Dunia Asia

Mengapa Pemain Myanmar Laku Keras di Liga Thailand?

Sejak beberapa tahun sebelumnya, kompetisi sepak bola Thailand sudah mencanangkan untuk menambah kuota pemain asing mereka. Dimulai sejak tahun 2018 ini, kompetisi sepak bola di sana menambah slot legiun asing mereka dengan secara khusus untuk kategori pemain asal Asia Tenggara. Tujuan besarnya adalah untuk semakin memopulerkan Liga Thailand, dan merambah pasar yang sebenarnya ada di depan mata.

Regulasi ini kemudian membuat komposisi pemain asing di Liga Thailand menjadi 3+1+1, dengan rincian sebagai berikut: tiga pemain non-Asia, satu pemain dengan paspor Asia, serta satu pemain asal Asia Tenggara. Yang menjadi menarik selanjutnya adalah bagaimana mayoritas klub Thailand menggunakan slot pemain asal Asia Tenggara mereka dengan para pemain asal Myanmar.

Dari 18 tim peserta T1 atau kompetisi level tertinggi sepak bola Thailand, lima kesebelasan di antaranya mengisi slot pemain asing asal Asia Tenggara mereka dengan para pemain dari Myanmar. Jumlah ini belum termasuk dua tim di T2 yang merupakan level kedua, yang mengisi slot pemain asing asal Asia Tenggara mereka dengan para pemain dari Myanmar.

Kesamaan budaya dan gaya bermain

Menjadi menarik untuk mengetahui apa yang menyebabkan klub-klub di Thailand memilih para pemain dari Myanmar ketimbang delapan negara lain yang ada di wilayah Asia Tenggara. Karena berbicara soal kualitas, tentu masih ada Vietnam atau bahkan Indonesia yang sebenarnya memiliki kualitas permainan yang lebih baik.

Soal kesamaan budaya dan gaya bermain nyatanya menjadi penyebab utama. Seperti yang diketahui bahwa Thailand dan Myanmar merupakan wilayah yang menjadi peranakan dari wilayah Cina. Dengan kata lain, dua negara ini berada dalam satu rumpun. Ada budaya, bahasa, bahkan agama yang hampir serupa antara Thailand dan Myanmar.

Fenomena ini tidak akan membuat klub kesulitan sebab para pemain akan mudah untuk beradaptasi. Sebuah proses yang sering disepelekan. Ada yang menyebut bahwa para pemain bisa saja berkomunikasi dengan “bahasa sepak bola” yang lebih universal, padahal kenyataannya tidak semudah itu.

Banyak gagal paham bahwaa sebenarnya sepak bola bagi kebanyakan atletnya sudah bukan lagi kesenangan. Bagi mereka sepak bola adalah mata pencaharian sekaligus pekerjaan yang tentunya akan memiliki tingkat stres tersendiri. Sama seperti ketika Anda berkerja di tempat baru dan sulit beradaptasi dengan lingkungan, padahal Anda begitu menguasai pekerjaan tersebut, Anda tentu ingin pindah ke tempat lain. Situasi serupa juga dialami oleh pesepak bola.

Proses adaptasi ini yang terkesan sederhana namun sebenarnya rumit. Klub juga tidak akan mengambil risiko bagi pemain yang memiliki kualitas namun akan kesulitan beradaptasi. Hal ini yang membuat kompetisi sepak bola di Malaysia memilih para pemain dari Singapura dan Indonesia, atau sebaliknya, karena ketiga negara tersebut berada dalam satu rumpun.

Soal gaya bermain juga menjadi alasan besar lain. Myanmar memiliki gaya bermain yang hampir serupa dengan Thailand, yaitu bagaimana memainkan sepak bola denga cara yang efektif menjadi utama di dua negara tersebut. Vietnam yang mengandalkan kecepatan, Malaysia yang mengandalkan teknik, dan Indonesia yang sangat mengutamakan kemampuan fisik, tentu membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan permainan yang sebelumnya sudah mengakar di Thailand.

Juga soal harga…

Pada akhirnya sepak bola modern memang sangat terkait dengan keuntungan klub. Para pemain Myanmar laris karena klub bisa menerapkan prinsip ekonomi yang paling mendasar. Yaitu soal mengeluarkan dana operasional yang minim, namun mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Dengan para pemain asal Myanamar, klub-klub Thailand tidak perlu repot untuk melakukan hal-hal lain termasuk soal adaptasi. Sederhananya, para pemain asal Myanmar sudah siap pakai ketimbang para pemain asal negara-negara lain di wilayah Asia Tenggara.

Pun soal harga. Para pemain asal Myanmar berharga jauh lebih murah ketimbang para pemain dari negara lain di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, harga dari Kyaw Ko Ko yang direkrut Chiangrai United adalah 25 ribu euro atau sekitar 400 juta rupiah. Sementara Andik Vermansyah di usia yang sebaya dengan Kyaw Ko Ko, memiliki harga pasar sekitar 125 ribu euro atau sekitar dua miliar rupiah. Selisih yang sangat jauh, bukan?

Maka, menjadi sebuah langkah yang sangat wajar ketika klub-klub kompetisi sepak bola Thailand lebih memilih para pemain asal Myanmar. Karena risiko yang didapatkan ketika mengontrak mereka tidak akan sebesar ketika mengontrak para pemain dari negara lain di wilayah Asia Tenggara. Terlebih regulasi ini baru diterapkan sejak musim ini. Klub-klub asal Thailand pun tentu perlu pembiasaan agar regulasi ini bisa terus berkembang ke arah yang lebih baik.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia