Saya bukan bermaksud seksis, tapi Charyl Chappuis memang ganteng banget! Andaikata ada semacam survei untuk menentukan siapa pesepak bola tertampan di Asia Tenggara, saya rasa hal ini sia-sia belaka. Chappuis, anak dari ayah orang Swiss dan ibu orang Thailand ini, sudah pasti merajai survei dengan menjadi nomor satu, sedangkan untuk posisi omor dua dan tiga bisa diperebutkan antara Syamsir Alam dan Lord Atep.
Tak sekadar tampan, pun tak seperti karier sepak bola Syamsir Alam, Chappuis tidak perlu banting setir ke dunia seni peran dan meneriakkan “My life my adventure” di tiap episodenya. Sedari kecil, pria kelahiran Kloten, sebuah kota kecil di Swiss ini, memang punya bakat sepak bola menonjol.
Semasa bermain di Swiss, ia pernah memperkuat salah satu klub papan atas di sana, Grasshoppers Zurich, yang juga membuatnya tampil menawan lalu menembus skuat timnas usia muda Swiss dari jenjang U-15 sampai U-20. Di tahun 2009, Chappuis tergabung dalam skuat U-17 Swiss yang secara mengejutkan menjadi juara di Piala Dunia U-17, usai menundukkan tuan rumah Nigeria di partai puncak.
Capaian ini yang membuat pengalaman internasional pemain Muangthong United ini begitu mengilap. Di tim yang kala itu bertanding di Nigeria, ia satu tim dengan nama-nama tenar saat ini seperti gelandang Arsenal, Granit Xhaka, bek kiri AC Milan, Ricardo Rodriguez, gelandang Stoke City, Xherdan Shaqiri, dan sang top skor turnamen yang kini menjadi juru gedor utama Die Nati, Haris Seferovic.
Menolak Juventus, lalu hijrah ke negeri sang ibu
Capaian sensasional di tahun 2009 pula yang membuatnya sampai diburu banyak tim Benua Biru. “Selepas final di sana (Nigeria), saya menerima 10 sampai 15 telepon dari beberapa pemandu bakat di Eropa. Begitu banyaknya sampai saya takjub dan bimbang harus bereaksi seperti apa,” ujar Chappuis seperti dikutip oleh Goal.
Dari puluhan tawaran tersebut, satu yang berkesan adalah kedatangan Gianluca Pessotto, pemandu bakat Juventus kala itu, yang diakui Chappuis, datang menawarkan kontrak sebagai pemain junior di Juventus. Namun, karena masih bimbang dan takut mengambil tantangan, eks pemain Buriram United ini menolak dua kali tawaran Pessotto, yang kini menjadi head youth development di klub penguasa Italia itu.
2013 adalah titik balik dari segalanya. Pemain rupawan ini kembali ke negara asal sang ibu untuk memperkuat salah satu kesebelasan top Negeri Gajah Putih, Buriram United. Sempat bermain gemilang di Liga Champions Asia bersama Buriram, Chappuis hengkang ke Suphanburi, sebelum di sana ia melewatkan 16 bulan karena cedera parah yang memaksanya melewatkan tahun 2015 menepi dari pinggir lapangan.
2017 adalah tahun di mana kemudian gelandang serang energik ini mengembalikan performanya dan ia tampil gemilang di tim super, Muangthong United. Di tim kaya raya tersebut, ia menjadi pilar inti bersama koleganya di timnas mulai dari Teerathon Bunmathan, Kawin Thamsatchanan, hingga penyerang ikonik Asia Tenggara, Teerasil Dangda. Tapi sayang bagi Chappuis, per 2018, ketiga koleganya hengkang ke Jepang dan Belgia.
Di usianya yang baru beranjak 26 tahun hari ini, si tampan blasteran Swiss-Thailand ini akan menjadi tulang punggung utama dari skuat senior Thailand yang masih akan mengejar mimpi ke Piala Dunia 2022 di Qatar nanti. Bahkan, bersama tandemnya di lini tengah Thailand, Saraach Yooyen, Chappuis termasuk ke dalam deretan pemain yang tengah diincar klub-klub Jepang. Di timnas pun, Chappuis bersama Yooyen, Chanathip Songkrasin, dan Tanaboon Kesarat, adalah kuartet yang menjadi generasi emas sepak bola Thailand di misi besar mereka menuju Piala Dunia pertama mereka sepanjang sejarah.
Selamat ulang tahun, Chappuis, jangan ikuti jejak Syamsir Alam, ya!
Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis