Saat bertempur di Piala Dunia 1998, tim nasional Yugoslavia memiliki skuat yang cukup mentereng. Vladimir Jugovic, Ivica Kralj, Sinisa Mihajlovic, Savo Milosevic, Dejan Savicevic, dan Dragan Stojkovic merupakan penggawa pilar bagi pelatih Slobodan Santrac.
Namun di luar nama-nama tersebut, ada satu sosok penyerang yang mendapat kepercayaan lebih dari Santrac lantaran terus menjadi pilihan utama yaitu Predrag Mijatovic. Pria kelahiran Titograd itu diberi peran sebagai second striker dalam formasi 4-4-1-1 yang senantiasa diterapkan oleh sang pelatih.
Performa yang ditunjukkan Mijatovic terbilang sangat apik. Selain menyumbang sebiji gol tatkala menahan imbang Jerman di laga kedua babak penyisihan grup, Mijatovic pun sukses mengantar Yugoslavia lolos ke babak perdelapan-final usai finis sebagai runner up Grup F.
Sialnya, kampanye Yugoslavia juga mesti disudahi pada babak tersebut akibat dipecundangi oleh timnas Belanda asuhan Guus Hiddink yang dimotori oleh nama-nama beken seperti Dennis Bergkamp, Patrick Kluivert, Jaap Stam, dan Edwin van der Sar.
Hanya beberapa pekan sebelum bertempur di ajang Piala Dunia 1998 bareng Yugoslavia, Mijatovic berhasil mengatrol namanya sehingga makin akrab di telinga penikmat sepak bola dunia.
Bermain untuk kesebelasan papan atas Spanyol, Real Madrid, lelaki yang kondang dengan sapaan Pedja ini berperan krusial buat perjalanan Los Blancos di ajang Liga Champions 1997/1998.
Salah satu momen terpenting dalam karier Mijatovic tentu saja partai final Liga Champions musim tersebut yang diselenggarakan di Stadion Amsterdam Arena.
Pada laga tersebut, Madrid yang sejatinya terseok-seok di kancah La Liga Spanyol kudu berjumpa wakil Italia yang sukses mencatat rekor tiga kali beruntun menjejak final dan baru saja merengkuh gelar Scudetto, Juventus.
Tim besutan Marcello Lippi yang saat itu dihuni oleh Edgar Davids, Alessandro Del Piero, Filippo Inzaghi, Angelo Peruzzi, sampai Zinedine Zidane juga lebih difavoritkan oleh banyak kalangan untuk mencaplok titel Liga Champions ketiga sejak klub berdiri tahun 1897 silam.
Bermain di depan 48 ribu pasang mata, babak pertama final tersebut lebih didominasi oleh anak asuh Jupp Heynckes. Namun nahas, peluang-peluang yang sanggup mereka ciptakan gagal dikonversi menjadi gol.
Sebaliknya, pada babak kedua malah Juventus yang lebih banyak memperoleh kesempatan buat membobol jala lawan. Akan tetapi, usaha Del Piero dan kawan-kawan kerap mentah di barisan belakang Madrid yang dikomandoi oleh Fernando Hierro dan Manuel Sanchis.
Kebuntuan di laga ini pupus di menit ke-66 setelah Madrid membuka keunggulan usai Mijatovic mencetak gol usai memanfaatkan bola sepakan Roberto Carlos yang membentur badan Mark Iuliano.
Manisnya, gol itu sendiri jadi satu-satunya yang lahir pada laga tersebut. Ketika wasit Hellmut Krug asal Jerman meniup peluit panjang, Madrid pun berhak membawa pulang trofi Liga Champions ketujuhnya sekaligus menyudahi paceklik gelar selama 32 tahun.
Gol ini sendiri masih kerap memunculkan perdebatan, khususnya di kalangan Juventini yang meyakini bahwa Mijatovic sudah berada pada posisi offside sebelum menceploskan bola ke jala Peruzzi.
Namun sejumlah pihak berasumsi bahwa wasit tidak menganggap itu offside karena bola lebih dulu membentur Mark Iuliano sebelum akhirnya melaju liar dan bisa dimanfaatkan oleh Mijatovic yang berlari menyongsongnya.
Selain itu, muncul pula dugaan jika salah satu pemain I Bianconeri yang berduel dengan Christian Panucci di sudut kanan lapangan beberapa detik sebelum gol itu lahir, masih berdiri di dekat garis belakang walau sosoknya tak tertangkap oleh kamera sehingga membuat posisi Mijatovic aman.
“Ketika itu belum ada teknologi dalam permainan sepak bola. Namun saya yakin bahwa gol yang kubukukan malam itu sah”, terang Mijatovic seperti dikutip via ESPN.
Teruntuk Mijatovic, pencapaiannya bersama Madrid pada saat itu seolah jadi pembuktian kariernya yang cemerlang di tanah Spanyol. Semasa aktif bermain, Mijatovic memang lebih banyak menghabiskan karier sepak bolanya di Negeri Matador.
Sebelum membela Los Blancos selama tiga musim dan mempersembahkan empat titel masing-masing satu trofi La Liga Spanyol, Piala Super Spanyol, Liga Champions dan Piala Interkontinental, Mijatovic juga tampil apik saat berseragam Valencia.
Merumput di Stadion Mestalla untuk tiga musim, Mijatovic bertransformasi jadi salah satu juru gedor andalan Los Che. Mengacu pada statistik yang dihimpun via Transfermarkt, Mijatovic berhasil mengemas 49 gol dari 90 partai yang dijalaninya bersama Valencia. Performa apiknya itu yang kemudian menggoda manajemen Madrid untuk mendaratkannya di Stadion Santiago Bernabeu.
Selain Spanyol, Mijatovic juga sempat merumput di Serie A usai bergabung dengan Fiorentina pada musim 1999/2000. Kepindahannya yang memakan biaya senilai 17 miliar lira itu disebabkan oleh makin meroketnya nama Fernando Morientes dan Raul Gonzalez sebagai duo penyerang andalan Los Blancos.
Memakai kostum La Viola selama dua musim, Mijatovic ikut berkontribusi atas titel Piala Italia musim 2000/2001 usai mengandaskan perlawanan Parma dalam dua leg. Akan tetapi, ketajaman Mijatovic yang cukup tinggi saat berkarier di Spanyol gagal terulang di Italia.
Di saat kariernya semakin mendekati akhir, Mijatovic memutuskan untuk kembali ke Spanyol guna bergabung dengan Levante selama dua musim walau kesempatan bermain dan gol yang ditorehkannya saat itu begitu minim. Di Stadion Ciutat de Valencia pula, Mijatovic mengakhiri karier sepak bolanya.
Selepas pensiun, Mijatovic sempat menjadi agen pemain serta direktur sepak bola Madrid pada tahun 2006 sampai 2009. Bagi sebagian orang, nama Mijatovic barangkali tak sepopuler beberapa penggawa Yugoslavia yang lain macam Mihajlovic dan Savicevic.
Akan tetapi, para pendukung Real Madrid di manapun berada, bakal selalu memujanya sebagai pahlawan Los Blancos menggapai The Seventh Heaven, julukan untuk gelar Liga Champions ketujuh Madrid.
СРЕЋАН РОЂЕНДАН, Pedja.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional