Pada tahun 1990, Italia menjadi tuan rumah kejuaraan sepak bola antarnegara paling bergengsi sejagad bertajuk Piala Dunia. Catatan ini bikin mereka sah menjadi negara kedua setelah Meksiko dengan menggelar ajang empat tahunan yang diinisiasi oleh Federation Internationale de Football Association (FIFA) tersebut pada dua kesempatan yang berbeda.
Tampil di rumah sendiri, ekspektasi publik Negeri Pizza jika tim kebanggaan mereka dapat berbuat banyak langsung menyeruak. Terlebih, tim besutan Azeglio Vicini kala itu mempunyai barisan pemain top dan berkualitas.
Sebut saja Walter Zenga di bawah mistar gawang, Franco Baresi dan Giuseppe Bergomi yang jadi tembok kokoh di sektor belakang, Roberto Donadoni dan Giuseppe Giannini sebagai penguasa sektor tengah, plus Roberto Baggio dan Gianluca Vialli yang berperan sebagai ujung tombak. Berbekal nama-nama itu, wajar bila asa menggondol trofi Piala Dunia keempat membubung ke angkasa.
Namun uniknya, penggawa Italia yang sukses mencuri atensi publik di Piala Dunia 1990 bukanlah nama-nama di atas. Tanpa disangka-sangka, turnamen yang berjalan selama kurang lebih empat pekan ini malah melambungkan sosok bernama Salvatore ‘Toto’ Schillaci.
Baca juga: Oberto: Panggung Abadi Franco Baresi
Lelaki dengan posisi natural sebagai penyerang ini tampil memukau sebagai mesin gol Gli Azzurri di lini depan. Tak tanggung-tanggung, di sepanjang pagelaran Piala Dunia 1990, Schillaci berhasil mengemas 6 gol. Alhasil, dirinya pun didapuk sebagai pencetak gol terbanyak dalam ajang ini. Terasa semakin manis karena Schillaci juga dinobatkan sebagai Pemain Terbaik.
Sayang seribu sayang, kecemerlangan Schillaci di Piala Dunia 1990 tak membuat Italia sukses menggondol trofi keempatnya di ajang ini. Kampanye mereka guna melaju ke partai puncak kandas di tangan Argentina yang saat itu diperkuat Diego Maradona pada babak semifinal. Untungnya, Gli Azzurri masih bisa memenangi laga perebutan peringkat ketiga dengan menekuk Inggris.
Kegagalan itu juga yang membuat Schillaci, menurut pengakuannya kepada FourFourTwo, menghabiskan waktunya dengan merokok dan menangis hampir sepanjang hari. Bahkan dengan senang hati, Schillaci bersedia andai gelar Pemain Terbaik yang didapatkannya ditukar dengan trofi Piala Dunia keempat bagi Italia.
Sebelum memesona di Piala Dunia 1990, sejatinya nama Schillaci kurang begitu populer di telinga publik. Pasalnya, karier dari pemain berpostur 173 sentimeter ini lebih banyak berkutat di kasta bawah, tepatnya di Serie C2, Serie C1 dan Serie B bareng Messina selama tujuh musim.
Walau begitu, keran gol dari kepala atau kaki Schillaci pada momen bersama klub yang berkandang di Stadion San Filippo itu juga mengalir dengan sangat lancar. Tak heran bila sejumlah klub raksasa Serie A terpikat dengan kemampuannya. Klub yang berbasis di kota Turin, Juventus, lalu jadi pilihan Schillaci buat melanjutkan karier jelang dimulainya musim kompetisi 1989/1990.
Musim debut Schillaci bersama I Bianconeri terbilang sukses karena selain menjadi top skor klub, ia juga mempersembahkan trofi Piala Italia dan Piala UEFA. Situasi ini pula yang menarik perhatian Vicini sehingga membawanya ke Piala Dunia 1990.
Namun sial, selepas performa gemilang di musim perdananya berkostum Juventus plus Piala Dunia 1990 bareng Italia, Schillaci justru terpuruk. Serentetan problem kebugaran menjadi penghalang dari sosok yang kabarnya tak mencicipi bangku sekolah dan tumbuh besar dari keluarga miskin tersebut guna menampilkan aksi-aksi prima di musim berikutnya.
Menurunnya performa Schillaci ini pula yang bikin manajemen I Bianconeri ikhlas melepasnya ke salah satu tim rival, Internazionale Milano, pada musim 1992/1993. Namun upaya Schillaci buat memperbaiki karier sekaligus nama baiknya di Stadion Giuseppe Meazza juga tak membuahkan hasil.
Selama dua musim mengenakan seragam I Nerazzurri, Schillaci hanya berlaga di 38 pertandingan dan mencetak 13 gol pada seluruh kompetisi. Kenyataan buruk ini memaksa manajemen Inter tak memperpanjang kontraknya yang usai di pengujung musim 1993/1994.
Di saat kariernya nyaris berakhir, kesebelasan asal Jepang yang ketika itu sedang membangun kekuatan, Jubilo Iwata, datang membawa secercah harapan baginya. Tepat di umurnya yang ke-30, Schillaci memutuskan terbang ke Benua Asia sekaligus menjadi sosok pertama asal Italia yang bermain di kompetisi J.League.
Di Jepang, pelan tapi pasti Schillaci berhasil mengangkat kembali namanya sebagai penyerang ganas. Empat musim mengenakan seragam biru muda khas Jubilo, Schillaci tampil di 93 pertandingan dan membukukan 65 gol pada seluruh kompetisi. Dirinya ikut berperan atas gelar J.League perdana Jubilo yang diperoleh pada musim 1997.
Tapi lagi-lagi nasib kurang beruntung menghampiri Schillaci, usai mengantar Jubilo sebagai tim nomor satu di Jepang, durasi kerja bomber dengan 16 caps dan 7 gol bareng Gli Azzurri itu tidak mendapat ekstensi.
Kenyataan itu pula yang membuat Schillaci pulang kampung ke Italia sebelum akhirnya benar-benar pensiun dari lapangan hijau per tahun 1999. Usai tak bermain lagi, Schillaci mendirikan dan juga mengelola sebuah akademi sepak bola di kota kelahirannya, Palermo.
Nama Schillaci barangkali takkan seharum Giuseppe Meazza, Luigi Riva atau Paolo Rossi yang jadi sukses mematri namanya sebagai penyerang legendaris Italia. Tapi empat pekan gemilang di musim panas 1990 itu bakal selalu dikenang publik sepak bola dunia sebagai momen di mana Schillaci muncul sebagai bintang utama di turnamen sepak bola antarnegara paling bergengsi di jagad raya.
Buon compleanno, Toto.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional