Turun Minum Serba-Serbi

Hikayat Sugar daddy Tengik dan Gagal

Istilah sugar daddy dalam sepak bola mulai populer seusai Roman Abramovich mengakuisisi saham mayoritas Chelsea di tahun 2003. Abramovich menyulap Chelsea dalam waktu semalam, menjadikan klub tersebut bertabur bintang.

Uang yang digelontorkan Abramovich di awal sebesar 60 juta paun. Namun kita semua sama-sama menyaksikan betapa rekeningnya seperti tak memiliki batas dengan merekrut banyak pemain bintang dengan nilai transfer selangit. Padahal, Ken Bates, pemilik Chelsea sebelum Abramovich, membeli klub berseragam biru tersebut dengan harga yang sangat ‘fantastis’: SATU paun.

Sugar daddy adalah orang-orang kaya (sangat kaya!) yang melakukan investasi dengan membeli saham klub sepak bola. Beberapa ada yang berhasil. Selain Chelsea, kita juga mengenal Manchester City dan PSG di Prancis. Sebelum kedatangan Sheikh Mansour, bisa dibilang City adalah klub ala kadarnya yang takkan mampu menandingi tetangganya, Manchester United.

Tapi namanya investasi, kegagalan pasti menyertai. Kegagalan tersebut bisa dikarenakan miskalkulasi (seperti yang dilakukan Abdullah Al-Thani di Malaga), atau pun karena memang bos-bos tersebut tidak memiliki iktikad baik saat mengambilalih suatu klub.

Berikut ini deretan nama sugar daddy tengik yang gagal tersebut.

Ahsan Ali Syed – Racing Santander

Pria India yang banyak menghabiskan waktu di Qatar ini membeli 80% saham Racing Santander pada 2011 silam. Dengan jumawa ia mengatakan bahwa seharusnya klub seperti Santander bisa menandingi dominasi Madrid dan Barcelona.

Kedatangannya di klub itu membuat stadion mereka tidak lagi boleh menyediakan daging babi dan alkohol. Tak apa, toh ia ‘dewa penyelamat’.

Ternyata itu semua menguap dan mengempaskan publik Santander. Tuan Ali adalah seorang bajingan tengik, penjahat yang beraksi di pencucian uang dengan kedok perusahaan investasi yang ia namakan Western Gulf Advisory.

Janji manisnya di awal hanya mampu mendatangkan pemain sekelas Giovanni dos Santos. Gaji para pemain tidak dibayar, sehingga mereka melakukan aksi boikot di suatu pertandingan. Kini terkuak bahwa Tuan Ali adalah buronan yang merugikan banyak pihak.

Keluarga Rao – Blackburn Rovers

Keluarga Rao, yang juga berdarah India, memiliki bisnis yang cukup baik di negara asal mereka. Perusahaan tersebut adalah Venky’s yang bergerak di sektor pengolahan daging ayam, obat-obatan, dan lain-lain.

November 2010, mereka membeli 99,99% saham Blackburn Rovers, klub yang pernah diperkuat duet maut Chris Sutton dan Alan Shearer. Di awal kebersamaan mereka, Keluarga Rao berjanji untuk mendatangkan nama-nama seperti David Beckham dan Ronaldinho.

Per Oktober 2016, The Rovers memiliki utang sebesar 104,2 juta paun setelah diakuisisi keluarga Rao. Antusiasme penonton pun rendah, hanya berada di kisaran 14,000 penonton per laga. Padahal Ewood Park, kandang mereka, berkapasitas 31,367 tempat duduk.

Suleyman Kerimov – Anzhi Makhachkala

Kiprah Kerimov di klub kampung halamannya ini menunjukkan bagaimana watak tengik para sugar daddy. Menganggap klub sepak bola sebagai mainan yang jika sudah bosan mereka buang ke keranjang sampah.

Klub ibu kota Dagestan ini langsung menghentak dengan merekrut nama-nama besar sepak bola seperti Roberto Carlos, Guus Hidink, Yuri Zhirkov, Willian, serta Samuel Eto’o, yang waktu itu menjadi pemain bergaji tertinggi di dunia.

Kerimov tidak secerdas Abramovich yang juga memikirkan bagaimana caranya agar Chelsea juga mampu menjadi ‘brand global’. Harusnya ia sadar, berapa banyak orang di dunia ini yang menonton Liga Rusia? Hal sesederhana itu saja dia tidak mampu atasi.

Anzi bahkan terdegradasi di kasta kedua Rusia pada akhir musim 2014/15. Hanya dalam durasi dua tahun, ia melepas klub berseragam kuning ini setelah trofi yang ia nanti tak juga menghampiri. Atau hanye karena ia bosan? Entah, namanya juga horang kayah.

Carson Yeung – Birmingham

Sama seperti Ali Syed, mulut Yeung juga penuh sesumbar saat mengambilalih kepemilikan klub yang kotanya dikenal sebagai tempat kelahiran musik heavy metal ini.

Selain berhasrat menjadikan Birmingham sebagai merek global, ia meyakinkan mereka bahwa koneksi dan reputasinya bisa membuat klub ini populer di Cina. Yeung mengakuisisi saham Birmingham di tahun 2009.

Kesalahan juga ada di bahu otoritas Premier League yang meloloskan kredibilitas Yeung di tahap fit and proper test. Karena sebetulnya, pihak klub telah mengetahui riwayat kriminal Yeung di Hong Kong pada 2004.

2014 lalu, Birmingham bisa terbebas dari cengkeraman penipu ulung ini setelah Pengadilan Hong Kong menetapkannya sebagai tersangka kasus pencucian uang, dan menjebloskannya ke penjara. Meski begitu, saat ini Birmingham masih terseok-seok di papan tengah divisi Championship.

Padahal, sepuluh tahun sebelum membeli Birmingham, Yeung hanyalah seorang tukang cukur rambut. Entah Yeung yang pandai bermuslihat atau otoritas Premier League yang terlampau mudah dibodohi janji-janji para sugar daddy tengik ini.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com