Kolom Eropa

Perjuangan Dua Dekade Brighton & Hove Albion

People go to Brighton for various reasons. For a holiday, for a day-trip, for a place to retire, for a Tory Party conference. Or for a dirty weekend. With all due respect to the club and its fans, you don’t go there for the football” – Brian Clough dalam Clough the Autobiography (hal. 124)

Anda yang sudah menonton biopik pelatih legendaris Nottingham Forest Brian Clough (The Damned United, 2009) pasti mengetahui peristiwa ini. Selepas gagal menakhodai Derby County, Clough yang dipecat terpaksa berlabuh ke Brighton, tempat yang menurutnya tidak memiliki budaya sepak bola.

Clough yang akhirnya sukses besar bersama Nottingham Forest ini cuma bertahan sembilan bulan di Brighton. Brighton memang klub kecil. Orang-orang ke sana bukan untuk sepak bola, tapi untuk pelesir. Sejarah pun tak punya. Klub ini tidak pernah mencecap rasanya berlaga di Liga Primer Inggris.

Brighton kini berlaga di divisi Championship, kasta kedua dalam piramida sepak bola Inggris. Meski banyak yang merindukan Leeds United dan Newcastle United untuk kembali ke kancah utama, Brighton, nyatanya, sedang menduduki peringkat satu klasemen sementara Championship.

Selain itu, dalam empat musim terakhir, klub yang dijuluki The Seagulls ini telah tiga kali masuk babak play-off. Satu-satunya mereka gagal menempati tiket play-off adalah di musim 2014/2015 karena di akhir musim menduduki peringkat ke-20.

Sebagai informasi, dua tim teratas Championship otomatis mendapat jatah promosi ke Liga Primer. Semantara peringkat tiga sampai enam harus bertarung di babak play-off, lalu satu pemenang akan turut menyertai dua tim pertama.

Yang membuat Brighton spesial, menurut saya, adalah perjuangan mereka bangkit dari krisis yang menerpa dua puluh tahun yang lalu. Suporter sebagai pressure group berperan penting dalam mengawal eksistensi klub yang berdiri pada tahun 1901 ini.

Kilas balik

Pada tahun 1996, format baru liga utama bernama Premier League (Liga Primer Inggris) telah memasuki musim keempat. Ada semangat baru di kompetisi utama setelah pada dekade sebelumnya penuh dengan musibah (Tragedi Heysel dan Hillsborough).

Bersama jaringan televisi Sky, sepak bola Inggris menatap abad baru. Menyongsong milenium ketiga, kita tahu Liga Primer telah berhasil menancapkan kukunya di industri hiburan global. Mereka bahkan mengalahkan pamor Serie A yang sebelumnya menjadi pusat sepak bola.

Berkebalikkan dengan itu, 1996 adalah tahun yang menyiksa bagi para pendukung Brighton. Sekecil apapun mereka, Inggris adalah negara yang memiliki tradisi sepak bola. Klub-klub kecil yang tidak pernah kita dengar namanya juga memiliki basis suporter yang kuat.

Saat itu Brighton telah diperdaya pemilik klub, Bill Archer dan Greg Stanley. Stadion tempat mereka biasa bertanding, Goldstone, dijual mereka. Utang terlalu menumpuk, stadion dijual demi bisa membayar kewajiban tersebut. Baru kemudian terkuak bahwa uang yang mereka gunakan untuk mengakuisisi Brighton berasal dari pinjaman. Goldstone, yang telah mereka gunakan sejak 1902, disulap menjadi area perbelanjaan.

Pasca-penjualan Goldstone, Brighton menjalani partai kandang mereka di Fratton Park, markas Fulham, karena pemilik baru Goldstone Stadium, perusahaan properti Chartwell Land meminta bayaran £480.000 semusim sebelum stadion itu benar-benar dirobohkan.

Pada laga terakhir mereka di Goldstone versus York City (27 April 1996), rasa geram sudah tak lagi dapat ditahan. Mereka melakukan aksi pitch invasion saat laga baru berlangsung. Aksi ini bahkan didukung juga oleh suporter York sebagai bentuk simpati. Gawang sampai mereka robohkan. Anda dapat menonton peristiwa itu di YouTube. Aksi serupa bahkan telah mereka lakukan beberapa kali, seperti yang dituturkan Paul Hodson dan Stephen North (1997).

Setelah musim benar-benar selesai, mereka memilih tempat sejauh 110 kilometer dari Brighton, tepatnya di Pristfield Stadium, wilayah Kent, markas klub Gillingham FC. Bisa dibayangkan betapa melelahkannya menjadi suporter klub semenjana ini jika jarak untuk mencapai Pristfield Stadium saja melebihi rentang jarak Jakarta-Cikampek (dengan estimasi jarak 70 kilometer).

Selain semenjana, mereka juga tak memiliki kandang. Paripurna sudah.

Suporter bersatu dan mengagendakan serangkaian aksi protes. Untunglah, sang dewa penyelamat itu hadir dalam diri Dick Knight. Knight, selain seorang pengusaha periklanan sukses, juga suporter setia Brighton. Ia menyelamatkan klub pujaan secara perlahan, seiring meningkatnya performa Brighton. Dari satu promosi ke promosi lain, dari stadion ke stadion lain.

Dua tahun sejak diambil Knight, tahun 1999 tepatnya, akhirnya mereka menemukan rumah baru. Stadion tersebut bernama Whitedean dan sebenarnya tidak layak. Klub harus merenovasi banyak hal agar lolos uji kelayakan. Pada 2004, harian Observer menobatkan Whitedean sebagai stadion terburuk seantero Inggris.

Tak apa. Lagipula itu lebih baik ketimbang harus menumpang dan berjarak jauh dari kota mereka.

Perlahan, mereka menapaki liga. Brighton juga memiliki pemain yang kelak namanya wara-wiri di Liga Primer, Bobby Zamora. Selama empat musim bersama Brighton, Zamora tampil sebanyak 136 kali dengan torehan 83 gol. Prestasinya sejalan lurus dengan Brighton yang berhasil promosi dua kali.

Brighton yang berada di Divisi Ketiga (sekarang bernama League Two), dibawa Zamora promosi berturut-turut hingga menapaki Divisi Pertama (sekarang menjadi Championship).

Di suatu wawancara dengan Amy Lawrence, Knight berkata:

“Penderitaan Brighton & Hove Albion telah menjadi contoh tentang apa yang bisa salah dalam sepak bola. Tapi ini juga bisa dianggap sebagai pelita, untuk menunjukkan Anda tentang bagaimana cara melawan kekuatan uang, para penipu, lalu sukses.”

Nama Brighton kembali menjadi perbincangan setelah empat musim terakhir telah tiga kali menjalani play-off, meski hingga kini belum juga meraih tiket promosi ke Liga Primer.

Tahun ke-21

Berkat upaya Knight, Brighton berhasil menggaet disc jockey (DJ) kenamaan Inggris, Fatboy Slim, yang kebetulan suporter mereka, untuk mendanai klub.

Kebetulan, karier DJ yang bernama asli Norman Cook ini sedang menanjak di kancah musik elektronik. Ia akhirnya berhasil membujuk labelnya, Skint, menjadi sponsor Brighton selama sembilan tahun (2000-2008).

Setahun berikutnya, sebuah berita yang dinantikan pun tiba: Brighton berencana untuk membangun stadion baru. Sejumlah prestasi, baik di atas lapangan maupun di segi finansial, membuat mereka berkeyakinan untuk membangun rumah baru.

Setelah melalui sejumlah jalan terjal, stadion baru benar-benar bisa mereka gunakan pada tahun 2011, 15 tahun sejak merelakan stadion Goldstone dijual. Sebuah kisah mengharukan, tentunya.

Knight, yang berjasa besar, akhirnya memutuskan untuk menjual sahamnya kepada Tony Bloom pada 2009 agar pembangunan stadion bisa dituntaskan.

Berkaca dari peristiwa pahit itu, Knight menjualnya kepada Bloom yang juga suporter Brighton, bukan sekadar sugar daddy. Bloom besar di Brighton dan berkarier sebagai pemain poker andal. Kemampuannya berjudi membuatnya menjadi jutawan. Bloom juga yang berhasil mendatangkan dana sebesar 93 juta paun untuk penyelesaian Falmer Stadium.

Kini, anak-anak Brighton berlaga di The Amex (nama Falmer berganti karena kesepakatan dengan sponsor), stadion megah yang berkapasitas 30.750 penonton. Sebuah perjuangan yang luar biasa.

Di atas lapangan, meski skuat yang dilatih Chris Hughton ini banyak diisi pemain gaek, mereka menjadi tim yang konsisten dengan memeragakan sepak bola efektif.

Mereka adalah tim yang tangguh dalam memenangi duel-duel udara. Menilik dari catatan Whoscored, Brighton menempati urutan pertama soal kemampuan ini, dengan torehan sebanyak 55,2%.

Musim ini Brighton begitu mengandalkan Glenn Murray dan Anthony Knockaert. Murray, 33 tahun, sejauh ini telah menggelontorkan 16 gol atau 28% dari keseluruhan gol timnya. Catatan yang luar biasa bagi pemain yang telah memasuki usia senja.

Nama kedua, Knockaert, adalah pemain Prancis yang berposisi sebagai sayap kiri. Selain menjadi pemberi asis terbanyak (7), pemain berusia 25 tahun ini juga rajin mencetak gol (11).

Meski  tidak terlalu produktif, Brighton menjadi tim yang paling sedikit kebobolan. Hanya 26 gol yang bersarang ke gawang mereka. Sebuah catatan yang bisa menjadi bekal positif karena Huddersfield, tim yang kini menduduki peringkat ke-3, telah kebobolan 36 gol.

Jarak mereka dengan Newcastle (yang berada di posisi kedua) memang hanya satu poin. Tetapi selisih 6 poin dengan Huddersfield akan membuat mereka nyaman, asalkan terus konsisten menjaga performa. Masih ada 13 laga yang harus dilalui. Apapun masih bisa terjadi. Dua dekade sejak peristiwa 1996 telah terlewati. Sudah sepantasnya nama Brighton semakin dikenal lagi.

Come on, you, Seagulls!

Catatan:

Tulisan ini juga bersumber dari tulisan penulis empat tahun yang lalu di situsweb Arsenal Indonesia Supporters, Ada Hikmah Sebelum Laga Tandang Melawan Brighton.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com