Tahukah Anda jika saat ini, Burnley tengah duduk nyaman di posisi ke-4 Liga Primer Inggris? Betul, Anda tak salah baca: Burnley. Musim 2017/2018, tim asuhan Sean Dyche ini berubah, dari tim langganan zona degradasi menjadi salah satu tim yang bakal membuat tim besar sebal. Lantas, mengapa Burnley bisa begitu hebat? Mengapa mereka sulit dikalahkan?
Sebelum berbicara soal teknik, sebelumnya, kita harus memahami pola pikir sebuah tim “papan bawah” di sebuah liga paling gemerlap di dunia. Pertama soal tujuan mereka mengarungi satu musim penuh, yaitu terhindar dari degradasi. Sesederhana itu, tim “papan bawah” ini tak ingin berpikir terlalu muluk.
Alih-alih memikirkan lolos ke zona Eropa, tim “papan bawah” sudah bersyukur apabila bisa mengumpulkan 40 poin secepatnya atau berhasil duduk di papan tengah. Ini pandangan yang realistis, dan tentu saja, tidak salah. Pola pikir seperti ini membangunkan insting paling purba dari manusia, yaitu bertahan hidup.
Dan memang “bertahan hidup” itu yang diterjemahkan oleh tim-tim “papan bawah” secara jelas. Burnley, membangun sebuah tim dengan spesifikasi untuk tidak kalah. Menang atau kalah di sebuah pertandingan ditentukan oleh gol. Maka, tujuan bermain Burnley pun makin sederhana, yaitu tidak mudah kebobolan.
Maklum, penyakit banyak tim “papan bawah” adalah mereka tidak mampu mempertahankan posisi “tidak kalah” ketika bertemu tim besar. Konsisten untuk menjaga gawangnya tetap perawan pun sangat sulit dilakukan. Jika sudah begini, banyak tim “papan bawah” hanya mengandalkan hasil positif ketika bertemu tim lain dengan level yang sama. Padahal, bisa jadi, kunci bertahan hidup adalah tidak kalah ketika bertemu tim besar.
Sean Dyche paham betul tentang perkara sederhana untuk tidak kalah ini. Manajer asal Inggris ini pun mengumpulkan pemain-pemain yang mendukung. Inilah pola pikir kedua. Dyche mengumpulkan pemain-pemain yang punya stamina sangat baik, fisik yang kokoh, berkomitmen, dan ini yang paling penting: cerdas.
Cerdas, karena aksi bertahan adalah kerja paling berat di sepak bola. Bertahan, bukan soal mengejar lawan yang menguasai bola lalu menerjangnya. Bertahan adalah kerja yang sangat kompleks. Sebagai pemain bertahan, Anda harus sadar bahwa ancaman bisa berasal dari mana saja. Oleh sebab itu, kecerdasan mengeliminasi setiap proses menyerang lawan adalah kerja paling utama.
Kerja ini tak selalu membutuhkan banyak “senjata”. Cukup meyakini, lalu menjalankan instruksi pelatih dengan benar. Dan Dyche, pelatih berusia 46 tahun itu ingin Burnley melakukan hal-hal yang sebetulnya sederhana saja ketika bertahan, yaitu membuat lawan hanya bisa menyerang menyesuaikan dengan skenario yang sudah dirancang Dyche. Inilah pola pikir ketiga.
Perpaduan tiga pola pikir inilah yang membuat Burnely sulit dikalahkan. Tim mereka sangat solid, didukung pemain-pemain yang berkomitmen, mau berkorban, bekerja keras, dan dengan jernih, menjalankan tugas mereka dengan baik.
Skema di atas kertas
Di atas kertas, Burnley menggunakan skema dasar 4-4-1-1, sebagai turunan dari 4-4-2. Salah satu kelebihan mereka yang terlihat jelas dengan mata adalah kemampuan menjaga solidnya low block.
Low block adalah salah satu cara bertahan di mana sebuah tim menurunkan garis pertahanan begitu rendah, setidaknya, hingga di depan penjaga gawang sendiri. Ingat kembali pola pikir pertama Burnley, yaitu bertahan hidup, yang artinya tidak kebobolan supaya tidak kalah. Namun, meskipun low block ini mudah diidentifikasi menggunakan mata, menerapkanya adalah perkara yang betul-betul berbeda. Sulit. Berikut skema dasar Burnley:
Betul, Burnley memang kalah dari Arsenal. Namun, di pertandingan inilah, low block Burnley terlihat begitu jelas, lagi efektif. Oleh sebab itu, laga melawan Arsenal adalah moda mempelajari cara bertahan Burnley paling ideal.
Melawan Arsenal, Burnley bertahan sangat dalam seperti biasanya. Strukturnya seperti ini: Empat bek sejajar Burnley akan berdiri berdekatan. Keempatnya akan memenuhi kotak penalti demi mencegah lawan memanfaatkan ruang di belakang garis pertahanan. Lalu, empat gelandang, juga hampir sejajar dan berdiri di depan barisan bek tengah.
Bentuk seperti ini disebut sebagai two banks of four, yang berarti dua lini yang berisi empat pemain berdiri sejajar secara vertikal. Sementara itu, gelandang serang akan turun ke tengah dan berdiri berdekatan dengan gelandang sentral. Gelandang serang ini, di beberapa kesempatan, bertindak seperti second striker. Ilustrasinya seperti ini:
Simak penjelasan di dalam iliustrasi. Bentuk two banks of four memastikan lawan tak bisa dengan mudah bermain dari tengah. Kedua bek sayap, kanan dan kiri akan bergerak ke arah dalam. Keduanya bermain narrow (sempit, dekat ke bek tengah). Sementara itu, Jack Cork mengawasi ruang yang tercipta di depan bek tengah. Ia berpatroli, mencegah lawan mendapatkan ruang yang enak untuk menembak ke arah gawang.
Tujuan apa yang ingin dicapai dari sistem ini? Burnley ingin lawan sesering mungkin menggunakan lebar lapangan untuk berprogres. Dengan begitu, variasi serangan lawan akan terbatas. Setidaknya ada dua opsi untuk lawan, yaitu menggunakan umpan kombinasi cepat jika menyerang lewat tengah dan bermain menggunakan umpan silang, di mana sisi lapangan “dibiarkan” terbuka oleh Burnley.
Penetrasi lawan dari tengah diantisipasi dengan bermain rapat, ditambah Cork yang aktif “berpatroli” di zona 5 (area di depan kotak penalti). Serangan lawan dari sisi lapangan jauh lebih mudah untuk dinetralkan karena lawan akan “dipaksa” melepaskan umpan silang dari area hampir di tepi garis lapangan (area yang diarsir di dalam ilustrasi di atas).
Umpan silang jenis ini sangat mudah diantisipasi oleh Burnley karena memang bek-bek mereka unggul secara postur dan fisik. Dua bek tengah Burnley punya tinggi badan yang meyakinkan, Ben Mee 180 sentimeter dan James Tarkowski 191 sentimeter. Tinggi badan ini, masih ditambah oleh teknik dasar memenangi duel udara: mulai dari memasukkan badan, menggunakan tangan untuk menekan lawan, penentuan waktu untuk melompat, hingga nyali untuk melakukan kontak fisik.
Selain mengurangi opsi serangan lawan, Burnley juga sangat baik ketika memblok tembakan lawan. Kemampuan ini didukung oleh struktur bertahan mereka yang memang kompak. Alhasil, Burnley terlihat seperti menumpuk pemain di depan kotak penalti. Oleh sebab itu, rataan blok tembakan dari dua bek tengah dan Jack Cork sangat tinggi.
Tapi, ada satu lagi senjata ampuh dari Burnley untuk berurusan dengan tembakan ke arah gawang. Jadi, Burnley membuat skenario yang memaksa lawan untuk “harus” menembak dari arah lurus gawang. Lawan dibuat tak bisa melepaskan tembakan dari sudut diagonal yang sulit diantisipasi oleh Nick Pope. Perhatikan ilustrasi berikut:
Tentu, di pertandingan sebenarya, ruang di antara Jeff Hendrick dan StevenDefour-Jack Cork tidak selebar itu. Namun, sudah cukup lebar untuk “menjebak” lawan. Ketika lawan memang menggunakannya, Cork akan menjadi pemain pertama yang menempel lawan, sekaligus melakukan blok tembakan jika memungkinkan. Ini lapis pertahanan pertama.
Lapis kedua adalah memaksa lawan hanya bisa menemkak dari arah lurus penjaga gawang. Pada awalnya, Mee dan Tarkowski, akan banyak berdiri menutup ruang diagonal arah penjaga gawang. Jadi, lawan akan berpikiran bahwa ruang yang ia dapatkan adalah satu-satunya kemungkinan yang tersedia.
Ketika lawan menembak, salah satu dari Mee dan Tarkowski akan langsung menutup jalur tersebut. Tembakan lawan pun bisa diredam. Inilah lapis kedua. Jika pun Mee dan Tarkowski tak bisa meredam tembakan secara sempurna, bola akan lurus mengarah ke penjaga gawang. Jadi, aksi serangan lawan akan mudah untuk dijinakkan. Inilah lapis ketiga.
Perhatikan juga pemosisian diri Mee dan Tarkowski. Keduanya yang berdiri di ruang diagonal bukannya tanpa tujuan. Tembakan arah diagonal itu sulit untuk diantisipasi penjaga gawang. Tujuan pertama adalah mencegah Pope bersusah payah. Tujuan kedua adalah dengan berdiri di ruang tersebut, Mee dan Tarkowski akan lebih mudah mengantisipasi bola muntah apabila lawan bisa melepaskan tembakan dari arah diagonal penjaga gawang.
Data dari bulan November yang lalu menyebutkan bahwa Burnley menderita 55 tembakan ke arah gawang. Catatan yang lebih buruk dibuat oleh Everton dan Crystal Palace dengan menderita 56 tembakan.
Namun, ini hebatnya: rata-rata tembakan lawan yang menjadi gol hanya 16,4 persen, terbaik kedua setelah Manchester United dengan 13,2 persen. Sampai bulan November yang lalu, Burnley hanya kebobolan sembilan gol, terbaik keempat setelah United, Tottenham Hotspur, dan Manchester City.
Cara bertahan Burnley adalah wujud kerja yang kompleks. Harus diiringi dengan stamina, kekuatan fisik, dan kecerdasan. Inilah bukti bahwa bertahan adalah pekerjaan paling sulit di sepak bola. Oleh sebab itu, apresiasi tinggi perlu diberikan untuk Sean Dyche. Kerja cerdasnya yang berhasil membentuk Burnley sedemikian rupa.
Performa dan kompleksnya cara bermain Burnley juga menjadi pengingat untuk Anda bahwa: parkir bus itu bukan sekadar menumpuk pemain. Parkir bus bukan cara bermain yang buruk. Apabila Anda begitu keras kepala bahwa parkir bus itu perbuatan tercela, mungkin Anda memang tak mengerti dan tak mau memahami indahnya setiap proses di sepak bola.
Kepada Sean Dyche dan Burnley kita belajar bahwa bertahan hidup perlu komitmen dan keluasan pikiran untuk mempelajari hal-hal baru. Respect!
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen