Zaman milenial seperti saat ini, perkembangan teknologi semakin pesat dan semakin banyak macamnya. Salah satunya adalah internet yang membantu seseorang berkomunikasi dengan orang lain meski mereka terpisah jarak ribuan bahkan jutaan kilometer. Internet pula yang memuat situs-situs media sosial daring dan menjadi media yang memperluas jaringan komunikasi masyarakat.
Situs media sosial daring yang sering digunakan di antaranya adalah Facebook, Twitter, dan Instagram. Ketiganya memberikan fasilitas yang menarik, mulai dari menulis apa yang ingin diungkapkan, memberikan jejak lokasi yang disinggahi, serta mengunggah foto dan video. Situs-situs itu juga yang memudahkan penggemar mengetahui kabar terbaru tentang pemain idola mereka.
Contohnya saja Cristiano Ronaldo yang juga menggunakan akun media sosialnya sebagai media promosi produk yang menjadi sponsor pribadinya dan bukan hanya kegiatannya sehari-hari. Di Indonesia, pemain yang juga aktif mengunggah foto aktivitas sehari-hari, misalnya Kim Kurniawan, Bambang Pamungkas, dan Irfan Bachdim. Mereka tak hanya mengunggah ativitasnya bersama tim, tapi juga foto dan video kegiatan sehari-hari mereka bersama keluarga.
Penggunaan media sosial bagi seorang pemain sebenarnya seperti dua mata pisau. Di satu sisi dapat menjadi ajang promosi dan meningkatkan pamor mereka untuk mendekatkan diri dengan penggemar, namun di sisi lain dapat menjadi bumerang atas performa buruk mereka ketika di lapangan.
Kita tentu tidak asing dengan pemandangan pemain yang sibuk menghadapkan wajahnya pada layar ponsel mereka selama berjam-jam. Bahkan ketika berjalan-jalan pun, mereka masih menunduk memperhatikan ponselnya daripada kondisi sekitarnya. Media sosial nampaknya begitu menyita perhatian para pemain. Tak jarang pula membuat mereka tidur terlambat karena terlalu asyik bermain dengan akun media sosial mereka hingga larut malam.
Apabila perilaku seperti ini sudah menjadi candu, tentu akan berakibat buruk bagi pemain. Bukan hanya tentang kesehatan mereka, tapi juga akan mempengaruhi kesehatan mental mereka. Kimberly Young membagi kecanduan internet menjadi lima jenis, yaitu kecanduan komputer (kecanduan game), informasi yang berlebihan (web surfing), dorongan bersih (judi daring atau belanja daring), kecanduan cyberseksual (pornografi daring atau kencan daring), dan kecanduan hubungan cyber (hubungan daring). Kecanduan media sosial daring atau sering disebut sebagai kecanduan jaringan media sosial daring termasuk dalam jenis kelima, yakni hubungan cyber.
Psikologi klinis menjelaskan lebih lanjut tentang kriteria kecanduan, di antaranya mengabaikan kehidupan pribadi, preokupasi mental (terlalu asyik), pelarian, pengalaman memodifikasi mood, toleransi, dan menyembunyikan perilaku adiktif. Seseorang yang termasuk ekstrovert (kepribadian terbuka) menggunakan jaringan media sosial daring untuk meningkatkan sosial mereka, sedangkan mereka yang introvert (tertutup) justru menggunakannya sebagai kompensasi sosial yang memungkinkan mereka menggunakan media sosial daring lebih sering. Hal ini kemudian memberikan dampak seperti narsisme yang tinggi dan rendahnya nurani.
Penelitian yang dilakukan oleh Daria J. Kuss dan Mark D. Griffiths tentang Daring Social Networking and Addiction—A Review of the Psychological Literature menjelaskan beberapa dampak negatif dari kecanduan jaringan media sosial daring misalnya menurunnya partisipasi sosial masyarakat dalam kehidupan nyata, penurunan prestasi akademik, serta masalah hubungan dengan orang lain.
Dampak buruk menurunnya partisipasi sosial pemain pada tim mungkin terlihat ketika acara tim banyak pemain justru sibuk sendiri dengan ponsel mereka masing-masing. Tentu hal ini membuat hubungan dengan orang lain menjadi renggang, malas mengobrol langsung, dan lebih tertarik dengan ponsel mereka. Padahal mengobrol dengan anggota tim lainnya dapat meningkatkan chemistry sebagai sesama anggota tim yang sekaligus meningkatkan kekompakan tim.
Partisipasi sosial yang rendah juga akan terlihat dari performa mereka di lapangan. Misalnya, ketika ada pemain yang kebingungan menjaga lawan, pemain lainnya justru hanya melihat atau bahkan pergi. Kepekaan dan kepedulian antar-anggota tim akan menurun dan justru sikap acuh yang meningkat.
Jim Taylor dalam artikelnya yang ditulis di Psychology Today juga menjelaskan dampak negatif yang dapat dialami pemain adalah menurunnya fokus. Fokus dan konsentrasi pemain mudah turun, sehingga mereka sulit memperhatikan instruksi pelatih, mengingat umpan balik, dan menjaga fokus baik disesi latihan maupun pertandingan.
Hilangnya fokus juga mempengaruhi keterampilan pemain akibat tidak memperhatikan instruksi pelatih saat latihan. Hal ini memungkinkan pemain justru meneruskan kebiasaan buruk mereka dan tidak dapat melatih keterampilan mereka lebih jauh lagi.
Pemain sebenarnya boleh menggunakan media sosial daring seperlunya, sehingga tidak akan mengganggu konsentrasi mereka di lapangan maupun menimbulkan perilaku negatif yang nantinya akan merugikan diri mereka sendiri dan tim. Pelatih dan manajemen juga berperan dalam memberikan edukasi maupun mengikat pemain dengan aturan untuk menghindari pemain mengalami kecanduan jaringan media sosial daring. Bijak dalam menggunakan media sosial akan membuat pemain lebih bijak di lapangan.
Author: Dianita Iuschinta Sepda (@siiemak)
Mahasiswi program magister psikologi di Universitas Airlangga Surabaya. Pecinta kajian psikologi olahraga dan Juventus.