Uncategorized

Dilema Keberagaman di Kursi Pelatih Sepak Bola

Keberagaman merupakan suatu hal yang penting di tengah gempuran politik identitas yng kian mengemuka akhir-akhir ini. Dalam sepak bola, keberagaman juga menjadi isu genting dan terus diperjuangkan.

Dengan alasan itulah beberapa waktu lalu pelatih Brighton & Hove Albion, Chris Hughton, memberikan pernyataan tentang pentingnya Rooney Rule diterapkan di Liga Inggris. “Saya tidak tahu persis apa itu Ronney Rule, tetapi saya setuju dengan aturan yang memberikan peluang bagi etnis minoritas”, ujarnya seperti dilansir Daily Mail.

Ronney Rule sendiri bukan hal baru di Liga Inggris, sebab pada tahun 2014 silam, dikabarkan FA menyetujui proposal yang isinya tentang penerapan Ronney Rule tersebut.

Namun apa sebenarnya Rooney Rule itu?

Rooney Rule adalah sebuah aturan yang digunakan di National Football League di Amerika atau liga American Football. Aturan ini memilki tujuan agar kesetaraan peluang serta kesempatan mereka yang memiliki latar belakang etnis minoritas bisa terwadahi. Dengan kata lain, Rooney Rule mewajibkan para peserta NFL untuk memberikan kesempatan kepada Black, Asian, and Minority Ethnic (BAME) untuk mengisi kursi kepelatihan ataupun staf senior.

Nama Rooney Rule sendiri diambil dari nama ketua komite keberagaman NFL yang juga pemilik Pittsburgh Steelers, Dan Rooney. Rooney Rule tidak lahir dari ruang hampa, ada alasan historis yang mendukung lahirnya aturan tersebut.

Bermula pada 2002, ketika Tampa Bay Buccaneers, tim American Football yang dimiliki oleh pemilik Manchester United, keluarga Glazer, memecat Tony Dungy dari kursi kepelatihan. Tak hanya Dungy, saat itu juga Dennis Green didepak dari jabatan pelatih kepala Minnesota Vikings. Perlu diketahui bahwa kedua pelatih ini memiliki latar belakang etnis minoritas, Afrika-Amerika.

Pemecatan ini banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak, sebab prestasi tim di tangan kedua pelatih ini boleh dibilang tak buruk, atau bahkan cenderung baik. Di tangan Dungy misalnya, The Bucs berhasil menjuarai divisi satu, gelar pertama di ajang tersebut sejak 1979, dan hanya kalah dari St. Louis Rams di NFC.

Pada 2002, skuat bentukan Dungy itu berhasil menjuarai Super Bowl, sedangkan Dennis Green juga mencatatkan prestasi baik bersama Minnesota Vikings.

Tak lama setelah pemecatan itu, terbit sebuah laporan dari pengacara hak asasi manusia yang isinya menjabarkan bagaimana ketimpangan kesetaraan etnis minoritas, khususnya yang kulit berwarna, di kursi kepelatihan tim-tim di NFL.

Laporan tersebut menjelaskan tentang bedanya perlakuan antara pelatih beretnis minoritas dengan pelatih kulih putih. Ada kecenderungan bahwa pelatih berkulit hitam lebih gampang dipecat ketimbang mereka yang berkulit putih, sekalipun pelatih berkulit hitam ini mencatatkan prestasi mumpuni di timnya.

Sejak saat itu, aturan yang mewajibkan tim untuk memberikan kesempatan interview terhadap mereka yang beretnis minoritas dikembangkan. Dan lahirlah Rooney Rule.

Pada 2006, bisa dibilang aturan tersebut menunjukkan dampaknya, karena New York University Law Review mencatat ada tren kenaikan pada jabatan pelatih kepala yang berlatar belakang Afrika-Amerika, yakni 22 persen dari sebelumnya hanya 6 persen ketika Rooney Rule belum diterapkan.

Rooney Rule sendiri tidak akan berlaku jika asisten pelatih yang akan menggantikan pelatih kepala merupakan seorang yang berlatar belakang minortitas. Dengan kata lain, tim tak perlu melakukan interview pada pelamar BAME.

Detroit Lions pernah dihukum denda ketika kedapatan tidak memberikan kesempatan interview terhadap mereka yang beretnis minoritas saat kursi kepelatihannya sedang kosong, walaupun kemudian manajemen Detroit mengaku bahwa mereka sudah mengikuti aturan namun sang pelamar yang memilih mundur.

Rooney Rule di Liga Inggris

Rooney Rule sendiri seperti dikatakan sebelumnya bukan wacana baru di Liga Inggris. Sejak 2004 lalu, Gordon Taylor, mantan pemain Birmingham City sekaligus ketua Profesional Footballer Assosiation (PFA), semacam organisasi APPI-nya Inggris, sudah melempar wacana akan perlunya Rooney Rule di Liga Inggris.

Wacana tentang rencana adopsi Rooney Rule ini berangkat dari argumen bahwa semakin banyak pemain beretnis minoritas, namun sayangnya hal itu tidak terjadi di kursi kepelatihan.

Rilis dari Sport People Think Tank (SPTT) baru-baru ini seakan menguatkan argumen tersebut. Dalam laporan tersebut, SPTT menjabarkan bagaimana ketimpangan keberagaman di kursi kepelatihan terjadi di sepak bola Inggris. Bagaimana tidak, hanya ada 22 orang yang masuk dalam ketegori BAME dari 482 pelatih di empat divisi teratas sepak bola Inggris. Saat ini di kompetisi teratas liga Inggris, hanya ada satu pelatih yang berkategori BAME, yakni Chris Hughton.

Desakan atas diterapkannya Rooney Rule di kompetisi sepak bola Inggris juga datang dari pelatih Carlisle United, klub League Two, Keith Curle. Ia mengatakan bahwa Rooney Rule tidak bekerja di tanah Ratu Elizabeth.

Namun walaupun begitu, sebagaimana hakikatnya sebuah aturan yang tentu saja berorientasi pada proses, dan dengan begitu tak bisa lepas dari kesalahan, Rooney Rule pun demikian. Berbagai ketidaksetujuan atas aturan ini pun bermunculan.

Bagi beberapa orang, mereka memandang aturan tersebut tak ubahnya sebagai bentuk diskriminasi. Ada sebuah ironi berupa paradoks, di mana upaya keberagaman, namun bernuansa pilih kasih. Seperti yang dikatakan oleh Kieran Dyer, mantan pemain West Ham United, yang sekarang meniti karier sebagai pelatih, dan Titus Bramble, pelatih tim U-11 Ipswich Town yang juga mantan pemain Sunderland. Mereka berdua (yang berkulit hitam) menolak penerapan Rooney Rule karena menganggap pelatih seharusnya dikerjakan karena kualitasnya bukan karena kuota.

Sebuah aturan mempunyai dialektikanya sendiri, ia bakal tersungkur ketika tak menunjukkan dampak yang diharapkan, namun walau begitu, upaya meminimalisir tindakan diskriminasi rasial tetap harus terus diupayakan.

Nah, Anda sendiri setuju atau tidak dengan aturan yang sudah diadopsi di beberapa perusahaan besar (Facebook, Pinterest) tersebut?

Author: Rizal Syam