Nasional Bola

Penyelesaian Sengketa Kontrak Pemain di Indonesia: Kewenangan Para Pihak (Bagian 1)

Sepak bola tidak selesai dalam 90 menit pertandingan. Problematika si kulit bundar juga tersaji sesudah pertandingan, bahkan sesudah turnamen berakhir. Adapun masalah yang kerap terjadi di Indonesia usai berakhirnya musim kompetisi, yakni perihal tunggakan gaji pemain.

Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, mengatakan supaya kasus penunggakan gaji di sepak bola Indonesia jangan sampai membuat pemerintah turun tangan. Beliau menambahkan agar PSSI segera mencari solusi akan hal itu.

Menpora, dalam hal ini pemerintah, merasa perlu untuk menyampaikan opininya karena isu yang dihadapi adalah kesejahteraan seorang atau beberapa orang atlet. Komentar dari Menpora patut dimaknai PSSI sebagai teguran, agar jangan sampai pemerintah melakukan intervensi dan FIFA kembali membekukan sepak bola Indonesia.

Sehingga jadi bahasan menarik, sejauh mana kewenangan PSSI dalam menangani isu tersebut? Mengapa pemerintah perlu berkomentar, mengingat isu ini sejatinya merupakan urusan antara klub dengan pemain? Melalui tulisan ini, saya coba menguraikan posisi dan kewenangan para pihak di dalam sengketa.

Jika bicara kontrak, maka tidak dapat terlepas dari hukum perdata. Kontrak merupakan bentuk lain dari perjanjian yang menurut Profesor Subekti, adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana kedua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dalam hal ini, kontrak pemain adalah perjanjian antara pihak klub dengan pemain sepak bola, untuk melaksanakan sesuatu hal yang apalagi kalau bukan bermain sepak bola.

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum itu sendiri adalah timbulnya hak dan kewajiban. Jika pemain berkewajiban bermain di dalam pertandingan resmi klub, maka kewajiban klub adalah membayar si pemain. Dalam ilmu hukum perdata, kewajiban yang tidak dijalankan atau dipenuhi adalah wanprestasi (ingkar janji). Kondisi itu yang akan menjadi sengketa dan harus diselesaikan oleh para pihak yang terlibat di dalam kontrak.

Klub dan pemain

Masalah tunggakan gaji hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang mungkin terjadi. Selama itu diatur di dalam kontrak, maka para pihak yang terlibat dalam hal ini pihak klub dan pihak pemain, adalah subjek utama di dalam sengketa. Itulah mengapa, kontrak yang baik adalah yang turut memuat mekanisme penyelesaian sengketa.

Kredit: Penulis

Berdasarkan kontrak di atas, diketahui bahwa sengketa yang terjadi wajib diselesaikan secara kekeluargaan. Jika dengan cara kekeluargaan masih belum beres, maka tahap selanjutnya adalah penyelesaian melalui “prosedur keluhan” sebagaimana tertuang pada kontrak di atas. Adapun prosedur tersebut dapat dimaknai sebagai keterlibatan PSSI selaku pihak ketiga di dalam kontrak pemain.

Kewenangan PSSI

Dalam ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata, kedua pihak yang telah bersepakat dapat pula mengadakan perjanjian untuk melibatkan pihak ketiga. Hal ini sesuai dengan semangat hukum perjanjian yang menganut sistem terbuka. Artinya, hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat tuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, sepanjang tak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Dalam hal melibatkan federasi sepak bola di dalam kontrak pemain, hal ini masuk akal dan tentu saja sama sekali tidak bertentangan dengan ketertiban umum apalagi kesusilaan. Pasal 4 ayat (1) butir di Statuta PSSI menyatakan bahwa PSSI bertujuan untuk melindungi anggota.

Adapun yang dimaksud “anggota” dalam hal ini adalah klub-klub yang menjadi peserta di kompetisi yang diselenggarakan PSSI. Sehingga, penting bagi PSSI untuk memberi perlindungan bagi klub pada setiap aktivitasnya termasuk yang tertuang di dalam kontrak pemain.

Sejak adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006, klub-klub dilarang menggunakan dana APBD. Untuk itu, PSSI dan terutama klub-klub harus kreatif dalam mencari pemasukan. Dalam hal ini, PSSI biasanya memberikan bantuan dana subsidi untuk mengejawantahkan makna “melindungi” di dalam statuta yang mereka susun sendiri. Sehingga posisi PSSI dengan klub sangat erat dan bilamana terjadi sengketa kontrak pemain, PSSI tidak dapat begitu saja lepas tangan.

Dalam rangka melindungi para anggotanya, PSSI juga membentuk suatu badan peradilan  melalui Pasal 69 Statuta PSSI yang menangani semua perselisihan internal nasional antara PSSI, anggota-angotanya, pemain-pemain, petugas dan pertandingan serta agen pemain yang tidak berada di bawah kewenangan badan-badan hukumnya. Tentu saja peradilan itu harus berada di luar peradilan umum yang dikuasai negara.

Lalu apa jenis badan peradilan yang dimaksud? Awal tahun 2017, PSSI menerima injeksi dana sebesar 40 ribu dolar AS dari FIFA. Adapun uang itu dimandatkan untuk membentuk National Dispute Resolution Chamber (NDRC). NDRC ini nantinya berfungsi sebagai badan arbitrase dengan basis sengketa yang dibahas yakni kontrak klub dan pemain. FIFA menambahkan, agar nantinya lembaga ini diisi oleh berbagai unsur perwakilan, baik itu dari pemain, perwakilan klub, dan perwakilan PSSI.

Peran APPI dalam advokasi

Sebagai anggota PSSI, wajar apabila klub mendapat perlindungan dari federasi. Lantas bagaimana dengan nasib pemain? Siapa yang berwenang melindungi mereka? Siapa yang akan menjadi back-up ketika pemain melayangkan gugatan kepada klub?

Asosiasi Pemain Sepakbola Profesional Indonesia (APPI), punya misi untuk melindungi, meningkatkan, dan menegosiasikan kondisi, hak dan status dari semua pemain profesional yang bermain, dan berkontrak di Indonesia. Dalam riwayatnya, APPI sudah sering mengadvokasikan kasus-kasus yang menimpa pemain profesional. Contoh yang terkenal yaitu pada akhir 2013 lalu, APPI mendampingi Bambang Pamungkas dan Leo Saputra, menggugat PT. Persija Jaya Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kehadiran APPI murni untuk kepentingan pemain sepak bola. Itulah mengapa, di dalam kontrak pemain, pihak APPI turut terlibat sebagai perwakilan pemain. Jadi jika sewaktu-waktu timbul sengketa di dalam kontrak, pemain tidak perlu risau sebab APPI siap membantu mereka.

Tujuan mulia APPI semakin diperkuat melalui hasil keputusan Kongres Tahunan PSSI pada 8 Januari 2017 lalu. Kongres yang digelar di Hotel Aryaduta, Bandung ini, mengukuhkan posisi APPI sebagai mitra kerja PSSI. Implikasinya adalah, PSSI mengakui segala aktivitas APPI dan secara hukum hubungan mereka setara.

Pengakuan politik terhadap APPI sangat penting tuk meningkatkan bargaining position lembaga independen itu di mata PSSI. Diharapkan, peran APPI semakin nyata dalam menangani sengketa kontrak pemain. APPI diharapkan tidak hanya bertindak ketika terjadinya sengketa, tapi juga mampu mencegah timbulnya sengketa. Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah supaya ke depan, pemain sepak bola di Indonesia bernasib baik dan makin sejahtera.

Peran pemerintah sebagai pembina

Kita perlu sadari bahwa FIFA mengharamkan pemerintah atau institusi negara terlibat dalam mengurusi urusan sepak bola. Indonesia tentu sudah paham betul isu intervensi ini sangat sensitif. Jika terbukti ada campur tangan pemerintah, akibatnya tak main-main. Timnas Indonesia bisa dibekukan dari segala kegiatan di level internasional.

Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Menpora, tidak berwenang dalam menyelesaikan sengketa kontrak pemain. Namun, isu tunggakan gaji adalah isu kesejahteraan masyarakat yang tidak dapat serta merta luput dari perhatian. Maka solusi yang dapat penulis tawarkan untuk pemerintah yakni memaksimalkan perannya sebagai pembina.

Siapa yang dibina? Tentu saja pemain sepak bola di Indonesia. Mereka adalah atlet yang awam dengan istilah-istilah hukum. Sebagai seorang profesional, tentu fokus mereka sepenuhnya tercurah pada pertandingan dan target di dalam sebuah kompetisi atau turnamen.

Maka dalam hal ini, pemerintah dapat bekerja sama dengan APPI atau lembaga-lembaga lain untuk melakukan sosialisasi pemahaman kontrak. Dengan harapan, setidaknya para pemain paham akan hak dan kewajiban mereka.

Dengan kata lain, peran pemerintah hanya berada di sektor hulu. Ketika sengketa terjadi, praktis yang dapat pemerintah lakukan hanya sebatas teguran dan teguran yang sesungguhnya itu tidaklah efektif. Meski demikian, pemerintah tetap boleh melakukan pemantauan.

Berdasarkan pantauan itu, pemerintah harusnya bisa mendata berapa banyak kasus yang terjadi. Jika dianggap tinggi, maka di tahun berikutnya pemerintah harus lebih aktif lagi melakukan sosialisasi kepada para pemain. Bahkan jika perlu dan memang perlu, pemerintah jemput bola hingga ke pelosok Tanah Air.

Author: Agung Putranto Wibowo (@agungbowo26)