Menjadi manajer sepak bola tentu adalah pekerjaan yang normal, menarik, namun tentunya juga melelahkan. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi dan ancaman pemecatan bisa datang kapan saja, baik itu bagi manajer klub terbesar di dunia seperti Real Madrid, atau Tampine Rovers di Singapura, baik itu menangani timnas Brasil yang merupakan negara paling sukses di dunia, atau timnas Kaledonia Baru, negara kepulauan yang indah bagaikan surga, yang berada di peringkat 156 FIFA, tekanan pasti akan selalu ada.
Namun, bagi Jorn Andersen, tekanan tersebut bukan apa-apa dibanding yang ia dapatkan. Kontroversi menyelimutinya karena ia orang Jerman kelahiran Norwegia, memilih negara yang paling besar kemungkinannya menjadi pemicu Perang Dunia Ketiga, Korea Utara (Korut), sebagai tempatnya mengais rezeki.
Ia menjadi manajer asing untuk timnas sepak bola Korea Utara untuk yang pertama kalinya bagi negara itu sejak tahun 1991. Keputusannya dikritik banyak orang, namun jalan hidupnya dan tekadnya untuk membawa timnas sepak bola Korea Utara menarik untuk ditelisik lebih lanjut.
Sebelum kita mulai membahas petualangannya di negara komunis tersebut, ada baiknya kita mengetahui latar belakang Andersen terlebih dahulu. Andersen tercatat sebagai pemain timnas Norwegia semasa masih aktif menjadi pesepak bola di periode 1980-an hingga awal tahun 2000 ia pensiun.
Berposisi sebagai penyerang, ia cukup ampuh membobol gawang lawan, terutama ketika membela klub Jerman, Eintracht Frankfurt di musim 1989/1990 ketika ia menciptakan 18 gol di liga dan membawa klubnya secara mengejutkan finis di peringkat tiga Bundesliga. Selain Frankfurt, ia pernah membela klub Jerman lainnya, yaitu Hamburger SV, Fortuna Dusseldorf, dan Dynamo Dresden. Karena itulah, meskipun ia pernah membela timnas Norwegia, ia pun mengambil kewarganegaraan Jerman juga.
Usai pensiun, ia menceburkan kaki ke dunia manajerial, dengan klub divisi bawah Jerman, Rot-Weiss Oberhausen, sebagai klub pertama yang ia tangani. Sesudah itu, ia sempat menjadi asisten manajer di Borussia Mönchengladbach, lalu pindah ke Yunani untuk menakhodai klub Skoda Xanthi, sebelum akhirnya kembali ke Jerman. Ia pernah menjadi pengganti Jürgen Klopp di FC Mainz 05, dan kiprahnya cukup sukses di klub tersebut karena ia berhasil membawa Mainz promosi ke Bundesliga dan masuk ke semifinal DFB-Pokal di tahun 2009.
Petualangan Andersen bersama Korea Utara dimulai di tahun 2016 lalu. Saat itu, ia tengah melatih klub Austria, Austria Salzburg, ketika mendapat panggilan misterius di ponselnya. Ia ditanyakan apakah ia ingin menjadi seorang manajer timnas satu negara di Asia oleh suara dari telepon di seberangnya, namun anehnya, sang penelepon tak ingin mengungkapkan identitasnya atau negara mana yang dimaksud.
Baru saja, setelah beberapa kali berbicara lewat telepon, Andersen tahu bahwa yang menghubunginya adalah perwakilan timnas sepak bola Korea Utara. Tak ayal, ia pun terkejut. Meskipun begitu, ia tetap melanjutkan proses negosiasi, yang berjalan hingga berbulan-bulan. Andersen sendiri hanya membutuhkan persetujuan dari istrinya, Ulla, sebelum akhirnya meneken kontrak selama delapan bulan bersama Chollima.
Salah satu bentuk kesepakatannya adalah ia harus menetap di Korea Utara, namun menurut pengakuannya, negara tersebut sangat bersih dan tenang, serta tak ada tekanan berarti dari media maupun penduduknya menyoal sepak bola.
“Ketika datang ke sana untuk pertama kali, saya terkejut. Sangat bersih, sangat tenang, tak banyak mobil di sana. Sangat mudah untuk tinggal di sini karena tak ada tekanan dari media ataupun publik.”
Ketika itulah, ia mulai mendapat kritikan karena menerima pekerjaan dari Korea Utara. Salah satunya datang dari Badan Amnesti Internasional, yang diwakilkan oleh Sekretaris Jendralnya, John Peder Egenaes, yang menyebutkan bahwa pilihan Andersen ‘mengejutkan’ mengingat bagaimapun juga pengurus sepak bola Korut sangat terikat kepada rezim yang mengerikan.
Di satu sisi, ia mendapat dukungan dari sesama pelatih, seperti contohya salah satu tim pelatih timnas Norwegia, Per-Mathias Hogmo, yang menyebutkan pilihan Andersen untuk berkarier di Korut adalah keputusan menarik.
Meskipun begitu, Andersen menegaskan bahwa jalan yang ia ambil murni berdasarkan sisi sepak bola, dan ia sama sekali tak tertarik pada paham politik yang ada di Korut. Menurutnya, akan lebih baik apabila ia mampu fokus 100 persen ke sepak bola tanpa memikirkan politik, senjata nuklir, atau hal-hal semacam itu yang bisa mengganggu pikirannya selama tinggal di Pyongyang.
Berbicara tentang pekerjaannya, pria yang lahir di Fredrikstad, Norwegia ini mengaku senang dengan sikap pemain Korut yang total dan penurut. Ia mengungkapkan bahwa ketika ia menjadi manajer di Eropa, banyak pemain yang membangkang, terutama ketika saat harus menjalani sesi latihan fisik. Pemain-pemain dari Korut berbeda 180 derajat. Bagi Andersen, mereka semua sangat patuh atas instruksi Andersen.
“Ketika anda meminta pemain Korut untuk berlari, mereka akan melakukannya. Saya suka mentalitas orang-orang di negara ini. Mereka akan melakukan apapun yang anda minta.”
Hal ini tentunya tak mengejutkan, mengingat bagaimana otoriternya pemerintahan di sana, hingga semua warganya terbiasa untuk tunduk dan patuh kepada pihak yang punya otoritas. Untuk manajer sepak bola yang butuh kekuasaan penuh, hal ini tentunya menyenangkan.
Baca juga: Menjinakkan Kim Jong-un? Panggil Paulo Dybala!
Sejauh ini, kehidupan Andersen terlihat enak-enak saja di Korut, namun bukan berarti ia tak memiliki kendala. Yang pertama adalah tentang stamina pemain-pemainnya, yang terkuras habis karena sistem turnamen di Korut yang agak sedikit aneh.
Sebelum kedatangannya, tak ada liga untuk klub-klub berkompetisi, melainkan turnamen bulanan yang tiap laganya diadakan per tiga hari sekali. Baru setelah ia datang, di bulan Januari tahun ini, sebuah liga diadakan untuk kompetisi antar klub. Selain itu, ia juga mengalami masalah dalam pemilihan pemain. Makin banyak pemain-pemainnya yang berkiprah di Eropa, seperti contohnya gelandang sayap So Hyon-uk yang bergabung ke klub Bosnia, Zrinjski Mostar. Hal itu mengganggu Andersen untuk memilih pemain untuk satu pertandingan karena si pemain yang berkarier di Eropa sulit dilepas oleh klubnya.
Kiprahnya bersama Korut sejauh ini masih jauh dari kata sempurna. Ia memang berhasil meraih kemenangan kala melawan Malaysia di laga Kualifikasi Piala Asia 2019. Laga dua leg yang diadakan di Thailand karena situasi dua negara yang sempat memanas usai pembunuhan kakak tiri Kim Jong-un, Kim Jong-nam, Februari lalu itu, berhasil dimenangi Korut dengan agregat 8-2.
Sayangnya, di laga melawan tim yang lebih kuat atau bahkan setara, Andersen tak mampu menang, seperti kala dikalahkan Thailand di Piala Raja Thailand bulan Juli lalu dengan skor 3-0, dan Lebanon di Kualifikasi Piala Asia dengan agregat 7-2.
Meskipun begitu, menariknya, hidup Andersen di Korut sejauh ini terhitung sangat nyaman. Ia diberikan kebebasan untuk berjalan-jalan, bermain golf, makan di restoran, dan hal-hal semacamnya.
“Saya senang berada di sini. Anda mungkin membaca banyak hal buruk tentang negeri ini, namun hampir semuanya tidak benar. Semuanya berjalan indah bagi saya.”
Hidup Andersen mungkin memang bahagia di Korea Utara, seolah mematahkan stigma yang ada tentang negara tersebut. Namun, kemewahan yang ia dapatkan harus segera ia bayar dengan janjinya untuk membawa timnas Korut menjadi salah satu yang ditakuti di Asia. Satu yang harus ditiru dari sikap Andersen oleh petinggi sepak bola di Indonesia, bahwa tak ada faedahnya mencampuradukkan politik dengan sepak bola.
Disclaimer: Artikel ini disarikan dari tulisan James Montague di Bleacherreport berjudul Inside The Secret World of Football in North Korea.
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket