Nasional Bola

Menakar Nasionalisme di Sepak Bola Indonesia: Dari Penolakan Emil Audero Mulyadi hingga Perkataan Ketua PSSI

Nasionalisme. Sebuah kata yang mendadak populer di kalangan pencinta sepak bola nasional akhir-akhir ini, akibat pernyataan kontroversial Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi. Nasionalisme. Sebuah perpaduan kata dari “nasional” dan “isme” yang kurang lebih berarti, paham tentang membanggakan bangsa dan mengutamakan kepentingan negara.

Pejuang kemerdekaan sudah pasti nasionalis. Guru tentunya juga nasionalis. Presiden apalagi, tak perlu diragukan nasionalismenya. Tapi bagaimana dengan pesepak bola? Apa yang membuat mereka bisa dicap nasionalis dan tidak nasionalis, khususnya di Indonesia?

Kalau tolok ukurnya adalah menerima panggilan tim nasional, Jhonny van Beukering dan Tony Cusell berarti nasionalis, dong? Kan mereka pernah main di timnas Indonesia. Tapi, apakah jasa-jasa mereka layak dikenang? Mungkin tidak ada di antara kita yang mau mengingatnya, kecuali sebagai guyonan.

Kalau tolok ukurnya adalah negara di mana pemain itu berkarier, berarti Andik Vermansyah tidak nasionalis, dong? Dia sudah main di Selangor sejak 2013, dan Edy Rahmayadi terpilih jadi Ketua Umum PSSI pada 2016. Jika memang bermain di Malaysia adalah “larangan”, kenapa setelah Edy duduk di kursi nomor satu PSSI, Andik tidak segera diperintah kembali ke Indonesia?

Lalu kalau tolok ukurnya dipersempit lagi, jadi pemain asli Indonesia yang harus bermain di dalam negeri atau liga papan atas Asia, lha itu Markus Haris Maulana awal tahun 2017 kemarin main di Liga Timor Leste, kenapa tidak dipermasalahkan?

Inilah yang membuat makna kata nasionalisme menjadi rancu. Kalau memang larangannya adalah bermain di Liga Malaysia, kenapa tidak langsung terus terang saja dari awal? Dengan poin-poin bla bla bla dan lain sebagainya, kan jadi lebih jelas kriterianya, daripada membawa kata nasionalisme yang rawan diperdebatkan.

Baca juga: Media Asing Ikut Tanggapi Komentar ‘Nasionalis’ Edy Rahmayadi

Tapi, apakah Ketua PSSI menjadi satu-satunya orang yang layak dihujani kritikan akibat perkataannya? Apakah kita sudah benar menghakimi beliau berkat pernyataan yang ia ucapkan?

Tribes, ingatkah kalian, di pertengahan tahun ini sepak bola kita sempat heboh gara-gara ada pemain keturunan Indonesia yang menjadi kiper ketiga Juventus? Namanya Emil Audero Mulyadi. Pemuda 20 tahun kelahiran Mataram yang lulus dari akademi Juventus sejak 2012.

Tak perlu repot-repot mencari videonya atau statistiknya di internet. Dengan berstatus pemain Juventus saja, pamornya sudah mencapai empat sampai lima kali lipat lebih tinggi dibanding kiper lokal, di mata kita para pemirsa sepak bola nasional.

Apalagi, saat itu kita masih krisis kiper muda berkualitas, dan belum dibuai dengan kehebatan Satria Tama dan Kurniawan Kartika Ajie. Sontak, wacana naturalisasi langsung diapungkan, tapi apa jawaban Emil kemudian? Ia menolak Indonesia, dan lebih memilih berjuang merebut satu tempat di timnas Italia.

Ibarat bensin yang direbus di atas kompor, tensi wargamaya lapangan hijau Indonesia langsung meledak. Akun media sosial Emil diserbu dan dihujani beragam hujatan, mulai dari tidak nasionalis, kacang lupa kulitnya, hingga sok hebat karena menembus tim nasional Italia bukan perkara mudah.

Lho? Tidak nasionalis? Bukannya memilih kewarganegaraan adalah hak setiap manusia? Dan memilih di mana tempat bekerja juga hak setiap orang, seperti yang beberapa di antara kita sudah menyerukannya pada Ketua PSSI?

Itulah permasalahannya. Seringkali kita dengan mudahnya mencibir kesalahan orang lain, tanpa menyadari apa yang sudah kita perbuat sebelumnya. Saya tidak berasumsi kalau para pembaca semuanya adalah orang yang menghujat Emil dan Pak Edy sekaligus, tapi saya yakin pasti ada beberapa orang yang saat ini mencaci Pak Edy, tapi beberapa bulan yang lalu juga mengkritisi keputusan Emil.

Kalau kata orang Jawa, itu tidak sembodho, alias tidak selaras. Kalau ingin ikut memperjuangkan hak Evan Dimas dan Ilham Udin Armaiyn bermain di Malaysia, ya jangan menghujat keputusan Emil, atau juga Andri Syahputra jika nantinya memilih Qatar. Kan, itu hak mereka.

Tapi kalau keukeuh para pemain kelahiran Indonesia yang menolak bermain di Indonesia adalah pengkhianat bangsa, ya dukunglah apa yang diucapkan Edy Rahmayadi terkait kasus Evan dan Ilham, jangan malah ikut memakinya.

Inilah sulitnya menakar nasionalisme di sepak bola, khususnya Indonesia. Tidak ada ketentuan yang pasti, dan tidak ada kriteria khusus. Ruwet, seperti jalanan di kota tujuan wisata pada akhir tahun.

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.