Eropa Italia

Pemecatan Vincenzo Montella: Lingkaran Setan AC Milan yang Makin Sempurna?

Posisi tujuh, terpaut 18 poin dari posisi puncak, berjarak 11 poin dari zona Liga Champions, terbentang enam poin dari area Liga Europa, dan hanya berbeda 10 dari penghuni zona degradasi. Semua syarat terpenuhi, AC Milan akhirnya resmi memecat Vincenzo Montella. Ada bahaya yang mengintai dan nampaknya belum terendus. Sebuah lingkaran setan.

Marco Fassone dan Massimiliano Mirabelli menyadari bahwa kerja dan beban Montella sangat berat. Oleh sebab itu, walaupun semakin sering mengecewakan, keduanya masih memberi kesempatan kepada pelatih asal Italia tersebut. Fassone dan Mirabelli masih ingin memberi Montella satu kesempatan terakhir ketika Milan melawan Benevento.

Melihat lawan yang akan dihadapai Milan, nampaknya Fassone dan Mirabelli juga ingin Montella segera membenahi diri dan tim demi mengamankan kariernya. Di atas kertas, Milan jelas bisa mengalahkan Benevento. Oleh sebab itu, masuk akal apabila keduanya memberikan satu kesempatan terakhir.

Namun sayang, sang pemilik baru, Yonghong Li, berkata lain. Sudah terlalu banyak kata maaf yang diberikan manajemen kepada Montella. Sebenarnya, sudah sejak kekalahan dari Internazionale Milano yang lalu, posisi Montella berada di ujung jurang. Pun, setelah kalah dari rival satu kota tersebut, pemecatan Montella sangat bisa dimaklumi.

Lantas, apakah pemecatan Montella merupakan solusi? Apakah buruknya Milan memang 100 persen hanya terjadi di atas lapangan? Ketika kontrak Montella diputus, maka saat itu pula Milan masuk dalam situasi berbahaya. Langkah yang salah, hanya akan mengantar Setan Merah berjalan di jalur yang sama, membentuk lingkaran setan.

Lingkaran setan yang dibentuk oleh keputusan manajemen dan kegagalan pelatih mempertahankan idenya. Kombinasi keduanya akan membuat pemecatan Montella menjadi tiada berfaedah.

Semenjak Milan diambil alih konsorsium dari Cina yang dipimpin oleh Yonghong Li, kampanye soal “kebesaran” dan “membangkitkan raksasa yang tertidur” menjadi narasi utama. Untuk alasan yang sama, manajemen membekali Montella dengan skuat baru. Benar-benar baru. Tak kurang 12 pemain didatangkan di jendela transfer musim panas.

Di atas panggung media, kerja mahal Milan sungguh memesona. Deretan pemain muda potensial, dipadukan dengan amunisi matang dan seorang veteran Serie A. Hasilnya, di atas kertas, Milan seperti akan dapat dengan mudah masuk ke posisi empat besar, misi utama mereka musim 2017/2018. Namun, semuanya hanya terhenti “di atas kertas” belaka.

Montella kesulitan menerapkan idenya ke dalam skuat yang baru belaka. Waktu yang begitu pendek pun tak membantu mantan pemain AS Roma tersebut untuk membangun satu skuat yang padu. Kita bahkan belum berbicara soal konsistensi.

Keputusan menajemen untuk menghamburkan lebih dari 200 juta euro tak lebih dari seorang anak kecil yang dibekali banyak uang dan diajak masuk ke toko permen. Seperti tanpa pikir panjang, Milan tinggal mencomot “permen” dengan bungkus paling menarik, tanpa menghitung kembali apakah mereka sebenarnya perlu membeli permen tersebut.

Terikat oleh kampanye soal kebesaran yang instan, Montella tak bisa berbuat banyak. Jika diperhatikan betul, setidaknya hanya ada tiga pemain di mana Montella lebih banyak berbicara ketika Milan melakukan pendekatan. Dua pemain yang dimaksud adalah Andrea Conti, Frank Kessie, dan Nikola Kalinic.

Boleh bertaruh, tak ada pelatih profesional di lima kompetisi klub tertinggi di Eropa, yang akan begitu senang ketika mendapati bahwa ia akan melatih 12 pemain baru dengan masa persiapan tak lebih dari satu bulan. Masa integrasi 12 pemain baru, yang masing-masing personel belum pernah bermain di satu klub dalam kurun waktu tertentu, dengan pemain lama akan memakan waktu yang begitu panjang.

Dari kerja di atas meja perundingan pun Milan sudah terjebak ke dalam jalur yang salah. Situasi pelik ditambah dengan ketidakmampuan Montella mempertahankan idenya di atas lapangan. Keharusannya memainkan tiga bek demi “membuat nyaman” Leonardo Bonucci sudah sangat salah. Satu keputusan salah yang terus membekas hingga akhirnya ia dipecat.

Tak hanya soal Bonucci, keengganan Montella untuk memberi menit bermain lebih panjang untuk Andre Silva juga memicu perdebatan hangat. Penyerang muda asal Portugal tersebut mendapatkan menit bermain lebih banyak hanya ketika Milan bermain di ajang Liga Europa. Padahal, Andre Silva hampir selalu menunjukkan level adaptasi yang baik ketika bermain.

Kombinasi yang mematikan: manajemen dengan kompas yang salah dan pelatih yang tak kokoh memegang idenya sendiri.

Lantas, mau melangkah ke mana selanjutnya? Nama Gennaro Gattuso dipilih untuk menggantikan Montella. Ekspektasi langsung tinggi. Banyak suporter Milan yang semringah melihat keganasan Gattuso di pinggir lapangan. Bahkan ada yang menunggu-nunggu Gattuso menggampar Bonucci ketika bermain buruk. Sungguh pemikiran tolol.

Sekali mempermalukan pemain profesional dengan tidak pantas di atas lapangan, pelatih kepala tidak hanya akan bermusuhan dengan si pemain pemain. Si pelatih kepala akan bermusuhan dengan teman-teman si pemain, yang mana berarti pemberontakan di ruang ganti. Coba tanyakan kepada pemain-pemain Borussia Dortmund semasa masih dilatih Thomas Tuchel. Sebuah kondisi yang buruk untuk memulai karier bersama tim senior.

Gattuso mungkin hanya pilihan sementara, sebelum Milan menunjukkan pelatih tetap. Namun, siapa pun dia yang terlipih nanti, jika tak ada perbaikan menyeluruh, dari menajemen hingga kualitas pelatih, maka Milan tak akan beranjak. Milan hanya berputar-putar di neraka yang mereka bikin sendiri.

Sebuah lingkaran setan yang berbahaya.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen