Ketika seorang bernama José Mário dos Santos Mourinho Félix sering berkomentar sinis tentang manajer klub lain dan di sisi lain Anda masih terheran-heran dengan sikap Mourinho itu, berarti Anda belum makrifat kalau mengatakan diri sebagai penikmat sepak bola. Orang yang benar-benar makrifat (mengenali) sepak bola, tak perlu mengernyitkan dahi mengetahui ucapan Mourinho yang hobi memulai dan memelihara perang kata-kata dengan manajer klub lain.
Sejak kedatangannya ke Liga Primer Inggris musim 2004/2005, Mourinho langsung membentuk citra diri sebagai orang teristimewa atau dengan istilah yang ia populerkan, The Special One. Untungnya, dia langsung sukses merajai kompetisi paling elite di Inggris itu selama dua musim berturut saat menukangi Chelsea. Di Internazionale Milano, dia bahkan sukses meraih Liga Champions dan treble.
Meski tak terbilang sukses besar, keberadaan Mou di Madrid dahulu kala sedikit mengurangi ketimpangan terhadap eksistensi Barcelona-nya Pep Guardiola yang paling sukses sepanjang sejarah. Sekembalinya di Chelsea pada 2013, dia sukses membuat The Blues sekali menjadi jawara.
Dan di Manchester United, minimalnya dia menyumbangkan trofi Liga Eropa musim lalu. Untung saja dibalik arogansinya yang bercucuran itu, dia berprestasi. Kalau saja sepanjang karier kepelatihannya kerap diliputi kegagalan, mungkin hanya predikat besar kepala bin takabur-lah yang tersisa dan lekat pada diri seorang José Mourinho.
Terbaru yakni perang kata-kata antara José Mourinho melawan Antonio Conte, pelatih Chelsea. Siapa yang memulai duluan perang dua pihak ini? Tergantung dari mana perspektif Anda berada. Pemicunya adalah ketika Manchester United dibantai 4-0 oleh Chelsea pada Oktober 2016. Conte, seperti kita ketahui, adalah sosok yang atraktif, sangat bergairah, dan liar di pinggir lapangan. Tak segan dia berlari dan merayakan gol timnya dengan mendatangi suporter di tribun.
Ketika itu, Conte bereaksi sangat gembira saat N’Golo Kante mencetak gol keempat. Pasca-laga usai, ternyata Mourinho merasa kecewa dengan selebrasi Conte yang ia anggap berlebihan. Dan hingga kini perseteruan antar dua pelatih itu belum juga usai. Terbaru, Mourinho menjuluki Conte sebagai “badut” dan menyinggung isu match fixing. Sedangkan Conte membalas dengan menganggap Mourinho sebagai manusia rendahan dan mengatakan simpati dari Mourinho ke Claudio Ranieri (saat dipecat Leicester City) adalah bentuk simpati palsu.
Baca juga: Perang Komentar Antonio Conte-Jose Mourinho dan Keluhan Irasional Jurnalis Inggris
Tentang pertikaian dua orang ini, mantan pelatih timnas Inggris, Fabio Capello, angkat bicara. Entah membela kompatriot senegaranya atau tidak, Don Fabio berujar bahwa harusnya Conte sadar dengan siapa dia meladeni psywar saat ini. Jangankan seorang Antonio Conte, yang baru sekali jadi juara di Inggris, pelatih kawakan seperti Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger pun berani diajak berkelahi kata-kata oleh seorang Mourinho.
Dari sini kita bisa mengambil dua kemungkinan, apakah Conte benar-benar tersulut oleh kobaran api dari Mourinho, atau justru mantan pelatih Juventus itu yang belum makrifat mengenai watak pelatih asal Portugal itu? Di sini, yang harus waspada justru klub dari kedua kubu pelatih. Melihat perangainya, Manchester United seharusnya cemas jika fokus Mourinho terbelah untuk meladeni Conte.
Masih segar dalam ingatan ketika Chelsea musim 2015/2016 hancur lebur dan entah kebetulan atau memang benar berefek buruk, kala itu Mourinho gemar sekali psywar terutama dengan Arsene Wenger. Bahkan, korban kata-kata Mourinho bukan saja pelatih lawan, para pemain Chelsea bahkan dokter tim seperti Eva Carneiro pun kena. Fokus Mourinho waktu itu seolah terbagi guna meredam isu non-teknis. Musim ini pun begitu, Mourinho masih sibuk meladeni nyinyiran seorang Antonio Conte.
Begitu juga sebaliknya, terlalu jauh meladeni ocehan mulut Mourinho bisa berakibat fatal bagi Conte. Fokus dirinya untuk memikirkan timnya sendiri suatu saat bisa terpecah, akibat adu urat syaraf tak berkesudahan dengan mantan pelatih FC Porto itu. Mourinho sendiri memang menjadikan psywar sebagai salah satu strateginya untuk merusak konsentrasi lawan dan hal itu sudah sejak dahulu ia lakukan sejak dari Chelsea, Inter, dan juga di Madrid.
Namun, ada satu yang sedikit menjadi tanda tanya. Kenapa Antonio Conte yang dipilih sebagai lawan oleh Mourinho, padahal notabene Chelsea saat ini tak begitu superior? Dan kenapa juga bukan Pep Guardola serta ketangguhan Manchester City yang ia jadikan musuh di musim ini? Mungkin alasannya, pertama karena Mourinho ingin melanjutkan friksi melawan Conte musim lalu. Tetapi ini kurang kontekstual, karena dengan Guardiola di Spanyol pun ia pernah berhadapan sebagai rival.
Seharusnya Guardiola adalah sasaran Mourinho, kalau memang taktik ini ingin digunakan untuk memecah konsentrasi mereka. Kedua, bisa jadi hal itu diartikan akibat Mourinho masih menyimpan bara yang enggan padam terhadap Chelsea sejak dua musim lalu.
Pada musim kedua di periode keduanya bersama London Biru, Mou mendapati para pemainnya sangat jeblok pada musim 2015/2016. Dugaan konspirasi dari para pemain untuk tampil buruk agar Mourinho dipecat menyeruak, hingga ia benar-benar dipecat Roman Abramovich pada akhirnya.
Buktinya kentara begitu ditangani Conte musim lalu, Chelsea langsung juara. Mourinho pasti sangat geram dengan hal ini. Maka dari itu, dia tak segan terus melancarkan serangan pada Conte yang menangani Chelsea. Selain karena Conte sendiri sosok yang eksplosif, Mourinho barangkali masih sakit hati atas perlakuan Chelsea dua musim lalu.
Sosok Mourinho diibaratkan seperti Sengkuni di tokoh pewayangan. Sengkuni adalah tokoh penghalal segala cara, meski tidak baik dan etis, hanya demi mewujudkan keinginannya dan menyimpan dengki terhadap Pandawa.
Mourinho menggunakan trik yang bisa dibilang cerdik (walau tidak etis) dengan perang kata-kata, di mana tujuannya adalah merusak konsentrasi (pikiran dan emosi lawan) demi membesarnya peluang memenangi laga. Selain itu, kebencian Mourinho kepada Conte yang terus menerus bisa jadi merupakan representasi atas sakit hatinya terhadap Chelsea dua musim lalu, yang masih membekas dan enggan pergi.
Entah akan sampai kapan ujungnya “tarung mulut” antara José Mourinho yang Sengkuni, dengan Antonio Conte yang sepertinya belum sepenuhnya makrifat akan sosok yang sedang ia hadapi saat ini. Ah, tetapi ya beginilah sepak bola. Kadang perlu hal-hal seperti ini agar menambah kesemarakan untuk dinikmati.
Author: Haris Chaebar (@chaebar_haris)