Suara Pembaca

Mencari Sanksi Ideal untuk Sepak Bola Kita

Sudah lagu lama bahwa sepak bola kita selalu dihujani dengan berbagai masalah di tiap musim. Padahal, operator liga dan PSSI selalu menyiapkan aturan-aturan yang harus ditaati seluruh peserta liga yang sekaligus merupakan anggota PSSI. Mereka juga menyiapkan sanksi-sanksi apabila ada yang melanggar aturan tersebut.

Selama ini, sanksi yang berlaku dalam sepak bola kita kebanyakan berupa denda. Ada pula sanksi tidak boleh mengikuti pertandingan selama beberapa kali, hingga sanksi paling berat adalah larangan berkecimpung di lingkungan sepak bola.

Sekian banyak sanksi yang sudah diberikan pada para pelanggar sepak bola kita, benarkah sanksi  tersebut selama ini sudah efektif memberikan efek jera?

Dalam level internal klub, sanksi materi dan fisik masih cukup efektif diberikan. Sanksi materi misalnya, berupa denda yang diberikan pada pemain maupun pelatih yang terlambat datang latihan atau mangkir tanpa ijin. Besar dendanya bermacam-macam, mulai 300ribu hingga 1 juta rupiah.

Sanksi fisik sepertinya juga sudah biasa bagi pemain. Biasanya, pelatih memberikan sanksi model ini untuk sekaligus meningkatkan kondisi fisik pemain. Bentuknya paling sering berupa berlari keliling lapangan atau push up beberapa kali.

Sanksi lain berupa pemberian minum saat latihan yang diberlakukan oleh tim Pelita Bandung Raya (sekarang Madura United) pada musim 2014 lalu. Sanksi ini diberikan untuk pemain yang datang terlambat saat latihan. Sanksi ini cukup menguntungkan baik bagi manajemen klub, karena setidaknya pengeluaran untuk menyiapkan konsumsi saat latihan berkurang. Bagi pemain sendiri, sanksi seperti ini membantunya lebih disiplin dan menjadi teguran agar lebih menghargai waktu latihan yang telah disepakati bersama.

Manajemen klub biasanya juga sudah menyiapkan sanksi khusus untuk pelanggaran tentang kontrak yang dilakukan oleh pemain. Misalnya, memberlakukan pemberian kompensasi untuk pemain yang mengakhiri kontrak sebelum jangka waktu kerja sama mereka berakhir. Ini wajar saja, karena klub tentu tidak ‘gratis’ memberikan berbagai macam fasilitas pada si pemain dan pemain juga harus memahami kontribusinya pada klub.

Satu jenis sanksi yang jarang diberikan pada pemain ialah sanksi sosial. Padahal sanksi sosial yang dapat diberlakukan di level tim maupun klub dapat memberikan dampak yang baik pula tim dan pemain itu sendiri. Misalnya, sanksi menyiapkan peralatan latihan.

Sanksi seperti ini bertujuan agar pemain lebih menghargai orang lain, yakni ofisial yang selalu membantu mereka menyiapkan alat-alat latihan. Selain itu, dapat juga dengan mengutus pemain yang melanggar untuk memberikan coaching clinic ke sekolah-sekolah. Kegiatan ini tentunya sekaligus menjadi bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) klub pada masyarakat sekitar.

Kebanyakan sanksi sosial diberikan pada manajemen klub maupun pelatih yang dianggap telah berdosa besar dalam penyelenggaraan sepak bola. Sanksi yang diberikan pada Heri Kiswanto yang saat itu menangani PSS Sleman tahun 2014 lalu menjadi contoh sanksi sosial. Ia, beberapa pemain, dan ofisial tim, terbukti terlibat sepak bola gajah atau pengaturan skor. Hukuman paling berat yang mereka terima, yakni tidak boleh berkecimpung di sepak bola seumur hidup. Selain itu, Komisi Disiplin PSSI juga menjatuhkan denda.

Baca juga: PSSI Kena Denda Ratusan Juta dari AFC

Besarnya denda dan lamanya hukuman belum menjamin pelaku akan insaf. Pemberi sanksi harus memahami apakah sanksi yang diberikan itu akan memberikan efek jera, sebatas teguran keras, atau justru akan mematikan karir si pelaku. Seperti yang diungkapkan Achsanul Qosasi melalui akun Twitter-nya (23/11), bahwa hukuman itu sifatnya mendidik, bukan membunuh, dan jangan semua direfleksikan dengan rupiah.

Melanggar aturan adalah candu, mirip dengan narkoba. Melanggar aturan akan menjadi kebiasaan apabila sudah berulang kali dilakukan, karena itulah sanksi atau hukuman dari melanggar tersebut juga harus mendidik.

Sanksi sosial dapat digunakan sebagai cara yang juga memberikan manfaat bagi pemain itu sendiri dan persepak bolaan Indonesia tentunya. Jika pelaku tidak diperbolehkan berkecimpung dalam sepak bola profesional, setidaknya ia masih diberikan kesempatan dengan memfasilitasi pembinaan atau pengembangan sepak bola usia di bawahnya. Mungkin dalam bentuk penyelenggaraan coaching clinic, seminar, atau juga dalam kegiatan sosial lainnya seperti pembinaan sepak bola bagi anak jalanan.

Tidak lupa pula untuk para penerima sanksi seharusnya mendapatkan pendampingan baik dari konselor, psikolog, maupun mereka yang ahli. Hampir sama dengan pemulihan pada pecandu narkoba, mereka masih mendapatkan pendampingan selama beberapa bulan untuk menghilangkan kecanduan mereka. Begitu pula untuk penerima sanksi, terutama untuk mereka yang melakukan kekerasan pada pemain, wasit, atau ofisial tim lain. Mereka dapat diberikan pendampingan berupa terapi pengendalian emosi misalnya. Pendampingan seperti ini berfungsi untuk melihat perkembangan pelaku setelah mendapat sanksi.

Sanksi tidak seharusnya mematikan karakter maupun karier seseorang. Sanksi seharusnya menjadi salah satu media untuk intropeksi, baik untuk diri sendiri maupun institusi. Pemberian sanksi terkadang hanya cukup menutup luka permukaan saja. Padahal seharusnya, sanksi tersebut juga mampu menyentuh masalah utama yang menyebabkan pelaku melakukan hal itu. Ini akan justru memberikan efek jera bagi pelaku sekaligus menjadi peringatan keras bagi pelaku lain yang belum ketahuan.

Namun, sekali lagi, sebenarnya sanksi-sanksi seperti ini merupakan pilihan bagi masing-masing institusi yang bersangkutan. Baik di level tim, klub, maupun nasional. Setidaknya pemberian sanksi dapat menjadi langkah awal pengendalian perilaku negatif dalam sepak bola kita.

Author: Dianita Iuschinta Sepda (@siiemak)
Mahasiswi program magister psikologi di Universitas Airlangga Surabaya. Pencinta kajian psikologi olahraga dan Juventus.