Eropa Prancis

Fondasi yang Tengah Dibangun Claudio Ranieri di Nantes

Berbekal nama-nama seperti Eric Carriere, Frederic Da Rocha, Mickael Landreau , dan Marama Vahirua, tanpa diduga-duga Raynald Denoueix sanggup membawa kesebelasan asal barat laut Prancis, FC Nantes, menjadi kampiun Liga Prancis Divisi Satu (kini Ligue 1) musim 2000/2001.

Padahal, skuat Les Canaris ketika itu tak lebih mentereng dari materi pemain kepunyaan Girondins de Bordeaux, Olympique Marseille, dan Paris Saint-Germain (PSG) yang sedari awal musim mendapat label favorit juara.

Khalayak sepak bola Prancis meyakini jika tangan dingin Denoueix saat itu berhasil mengembalikan Jeu a la Nantaise (sepak bola gaya Nantes yang bertumpu pada kekuatan kolektif) sehingga Les Canaris bisa merebut titel juara.

Tapi sebelum merengkuh gelar Liga Prancis, Denoueix telah lebih dulu mengantar kesebelasan yang berkandang di Stadion Le Beaujoire-Louis Fonteneau ini menggamit titel Piala Prancis di musim 1998/1999 dan 1999/2000. Alhasil, era itu pun dianggap sebagai salah satu periode emas dalam sejarah Nantes.

Berjarak nyaris dua dasawarsa, nama Nantes tak lagi seharum dulu karena grafik penampilan mereka cenderung tidak stabil. Les Canaris bahkan sempat terdegradasi pada musim 2008/2009 sebelum akhirnya kembali lagi ke kasta teratas di musim 2013/2014 yang lalu.

Nahasnya, usai kembali ke Ligue 1 Nantes begitu sulit bersaing di papan atas dengan kesebelasan tradisional lain macam AS Monaco, Bordeaux, Olympique Lyon, Marseille, dan PSG.

Hadirnya pelatih berpaspor Portugal, Sergio Conceicao, sempat memberi secercah asa. Musim lalu, Conceicao berhasil membawa Nantes finis di peringkat tujuh klasemen akhir, posisi tertinggi mereka di Ligue 1 sejak promosi dari Ligue 2.

Walau punya pencapaian apik, godaan untuk mudik ke kampung halaman demi menukangi FC Porto membuat iman Conceicao goyah. Usai bernegosiasi secara intensif, dirinya pun menerima pinangan tersebut dan secara resmi meninggalkan Nantes.

Di tengah kebingungan yang melanda, Presiden Nantes, Waldemar Kita, lantas mengontak sesosok pelatih veteran yang pernah berkarier di Prancis bareng Monaco beberapa musim silam, Claudio Ranieri. Selepas dipecat Leicester City pada pertengahan musim 2016/2017 yang lalu, Ranieri memang sedang tunakarya. Alhasil, tawaran yang diberikan Kita pun disanggupinya.

Baca juga: Belajar Kesederhanaan yang Paripurna dari Claudio Ranieri

Sadar bahwa Nantes tak memiliki pemain bintang, bahkan yang sekelas dengan N’Golo Kante, Riyad Mahrez , an Jamie Vardy tatkala menghadirkan kisah dongeng juara Liga Primer Inggris bareng The Foxes di musim 2015/2016 lalu, tak ada ekspektasi tinggi di dalam benak Ranieri. Walau begitu, tetap ada rasa optimisme yang muncul dari lelaki berambut putih ini.

Mengandalkan metode yang senantiasa ia yakini sampai detik ini, Ranieri sanggup membawa Nantes menunjukkan taji mereka dengan konsisten bertengger di enam besar sejak awal musim.

Bermain tanpa seorang bintang justru membuat Ranieri begitu luwes menampilkan permainan yang menjadi ciri khasnya selama ini (tentu dengan beberapa penyesuaian): memiliki barisan belakang yang kokoh dan sering memenangi laga dengan kedudukan tipis 1-0.

Bukti kekokohan lini belakang Les Canaris bisa sama-sama kita saksikan dari jumlah kebobolan mereka sejauh ini. Dari 19 pertandingan, rekor kebobolan Nantes (18 gol) cuma kalah dari PSG (15 gol) dan Montpellier (13 gol).

Berdasarkan data yang dihimpun via Transfermarkt, dari sepuluh kemenangan yang sudah didapat Emiliano Sala dan kawan-kawan pada musim ini, tujuh di antaranya berupa kemenangan dengan skor 1-0.

Dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi Prancis, bek Nantes, Erick Kwateng, menceritakan kepada publik mengenai salah satu resep rahasia mengapa timnya bisa memiliki pertahanan yang begitu kokoh.

“Selama latihan, Ranieri menekankan kepada kami untuk memperlakukan gawang Nantes seperti para kekasih atau istri. Jadi, kami harus melindungi gawang tersebut layaknya kami melindungi mereka (kekasih atau istri) dalam kehidupan sehari-hari”, ungkap Kwateng.

Ranieri sendiri memilik analogi yang cukup menarik perihal keharusan timnya mempunyai lini belakang yang solid.

“Dalam sepak bola, pertahanan memiliki nilai yang sama seperti rumah. Jika kamu tidak mengunci pintunya, para pencuri akan masuk dengan mudah serta dapat mengambil semua yang mereka mau dengan leluasa. Tapi jika kamu mengunci pintunya terlebih dahulu dan menatanya sesuai keinginanmu, andai pencuri itu masih bisa masuk sekalipun, dirinya akan tetap keluar dengan tangan hampa”, papar sosok karismatik dari Italia itu.

Semenjak datang ke Nantes pada musim panas kemarin, Ranieri yang sangat kondang sebagai sosok jenaka dan ramah, terlihat begitu menikmati setiap momen keberadaannya, baik di markas latihan klub ataupun di bangku cadangan saat mendampingi tim asuhannya bertanding.

Bersama Les Canaris, Ranieri seperti ingin menunjukkan kepada publik bahwa dengan skuat pas-pasan ini pun dirinya bisa membangun sebuah fondasi kokoh bagi Nantes untuk bergerak lebih maju dan semakin solid guna bersaing di kancah Ligue 1 maupun kompetisi domestik lain di Prancis.

Siapa pula yang bisa menyangka jika di kemudian hari, skuat ini yang bakal memunculkan kembali Jeu a la Nantaise yang kesohor itu. Belum untuk menumpas ‘kezaliman’ PSG yang kelewat mengerikan itu. Namun setidaknya dapat membuat klub besutan Ranieri yang berdiri pada 21 April 1943 ini tidak dipandang remeh lagi dan bisa kembali ke khitahnya sebagai salah satu klub yang disegani di Negeri Anggur, baik di musim ini atau musim-musim berikutnya.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional