Uncategorized

17 November: Ketika Ferenc Puskás Berpulang

Pada era 1950-an dan 1960-an silam, Real Madrid merupakan salah satu kesebelasan yang punya prestasi sangat ciamik. Hal tersebut bisa dijustifikasi dengan berjubelnya gelar juara yang masuk ke dalam lemari trofi milik klub yang identik dengan warna putih tersebut.

Ketika itu, ada 21 silverwares yang sukses digapai oleh Los Blancos, mulai dari titel La Liga Spanyol, Piala Raja Spanyol, Piala Champions (kini Liga Champions) sampai Piala Interkontinental.

Salah satu penggawa Madrid yang berkontribusi masif atas pencapaian gemilang itu tak lain tak bukan adalah Ferenc Puskás, penyerang asal Hungaria (sempat juga membela tim nasional Spanyol) yang mulai bergabung per musim kompetisi 1958/1959. Sebelum membela Los Blancos, Puskás bermain untuk Budapest Honved dan mengantar klub tersebut beroleh sejumlah gelar juara.

Namun, Revolusi Hungaria yang terjadi pada pertengahan 1950-an dan membuat situasi di negara tersebut menjadi tidak kondusif, membuat Puskás memilih untuk pindah ke kesebelasan luar negeri. Dirinya sempat bermain untuk Espanyol (dalam beberapa partai tidak resmi) dan menjadi incaran sepasang tim raksasa Italia, AC Milan serta Juventus. Namun akhirnya, Madrid menjadi pilihan Puskás untuk melanjutkan karier.

Menariknya, Puskás bergabung dengan Los Blancos dalam usia yang sudah terbilang senior yaitu 31 tahun. Akan tetapi, hal tersebut tidak menghalanginya buat tampil spektakuler bagi klub yang berkandang di Stadion Santiago Bernabeu itu.

Bersama legenda Madrid yang lain, Alfredo Di Stefano, Puskás membentuk kombinasi mengerikan di lini depan. Kehebatan mereka berdua tak hanya merekah dan kondang di Spanyol tapi juga di seantero Eropa.

Baca juga: Alfredo Di Stefano yang Abadi di Valdebebas

Selama 12 tahun mengenakan baju Madrid hingga pensiun sebagai pesepak bola, Puskás tampil di lebih dari 520 pertandingan. Jumlah gol yang dibukukannya pun mencapai angka yang sangat fantastis, menembus 512 gol. Dirinya pun sukses menyabet gelar top skor La Liga Spanyol sebanyak empat kali dan pencetak gol terbanyak Piala Champions sebanyak dua kali.

Bila ditotal, Puskás berperan atas lima titel La Liga Spanyol, satu Piala Raja Spanyol, tiga trofi Piala Champions dan satu gelar Piala Interkontinental. Membuat Madrid jadi salah satu tim paling sukses di level domestik, regional dan dunia pada kurun 1960-an silam.

Selain mengilap bersama Los Blancos, penampilan Puskás bareng timnas Hungaria juga sangat menakjubkan. Di era 1950-an silam, Hungaria memang dikenal sebagai salah satu timnas paling hebat di penjuru Bumi. Mereka beroleh julukan The Mighty Magyars dari para penikmat sepak bola lantaran saat itu, Hungaria dianggap punya skuat terbaik yang susah dikalahkan.

Dilatih oleh Gusztáv Sebes, timnas Hungaria yang di periode tersebut mempunyai sosok-sosok hebat macam József Bozsik, Zoltán Czibor, Gyula Grosics, Nandor Hidegkuti, Sándor Kocsis, dan Puskás, berhasil mencatatkan sejumlah rekor. Antara lain tak terkalahkan di 31 pertandingan secara beruntun, tim dengan rasio kemenangan tertinggi hingga selalu mencetak gol dalam 73 partai berurutan (minimal satu gol).

Berbekal skuat mentereng itu pula, Hungaria sukses mencomot medali emas Olimpiade Helsinki 1952. Mereka juga menjadi salah satu favorit juara Piala Dunia 1954 yang digelar di Swiss. Status unggulan itu memang tidak salah disematkan karena Puskás dan kolega memang berhasil menembus babak final sebelum ditumbangkan Jerman Barat dengan skor 3-2.

Lahir di Budapest pada 27 April 1927, Puskás kecil mengenal sepak bola dari jalanan. Tubuhnya yang pendek, membuatnya punya low center of gravity sehingga membantunya mengolah bola dengan cara yang luar biasa. Kemampuan dribelnya menakjubkan, ditambah dengan akurasi tembakan kaki kirinya yang maut, membuat Puskás belia bak tinggal menunggu waktu untuk merekah jadi pesepak bola top.

Namun di atas semua itu, para pencinta sepak bola di masa jaya Puskás, pasti akan selalu mengutarakan bahwa salah satu elemen yang membuat Puskás begitu eksepsional adalah visi bermainnya yang spektakuler. Dirinya disebut-sebut bisa melihat dan memperkirakan tiga sampai empat gerakan lanjutan terbaik dari setiap aksi yang dilakukannya guna menghindari tekanan lawan.

Setelah pensiun sebagai pemain, Puskás juga sempat berkarier sebagai pelatih. Tercatat, ada sejumlah tim, baik klub maupun timnas, yang diasuh olehnya. Namun dari tim-tim tersebut, prestasi terbaik Puskás diraih saat menangani kesebelasan asal Yunani, Panathinaikos, dalam rentang 1970 sampai 1974.

Secara luar biasa, Puskás berhasil membawa Panathinaikos memenangi dua gelar Liga Yunani, masing-masing di musim 1969/1970 dan 1971/1972. Tak hanya itu, Puskás juga menjadikan Panathinaikos sebagai klub Yunani pertama dan satu-satunya sampai detik ini, yang berhasil mencicipi partai puncak Piala Champions serta Piala Interkontinental walau gagal menjadi kampiun.

Usai berpetualang di Yunani, Puskás sempat melatih di Spanyol, Cile, Arab Saudi, Paraguay sampai Australia. Namun umur yang semakin menua dan kondisi kesehatan yang semakin menurun, pada akhirnya membuat Puskás harus mengurangi segala aktivitasnya di kancah sepak bola.

Pada tahun 2000, dirinya divonis menderita Alzheimer sehingga harus bolak-balik rumah sakit guna menjalani perawatan. Sampai akhirnya, pada 17 November 2006 yang lalu, Puskás menghembuskan napas terakhirnya akibat demam dan pneumonia.

Kepergiannya meninggalkan duka yang teramat dalam bagi orang-orang terdekat maupun entitas yang lekat dengannya seperti Madrid dan Hungaria. Prosesi pemakaman Puskás pun kabarnya dihadiri oleh puluhan ribu orang.

Meski telah wafat hampir selama satu dekade silam, namun mendiang Puskás akan selalu dikenang sebagai salah satu pesepak bola terbaik sepanjang masa, baik saat membela Real Madrid ataupun kala berseragam timnas Hungaria.

Sebagai penghormatan dan mengenang jasa Puskás di kancah sepak bola, induk federasi sepak bola dunia (FIFA) menggunakan namanya sebagai anugerah (Puskás Award) untuk para pesepak bola, baik pria maupun wanita, yang sukses mencetak gol terbaik dan terindah di setiap tahunnya per 2009 silam.

Rest in peace, Puskás.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional