Masih segar di ingatan kita betapa rumitnya kasus perebutan zona Piala AFC di Liga 1, kini kasus serupa juga terjadi di Liga Malaysia. Bahkan, kejadian di Malaysia Super League ini bisa berujung lebih fatal, karena klub yang berhak lolos ke Piala AFC menolak jatah tersebut.
Peristiwa berasal dari final Piala Malaysia yang mempertemukan Pahang FA dan Kedah FA. Laga yang dimenangkan Kedah tersebut seharusnya membuat mereka lolos ke Piala AFC musim depan, tapi karena belum memiliki lisensi AFC, akhirnya jatah tersebut jatuh ke tangan Pahang.
Namun di luar dugaan, Pahang justru menolak jatah tersebut, karena kabarnya ingin mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menjuarai Malaysia Super League 2018. Itu dilakukan agar Pahang mendapat tiket langsung ke fase grup Liga Champions Asia 2019.
Keesh Sundaresan, konributor Football Tribe Malaysia, mengatakan bahwa saat ini Malaysia hanya memiliki jatah dua klub di Piala AFC, dan satu tiket ke play-off Liga Champions Asia. Namun, jika peringkat mereka di peringkat kompetisi klub AFC tetap berada di atas Liga Hong Kong, maka jatah langsung menuju fase grup Liga Champions Asia akan digenggam.
Jika nantinya Pahang tetap kukuh menolak berkompetisi di Piala AFC, maka jatah tersebut akan hangus. Sebuah kerugian bagi Liga Malaysia, karena mereka hanya mengirimkan dua klub peserta di kompetisi Asia musim depan.
Terkait hal ini, saya tertarik dengan pernyataan Pahang yang ingin memfokuskan diri untuk menjuarai Malaysia Super League demi tiket langsung ke fase grup Liga Champions Asia. Setidaknya, ada dua poin yang bisa disimpulkan dari keputusan klub tersebut, yang sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan kondisi di Liga Indonesia.
Pertama, Pahang melakukan perjudian besar. Dengan hanya satu jatah tiket ke Liga Champions Asia, Pahang akan bersaing ketat dengan Johor Darul Ta’zim (JDT) yang mendominasi Malaysia Super League selama empat musim beruntun, sejak 2014. Akan tetapi, ini juga menunjukkan kalau Pahang memiliki optimisme tinggi, karena mereka merasa cukup kuat dan memang layak untuk bertanding di Liga Champions Asia.
Situasi ini hampir mustahil terjadi di Indonesia. Beberapa klub Liga 1 dengan semangat mengurus lisensi AFC demi lolos ke kompetisi Asia, padahal iklim sepak bola di Indonesia masih carut-marut dan beberapa infrastruktur klub belum memenuhi standar. Tidak mawas diri, mungkin adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan fenomena ini.
Kedua, tiket langsung menuju fase grup Liga Champions Asia yang akan mereka dapatkan musim depan menandakan bahwa kompetisi di negeri tetangga tersebut selangkah lebih maju dengan liga di Tanah Air.
Bagaimana tidak, ketika liga kita tercinta masih disibukkan dengan berbagai regulasi yang kemungkinan masih bisa berubah seperti format kompetisi dan aturan pemain asing, liga tetangga justru sudah bersiap mengirimkan langsung juaranya sebagai perwakilan di kasta tertinggi kompetisi Asia.
Lihat perbedaannya, dan ukur perbandingannya. Kita tertinggal jauh Bung, dari liga yang katanya sepi penonton, bahkan hanya melibatkan 12 tim di dalamnya!
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.