Asia Tenggara mungkin terlalu fokus pada keberhasilan Vietnam U-23 melaju ke final ajang tersebut. Padahal, sejarah baru juga diukir oleh Uzbekistan yang akan menantang Vietnam di final Piala Asia U-23 pada hari Sabtu, 27 Januari 2017.
Perjalanan Uzbekistan U-23 terbilang mengejutkan. Di perempat-final, mereka mencukur habis juara bertahan Jepang dengan skor 4-0. Setelahnya, anak-anak asuhan pelatih Ravshan Khaydarov menghajar tim kuat lainnya, Korea Selatan, dengan skor 4-1.
Padahal pada dua keikutsertaan sebelumnya di ajang yang sama (tahun 2013 dan 2016), Uzbekistan U-23 gagal total di fase grup. Tim nasional senior mereka juga dirundung banyak masalah di sepanjang tahun 2017 lalu. Kegagalan melangkah ke Piala Dunia 2018 diikuti skorsing seumur hidup yang dijatuhkan kepada mantan pelatih kepala tim senior Uzbekistan, Samvel Babayan.
Menurut keterangan dari pihak federasi, pelatih berusia 46 tahun tersebut memanipulasi kontrak beberapa pesepak bola di Uzbekistan. Ia juga beberapa kali dianggap melakukan praktek nepotisme, dengan memasukkan beberapa pemain yang tidak kompeten ke tim nasional senior. Ini berdampak negatif pada performa tim nasional mereka dan menyebabkan kemarahan publik.
Optimisme baru di awal yang baru
Meski demikian, konflik tersebut tak dibiarkan berlarut-larut oleh Federasi Sepak Bola Uzbekistan. Mereka memilih fokus untuk mendukung penuh skuat U-23 mereka yang berlaga di Cina. Skuat muda ini dipimpin mantan pelatih tim senior mereka yang memilih turun gunung untuk melatih tim muda, Ravshan Khaydarov.
Khaydarov sendiri telah kenyang pengalaman sebagai pelatih klub Pathakor Tashkent. Bersama klub ibu kota Uzbekistan tersebut, ia meraih gelar ganda (Liga Uzbekistan dan Piala Uzbekistan) dua musim berturut-turut, pada tahun 2006 dan 2007. Ia juga pernah merasakan kendali tim nasional senior dari tahun 2002 hingga 2005.
Sang pelatih diberi tanggung jawab memotivasi pasukan muda Uzbekistan ini untuk mengulang prestasi ajaib mereka pada tahun 1994. Ketika itu, negara pecahan Uni Sovyet yang baru berusia seumur jagung ini sukses merebut medali emas Asian Games 1994 dengan mengandaskan Cina di final.
Prestasi itu menjadi tolok ukur kesuksesan tim ‘Serigala Putih’ dari tahun ke tahun. Apalagi, liga domestik mereka terbilang mengalami peningkatan kualitas dan reputasi menyusul keberhasilan mereka mendatangkan mantan pemain terbaik dunia, Rivaldo. Andalan tim nasional Brasil di Piala Dunia 2002 ini pernah mereka datangkan pada musim 2008/2009 sebagai marquee player untuk memperkuat Bunyodkor.
Rivaldo dan para pemain senior eks-Uni Soviet seperti Maksim Shatskikh akhirnya menjadi panutan para generasi penerus Uzbekistan selanjutnya. Javokhir Sidikov memimpin skuat muda di awal usia 20-an ini untuk meneruskan langkah senior-seniornya yang melanglang buana di luar negeri, salah satunya adalah Odil Ahmedov, andalan Shanghai SIPG yang konon hampir dikontrak Arsenal.
Banjirnya talenta bagus tentu saja tak berarti tanpa federasi yang baik. Dalam kasus Uzbekistan, penyelesaian konflik yang baik dan kerja sama dengan Spanyol sudah menggambarkan niat serius mereka dalam mengembangkan pemain muda. Pertemuan Presiden Federasi Sepak Bola Uzbekistan Umid dengan direktur teknis Federasi Sepak Bola Spanyol, Fernando Hierro, menghasilkan kesepakatan bahwa Uzbekistan akan belajarberbagai metode pelatihan, cara mengorganisir klub dan pembangunan infrastruktur.
Apa pun hasil final Piala Asia U-23 melawan Vietnam nantinya, sepak bola Uzbekistan sedang menyongsong masa depan yang cerah.
Author: Mahir Pradana (@maheeeR)
Mahir Pradana adalah pencinta sepak bola yang sedang bermukim di Spanyol. Penulis buku ‘Home & Away’.