Eropa Inggris

Madu dan Racun Alexis Sanchez

Dalam diri Alexis Sanchez kita menemukan dua dinamika. Seperti kekasih yang mencinta dengan ganas. Panas dan dingin. Dua sisi. Saling berganti, membangkitkan gejolak di hati. Cinta dan benci, dua sisi. Kebahagiaan dan cacian. Dua sisi. Seperti manusia sewajarnya, yang hidup di tengah dua pilihan. Dua sisi. Madu dan racun.

Perjalanan karier Alexis Sanchez bersama Arsenal sukses mengaduk perasaan Gooners sedunia. Gaya bermainnya yang penuh tenaga, penuh imajinasi, dan perasaan tak ingin kalah itu melahirkan optimisme di tengah Gooners yang haus gelar Liga Primer Inggris. Sebuah gelar yang sudah tak dicicipi Arsenal selama 13 tahun.

Kedatangan Alexis dari Barcelona, saat itu, juga disambut dengan gairah tinggi, bahkan terasa lebih intim dibandingkan ketika Mesut Özil diboyong dari Real Madrid. Alexis datang membawa nama besar. Pendukung Arsenal, dan semua pencinta sepak bola Inggris sudah mengenal cara bermain Alexis yang memanjakan mata itu.

Madu

Daya juangnya, caranya melewati lawan, teknik menembak ke arah gawang, dan selebrasi golnya yang selalu meluap. Alexis membawa kegairahan baru, nyawa baru untuk skuat Arsenal. Dan dengan cepat, pemain asal Cile ini menjadi pusat kehidupan The Gunners. Status sebagai pemain kunci disematkan di pundaknya. Kepada Alexis, Gooners menitipkan angan-angan.

Ia menawarkan madu, dengan catatan gol dan asis. Ia menawarkan madu, dengan keyakinan yang selalu menyembul dari bola matanya yang hitam. Ketika berada di puncak performa, Alexis dapat dengan mudah membuat siapa saja jatuh hati kepadanya. Ia adalah “orang itu”, seseorang yang akan berusaha paling keras untuk mewujudkan impianmu.

Dan kepada pemain seperti ini, Gooners menggantungkan ekspektasi setinggi langit. Awal-awal masa romansa itu, berbagai kesalahan dan tingkahnya masih tak terlihat. Kreativitas dan gol-golnya memberi inspirasi, bahkan ketika Arsenal tengah bermain sangat buruk. Harapan itu selalu ada. Meski rapuh, keyakinan bahwa “Alexis akan melakukan sesuatu” tetap dijaga mati-matian.

Dan saat itu, ia memang tak mengecewakan. Hanya dengan satu situasi menyerang, Alexis membuka pertahanan lawan dengan gerak individunya. Sepakan melengkungnya merajuk ke sisi dalam gawang lawan. Gol yang seperti mengangkat beban dari pundak Arsenal itulah yang dirindukan. Kembali, ia membayar kepercayaan bahwa, “Alexis akan melakukan sesuatu”.

Racun

Dua sisi. Panas dan dingin. Alexis pun begitu, di balik penampilannya yang megah, tersembunyi masalah yang pelik. Hasrat untuk selalu menang mutlak untuk dimiliki pesepak bola mana saja. Bagi mereka yang ikut dalam sebuah kompetisi, menang adalah salah satu tujuan. Dan itu manusiawi. Kesetiaan adalah satu hal, dan hasrat menjadi yang terbaik adalah hal lain.

Alexis sendiri hidup di antara kedua hal itu. Dua hal yang akan selalu diperbandingkan, dibenturkan di sepak bola. Bahkan terkadang, mereka tak tak bisa “bersetia” dengan satu klub tidak dipandang sebagai persona yang baik. pemburu kejayaan, glory hunter, mata duitan. Sebuah pelabelan yang sayangnya terjadi, pun melecehkan niat diri manusia.

Alexis pernah bermain untuk salah satu klub terbaik dalam satu dasawarsa terakhir. Pun ia tak bahagia seiring waktu dan memutuskan mencari jalan keluar. Memang, bersama Barcelona, ia tak akan pernah menjadi pusat. Ada “matahari tunggal” di El Barca dan Alexis hanya tamu di rumah agung Camp Nou.

Hengkang menjadi pilihan dan Alexis menyambutnya tanpa berpikir lagi. Mengapa Alexis tak memperjuangkan tempatnya di tim utama Barcelona? Pertama, karena manajemen Barcelona memang membutuhkan dana untuk membeli Luiz Suarez dan kedua, Alexis bukan pusat kehidupan di sana.

Jorge Aravena, mantan pelatih Alexis ketika masih berusia 15 tahun berkata, “Ia punya ambisi besar untuk selalu berkembang, mencari pandangan baru, mencari tempat baru yang bisa membuat dirinya semakin hebat dan bisa memaksimalkan kemampuannya,” ungkap Aravena kepada Independent.

Alexis tak suka stagnasi. Ia selalu ingin berkembang, menjadi pemain dengan kaliber yang lebih besar. Bukan soal perkembangan tim, namun dirinya sendiri. Bahkan, ia rela mengakhiri “impiannya” ketika sudah berseragam Barcelona. Ia tegas ingin hengkang dan mencari induk baru sebagai tempat berkembang.

Bersama Arsenal ia menjadi pusat, dipuja setiap minggu. Namun, ketika performa Arsenal tak bisa dipercaya, Alexis berubah. Ketika Arsenal bermain buruk, bahasa tubuh Alexis sangat mengganggu. Ia seperti jengah dengan keadaan ini.

Sikap Alexis bisa dimaklumi apabila gerutuannya hanya sekadar ekspresi. Sayangnya, sikapnya itu berimbas ke performanya di atas lapangan. Alexis menjadi sering kehilangan bola, memperlambat proses serangan balik, berlama-lama dengan bola untuk mencoba mencari solusi sendiri sebelum akhirnya kehilangan penguasaan bola. Ketika gagal, ia dengan jelas berkata lewat bahasa tubuh bahwa rekan-rekannya tak cukup membantu.

Di titik inilah, keberadannya menjadi racun bagi tim. Ketika Arsenal membutuhkan semua pemain bersatu menjadi skuat yang solid, Alexis “merusaknya” dengan aksi-aksi individu yang tak perlu. Sifat ingin menang yang kelewat batas justru meracuni. Sifat ingin menang yang tak terkontrol justru menyebabkan Arsenal gagal menang.

Dua sisi Alexis akan selalu ada. Meski sulit, memahaminya sebagai cara berproses manusia adalah pilihan yang bijak. Toh, semua manusia, pasti punya dua sisi yang saling bertentangan. Berkompromi dengan diri sendiri akan selalu lebih mudah. Namun menjadi racun ketika tak memikirkan sesama.

Terlepas dari “dua sisi” itu, Alexis adalah salah satu pemain kelas dunia yang pernah berseragam Arsenal. Entah seperti apa wujud masa depan Alexis dan Arsenal, pada titik tertentu, mendoakan kesehatannya adalah perbuatan yang mulia. Terutama, di hari ulang tahunnya, 19 Desember ini.

Selamat ulang tahun, Alexis. Semoga damai selalu ada di hatimu.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen