Nasional Bola

Menagih Janji Usut Tuntas atas Berpulangnya Banu Rusman

Tidak terasa sudah lebih dari seratus hari kita kehilangan Banu Rusman. Sebagai publik sepak bola, sudah sepatutnya kita merasa kehilangan. Mengapa demikian? Karena saat meregang nyawa, almarhum ialah suporter yang tengah mendukung sebuah kesebelasan berlaga. Bahkan almarhum langsung hadir ke stadion.

Bukankah kita juga pernah begitu? Bukankah kita semua adalah suporter walaupun hanya berstatus suporter layar kaca?

Saya tidak sedang berkampanye karena saya tidak punya dana ratusan miliar untuk ikut kontestasi pemilihan Gubernur. Namun saya merasa perlu untuk mencurahkan kegelisahan hati saya sebagai suporter sepak bola. Sekaligus mengingatkan kepada khalayak bahwa yang terjadi pada Banu, dapat pula terjadi pada saya, anda, dan suporter manapun di Indonesia.

Memang apa yang telah terjadi pada Banu? 11 Oktober 2017 dihelat pertandingan yang mempertemukan PSMS dan Persita di Stadion Mini Persikabo, Kabupaten Bogor. Saat itu Banu hadir langsung sebagai suporter Persita.

Hasil akhir adalah 1-0 untuk kemenangan PSMS, tapi kemenangan itu ternodai oleh ulah kedua suporter yang terlibat bentrok. Dilansir dari CNN, kericuhan bermula saat suporter Persita masuk ke area lapangan hijau lantaran protes kepada manajemen. Situasi makin memanas ketika ada lemparan batu dari bangku penonton. Tidak terima, suporter PSMS yang didominasi anggota TNI melakukan serangan balik ke suporter lawan. Berdasarkan peristiwa itu terkuak fakta bahwa suporter PSMS yang hadir di tribun adalah anggota TNI aktif. Memang apa hubungannya PSMS dengan TNI?

Edy Rahmayadi yang saat itu menjabat sebagai dewan pembina PSMS, kebetulan seorang Pangkostrad. Sehingga wajar bilamana sang pembina coba tularkan hobi menonton sepak bola ke bawahannya, meskipun bawahan itu berasal dari lain lembaga.

Adapun hal itu harus kita apresiasi bahkan acungi jempol. Edy amat mencintai sepak bola Indonesia. Apa buktinya? Selain ‘membina’ PSMS, beliau juga merangkap Ketua Umum PS TNI dan Ketua Umum PSSI. Jadi keterlibatan para prajurit militer di tribun penonton, harus dimaknai sebagai ‘keberhasilan’ seorang Edy di bidang sepak bola. Kendati fenomena rangkap jabatan itu sempat dikritik Budiarto Shambazy, hal itu sama sekali tidak menjadikan Edy gentar sedikit pun.

Selepas tragedi nahas itu, Edy juga tidak tinggal diam. Melalui akun Twitter pribadinya, pria yang kini tengah menyalonkan diri jadi Gubernur Sumatera Utara ini menulis: “Saya akan usut tuntas persoalan kericuhan saat prtandingan psms persita, yg bersalah dihukum. Saya tegaskan yang bersalah pasti dihukum.” Adapun kalimat itu ditwit oleh akun @RahmayadiEdy pada tanggal 13 Oktober 2017, pukul 09:47.

Saya memang bukan pakar linguistik, sehingga saya tak tahu persis Edy menuliskan itu dalam kondisi seperti apa. Entah beliau lagi dalam kondisi bahagia, tertawa, gundah, atau berurai air mata. Saya tidak ambil peduli. Tetapi bagi saya, dua kali menyaksikan kata “dihukum” pada twit itu, cukuplah menegaskan bahwa sosok berpangkat Letnan Jenderal itu memang serius menginvestigasi tragedi yang menimpa Banu Rusman.

Status multi-jabatan yang ia emban pada waktu itu, sejatinya akan memudahkan dirinya dalam mengusut tuntas peristiwa yang menimpa Banu. Edy bisa memberikan sanksi militer ke pelaku (jika terbukti dilakukan oleh TNI AD) dengan kapasitasnya sebagai Pangkostrad. Beliau bisa menjatuhkan larangan menonton pertandingan di stadion bagi pelaku pengeroyokan Banu, dengan kapasitasnya sebagai Ketua Umum PSSI, atau mungkin membawa kasus ke ranah pidana atas nama pembina PSMS. Apapun bentuknya, bisa dilakukan jika memang ada kemauan.

Selain itu, Edy merupakan sosok nasionalis sejati. Aktif dalam berbagai kegiatan militer, pastilah menjadikan beliau pribadi yang cinta tanah air dan segala isinya, termasuk warganya. Banu Rusman ialah satu dari ratusan juta warga negara Indonesia. Dan sebagai perwira militer yang prestatif, Edy tentunya paham betapa mulia nyawa satu orang anak bangsa. Pasukan militer Indonesia dikenal dunia akan misi-misi kemanusiaannya, sehingga prinsip dasar humanisme juga pastinya terinternalisasi dengan baik dalam setiap laku tindak seorang Edy Rahmayadi.

Edy tidak mungkin tidak hafal Pasal 28A UUD 1945 yang kita semua sadari, UUD 1945 merupakan konstitusi sekaligus grundnorm alias norma dasar sebuah negara. Adapun bunyi pasal itu: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Sehingga menjadi terang sudah, bahwasanya hak hidup dijamin di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya hak ini mengakibatkan, tidak boleh ada manusia manapun di dunia yang dapat merenggut nyawa seseorang.

Indonesia, sebagai negeri yang dicintai oleh Edy, juga sudah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau biasa disingkat dengan ICCPR yang mana di dalam dokumen itu, turut memuat hak hidup sebagai hak sipil yang melekat. Meskipun beliau dididik lewat institusi militer, namun hal itu tidak serta merta menjadikan beliau lupa bahwa Indonesia adalah negara hukum yang amat menjunjung tinggi hak-hak sipil.

Sehingga menjadi penting untuk mendiskusikan kematian Banu, karena selain melanggar norma hukum, tragedi itu terjadi ketika sepak bola Indonesia sedang mencoba bangkit. Saya sangat sadar bahwa kasus Banu Rusman bukanlah yang pertama. Namun belum terlambat untuk menjadikannya sebagai yang terakhir. Bagaimana caranya? Kita harus terus-menerus tegur para pemimpin, khususnya pimpinan PSSI. Kita harus berani melawan serta menolak lupa.

Baca juga: Sepak Bola Indonesia, 50% Rusuh, 40% Dagelan, 10% Hiburan

Ratusan hari berlalu, momen demi momen kita lewati sebagai bagian dari publik sepak bola. Selepas kematian Banu, PSSI melaksanakan kongres tahunan di kawasan Tangerang. Namun apakah kongres itu memuat hasil investigasi tewasnya almarhum Banu? Atau setidaknya, adakah upaya untuk membentuk tim investigasi? Entah apa maksud PSSI berkongres di Tangerang tanpa sedikit pun menyinggung kasus almarhum Banu yang notabene suporter Persita Tangerang.

Semoga ketiadaan itu bukan merupakan bentuk kesengajaan apalagi pembiaran. PSSI tak bisa berkilah hanya karena pak ketum sedang sibuk dan fokus ke pilkada. Bukankah pada setiap organisasi ada yang namanya delegasi wewenang? Memangnya beliau tidak bisa membentuk tim investigasi yang terdiri dari berbagai latar belakang?

Jika memang terbukti ada pembiaran, maka sesungguhnya PSSI sedang abai kepada para suporter Indonesia. Betapa murah nyawa seorang suporter sepak bola di Indonesia. Betapa tidak pentingnya pendarahan di kepala akibat bentrokan yang terjadi di luar stadion.

Sebagai suporter, penting bagi kita untuk terus menagih janji yang disampaikan oleh Edy melalui Twitter. Sudah sampai mana pengusutan itu? Sudah tuntas atau belum? Apa hasil investigasinya? Bagaimana upaya PSSI untuk memastikan hal ini tak terulang di kemudian hari? Pertanyaan demi pertanyaan itu harus terus berdentuman di kepala tiap-tiap suporter Indonesia.

Karena apa yang telah menimpa Banu, juga sangat mungkin menimpa kita. Mengapa? Karena Banu Rusman adalah kita!

Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)