Eropa Inggris

Zlatan Ibrahimovic: Sebuah Narasi yang Belum Selesai

Ketika sampai pada halaman terakhir biografi Zlatan Ibrahimovic, satu hal yang tak sabar saya nantikan pada biografi lanjutannya ialah cerita macam apa yang akan Zlatan tulis selama kiprahnya di Paris Saint-Germain (PSG) dan Manchester United. Di akhir buku yang berjudul I Am Zlatan tersebut memang mengindikasikan bakal ada seri biografi lanjutan mengenai sosok yang saat ini berusia 36 tahun tersebut.

Buku yang ditulis secara kolaboratif dengan penulis David Lagercranzt ini hanya menguak masa-masa awal karier Zlatan hingga kiprahnya sebagai pemain di AC Milan. Tentu saja lengkap dengan segala kejahilan, kontroversi, dan kisah-kisah heroik yang ditulis dengan narasi penuh glorifikasi terhadap  dirinya sendiri.

Berbicara tentang Zlatan berarti berbicara tentang pribadi yang unik. Jika Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo merupakan pengejewantahan paling pas dari bakat dan kerja keras, Zlatan tumbuh dan menjadi besar berkat sikap keras kepala, rasa apriori, dan dendam yang menjalar dalam tubuhnya.

“Saya maju berkat amarah dan semangat balas dendam sejak saya mulai bermain bola,” tulisnya di salah satu bab dalam bukunya.

Zlatan enggan untuk tunduk pada keadaan dan kepada siapapun. Ia tak menggubris permintaan Arsene Wenger untuk ikut trial di Arsenal, pada Louis van Gaal saat lelaki Belanda itu menjabat direktur Umum Ajax, pada Didier Deschamp yang memintanya untuk tetap tinggal di Juventus saat klub Turin tersebut sedang dalam kondisi pailit akibat Calciopoli.

Latar belakang kehidupan yang keras membentuk pribadi seorang Zlatan. Ia lahir dan besar di Rosengard, sebuah daerah di selatan Swedia yang banyak dihuni oleh kaum imigran. Ibunya bekerja sebagai tukang bersih-bersih, ayahnya seorang imigran dari Bosnia yang terus dihantui mimpi buruk perang Balkan, lalu melampiaskannya dengan menenggak banyak alkohol. Tidak usah heran dalam perjalanan hidupnya, Zlatan justru lebih klop dan patuh justru dengan pribadi-pribadi yang keras atau secara latar belakang memiliki kemiripan dengannya seperti Fabio Capello, Luciano Moggi, Jose Mourinho dan agennya sendiri, Mino Raiola.

Dengan segala kehebatan yang dibumbui kontroversi dan sikap eksentriknya di buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Norman Erikson Pasaribu itu, patut dinantikan apa yang akan ia tulis selama tinggal di Paris dan Manchester.

Mungkin saja ia akan menarasikan secara heroik sebagaiamana narasi yang ditulisnya selama bermain untuk Internazionale Milano dan AC Milan ketika ia menjadi pemain paling penting di dalam skuat. Di Paris, ia menjadi tonggak atau simbol perubahan PSG ketika klub asal Paris itu diakuisisi oleh Nasser Al-Khelaifi, seorang pebisnis asal Qatar. Zlatan menjadi sosok sentral dalam skuat, ditunjuk menjadi kapten tim, dan di akhir masa baktinya ia disuguhi pesta perpisahan yang luar biasa.

“I came like a king and left like a legend.” Sebuah kalimat yang cukup menggambarkan kedigdayaannya selama bermain untuk PSG.

Justru kita akan menemukan cerita-cerita menarik ketika ia memilih Manchester sebagai pelabuhan berikutnya. Dengan segala hormat, Manchester United di masa kini tentu tak sama dengan PSG yang begitu dominan di Prancis. Manchester United adalah klub yang berusaha membangun kembali kebesarannya selepas ditinggal sang gaffer, Sir Alex Ferguson.

Zlatan harus berbagi tempat dengan ego-ego besar pemain Manchester United. Mempetaruhkan nama besarnya sebagai pemain yang selalu mampu membawa sebuah klub juara di musim perdananya.

Bisa dibayangkan pula bagaiamana ia mendeskripsikan anak muda seharga 1,5 triliun dengan warna rambut yang berbeda di setiap pertandingan. Atau bagaiamana ia menarasikan sosok Marouane Fellaini. Atau komentar-komentarnya terhadap sosok Romelu Lukaku, rekan sekaligus “pesaing” di lini depan Red Devils.

Di musim perdananya di Manchester, Zlatan masih mampu menorehkan 17 gol sekalipun gagal membawa Manchester United menjadi juara di liga. Malah menjelang akhir musim ia menderita cedera parah yang mengharuskannya menepi cukup lama dari lapangan hijau.

Tapi bukan Zlatan namanya jika memiliki sikap mudah menyerah pada keadaan. Manchester United memberikan kontrak tambahan satu tahun lagi untuk menuntaskan kembali apa yang sudah ia dan tim mulai di musim sebelumnya. Pada prosesnya, Zlatan memang kembali lebih cepat dari perkiraan awal. Ia turun menggantikan Anthony Martial ketika Manchester United mengalahkan Newcastle United di pekan 12 Liga Inggris.

Zlatan memang belum mengindikasikan untuk pensiun dalam waktu dekat, tapi membawa Manchester United menjadi juara Liga Inggris atau Liga Champions, tentu akan menjadi narasi yang ia butuhkan untuk melengkapi kisah luar biasanya sebagai pesepak bola.

Author: Fahmin (@vchmn22)
Penulis tinggal di Sampang,  Madura