Nasional Bola

Menggugat Militerisme dalam Sepak Bola Indonesia

Militer dan sepak bola Indonesia bak dua sisi mata uang. Mereka tidak terpisahkan sejak awal berdirinya asosiasi sepak bola pertama dan satu-satunya di Indonesia (PSSI). Dari 16 nama yang pernah menjabat Ketua Umum PSSI, sembilan di antaranya berasal dari kalangan militer. Bahkan PSSI sendiri didirikan oleh ‘orang barak’ yakni Letnan Kolonel Ir. Soeratin yang pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan di awal revolusi.

Selepas kepemimpinan Soeratin pada 1940, PSSI butuh selang waktu sepuluh tahun agar militer dapat kembali ke pucuk pimpinan. Sejak saat itu, praktis militer tak pernah absen dalam kepengurusan sepak bola Indonesia. Bahkan militer mencatatkan rekor quintrick (lima kali berturut-turut) dalam sejarah Ketua Umum PSSI.

Nama-nama itu antara lain: Ali Sadikin, Letnan Jenderal Korps Komando Angkatan Laut, Sjarnoebi Said pernah menjabat Deputi Panglima Teritorium II/Sriwijaya, Kardono, Jenderal bintang tiga TNI Angkatan Udara, Azwar Anas dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal, dan Agum Gumelar lulusan Akademi Militer Nasional Magelang berpangkat Jenderal TNI.

Setelah Agum meletakkan jabatan pada 2003, para politisi yang punya hobi sepak bola mulai berani menggoyang posisi militer di tubuh PSSI. Nurdin Halid dan Djohar Arifin adalah nama-nama yang meredam gairah tentara. Setidaknya untuk sementara, karena toh ‘orang barak’ kembali memimpin PSSI.

November 2016 lalu nama Edy Rahmayadi didaulat sebagai Ketua Umum PSSI yang baru. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) itu terpilih, usai mendulang 76 suara pada Kongres PSSI. Di era kepemimpinan Edy, militer tidak hanya sebagai pengurus tapi juga partisipan dalam industri sepak bola Indonesia. Keikutsertaan PS TNI mendapat respons negatif dari masyarakat luas. Selain karena tidak lazim, kehadiran PS TNI juga melanggar aturan undang-undang.

Pada konsiderans Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, disebutkan bahwa TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

Hal itu diperkuat oleh Pasal 5 UU TNI yang menyatakan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Dari untaian kata-kata di atas, tidak ada satupun yang menyatakan tentara melaksanakan kebijakan di bidang olahraga. Dengan kata lain, posisi Ketua Umum PSSI saat ini berada pada zona abu-abu. Antara boleh dan tidak boleh.

Perlu diketahui, saat terpilih melalui Kongres PSSI, Edy masih berstatus tentara aktif dengan pangkat Letnan Jenderal dan jabatan Pangkostrad. Meski sekarang statusnya sudah bukan lagi tentara mengingat beliau sudah mengajukan pensiun dini,  dikarenakan ia tengah bertarung dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara, bukan karena terpilih sebagai Ketum PSSI.

Adanya orang militer di jabatan strategis bukanlah hal baru di Indonesia. Pada masa Orde Baru, militer sangat jamak dijumpai di pucuk-pucuk pimpinan lembaga baik regional maupun nasional. Pada pemerintahan Soeharto, militer mengadopsi paham Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang mana intinya paham tersebut memberi kewenangan kepada militer untuk terlibat berpolitik mengurusi urusan masyarakat sipil.

Paham Dwifungsi ABRI ini awalnya dimaksudkan agar menjadikan militer sebagai dinamisator dan juga stabilisator negara. Namun dalam perkembangannya, sistem Dwifungsi ABRI berkembang menjadi sistem kediktatoran. Sistem ini menjadi alat pelanggeng kekuasaan Soeharto. Siapa saja yang menentang Soeharto akan disingkirkan dengan cara apapun. Dengan napas yang sama juga, Soeharto menempatkan orang-orang kepercayaannya pada posisi strategis.

Sistem itu pun ditentang oleh para aktivis hak asasi manusia dan segenap masyarakat sipil. Puncaknya pada Mei 1998 yang ditandai dengan lahirnya Reformasi. Adapun penghapusan Dwifungsi ABRI, menjadi salah satu poin di dalam amanat reformasi. Dengan adanya amanat Reformasi, maka TNI sudah dikembalikan lagi ke barak. Hal ini mengakibatkan Tentara Nasional Indonesia yang masih aktif tak dapat lagi dikaryakan (ditugaskan) untuk menduduki posisi dalam pemerintahan sipil (termasuk PSSI).

Nyaris 20 tahun setelah tumbangnya Orde Baru sekaligus lahirnya reformasi, militer masih dapat kita jumpai di jabatan-jabatan strategis dewasa ini. Contoh konkret adalah keterlibatan Edy di PSSI. Tidak hanya mencampuri urusan masyarakat sipil, Edy juga berusaha menyatukan unsur militer dengan unsur sipil dalam postur sepak bola Tanah Air.

Baca juga: Perjalanan Dinas TNI dan Polri Tidak untuk Menjadi Suporter Sepak Bola

Kehadiran PS TNI misalnya, patut dicurigai oleh masyarakat awam sebagai upaya Edy untuk membangkitkan lagi ‘peran’ militer di tengah-tengah masyarakat sipil. Para tentara tidak hanya unjuk kebolehan di lapangan, militer juga unjuk kekuatan di luar lapangan.

Contoh kasus yakni saat PSMS Medan jumpa Persita Tangerang di turnamen Liga 2. Komplotan lelaki berseragam yang diduga oknum TNI, terlibat baku hantam dengan pendukung Persita yang mayoritas masyarakat sipil. Hasilnya? Jatuh korban bernama Banu Rusman, pendukung Persita. Ia meregang nyawa setelah mendapat serangan brutal oleh para pendukung PSMS yang mayoritas berasal dari kalangan militer.

Kehadiran klub PS TNI secara hukum juga tidak jelas keabsahannya. Hal itu mengingat klub seyogyanya dibentuk sebagai entitas bisnis, namun Pasal 39 UU TNI jelas-jelas melarang prajurit TNI terlibat dalam kegiatan bisnis. Para tentara yang terhormat harusnya paham bahwa sepak bola bukan sekadar sebelas lawan sebelas. Sepak bola merupakan industri menggiurkan. Di situ ada hak siar, perjanjian dengan sponsor, kontrak manajer dan pemain, pendapatan dari tiket penonton, dan tindakan-tindakan bisnis lainnya.

PSSI memang berutang budi pada tokoh militer, namun bukan berarti lembaga ini harus diisi oleh mereka-mereka yang sejatinya bertugas menjaga kedaulatan NKRI. Sebagai negara hukum, sudah sepatutnya hukum dijunjung tinggi. Sebagai pelaksana amanat Reformasi, sudah semestinya butir demi butir tuntutan reformasi dijalankan secara konsisten.

Jadi tidak ada alasan untuk tidak menggugat militerisme di tubuh PSSI. Alasannya jelas: militer melanggar UU TNI serta melukai amanat Reformasi yang diperjuangkan dengan peluh dan darah.

Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)