Kolom

Merawat Ingatan untuk Liga 1 yang Penuh Kebusukan

Karena mustahil saya mengabaikan sepak bola, apalagi memutuskan berhenti menonton dan bersorak serta menangis untuknya, di tahun-tahun mendatang, Liga Indonesia masih dan akan tetap menjadi sesuatu yang saya nantikan kedatangannya.

Pertanyaannya, setelah segala kerumitan dan kebusukan yang menerpa Go-Jek Traveloka Liga 1 selama satu musim kompetisi ini, bisakah saya memberikan kepercayaan seutuhnya untuk PSSI dan PT. Liga Indonesia Baru (LIB) di musim mendatang tanpa merasa takut dikecewakan dan dicurangi?

Baru satu tahun lebih satu hari lalu, Letnan Jenderal Edy Rahmayadi memenangi pemilihan Ketua Umum PSSI dengan selisih yang sangat mutlak. Janji diapungkan, harapan digantungkan. Liga dengan gairah dan semangat baru dipersiapkan.

Bodohnya saya, mungkin juga kamu dan kawan-kawan lain penikmat Liga Indonesia, kita memercayai tagar #ligabarusemangatbaru seperti anak kecil polos yang belum tahu sejarah kelam sepak bola Indonesia, juga dosa-dosa federasi yang menumpuk selama bertahun-tahun.

Aturan kuota pemain U-23 yang diterapkan lalu dihapus begitu saja di tengah kompetisi, penerapan play-off khusus di Liga 2 yang tidak sesuai regulasi, masih buruknya kepemimpinan wasit, hingga bermacam-macam aturan dan regulasi lain yang ditabrak begitu saja, membuat Liga 1 tak ubahnya upaya PSSI melakukan penipuan terang-terangan di hadapan jutaan pencinta sepak bola nasional.

Baca juga: Sepak Bola Indonesia: 50% Rusuh, 40% Dagelan, 10% Hiburan

Ketika Edy Rahmayadi kemudian bilang kemarin, seperti dikutip dari Republika, “Saya gagal, tahun ini saya gagal. Gagal yang saya maksud adalah target saya,” membuat saya membayangkan banyak hal. Kegagalan timnas di SEA Games 2017, takluknya Egy Maulana Vikri dan kolega di Piala AFF U-19, apakah ini sesuatu yang dianggap gagal oleh PSSI?

Tidak ada yang gagal dari anak-anak asuh Luis Milla dan Indra Sjafri. Banyak bakat-bakat muda di Timnas U-22 muncul berkat Liga 1 yang penuh cela ini. Nama Egy Maulana, Rachmat Irianto, dan kawan-kawan lain di Timnas U-19 juga mekar mewangi walau kandas tanpa gelar juara. Yang mungkin terlupakan oleh Bapak Edy, atau sengaja dilupakan, adalah, timnas tidak pernah gagal, karena level mereka memang di sini-sini saja. Kompetisi membentuk kualitas timnas, dan ya, kualitas kita masih cukup di sini.

Thailand berlari kencang bahkan menggebrak di Liga Champions Asia lewat Muangthong United. Malaysia masih mampu berbicara banyak di level Asia lewat kejayaan Johor Darul Ta’zim. Lalu, di mana posisi Indonesia dan wakil dari kompetisinya?

Persib Bandung dan Arema FC yang lolos verifikasi, bahkan tidak tampil memuaskan musim ini di Liga 1. Arema FC bahkan masih dipermasalahkan legalitasnya karena kalau kamu ingat, ada Arema Indonesia yang berkompetisi di Liga 3 musim ini.

Persipura Jayapura, PSM Makassar, hingga sang calon kuat juara yang penuh cela, Bhayangkara FC, tidak ada yang lolos verifikasi AFC untuk tampil di pentas Asia. Kalau untuk hal domestik seperti ini saja PSSI dan PT. LIB tak kuasa menertibkan dan mengurus anggotanya, mau sampai kapan kegagalan PSSI harus bersembunyi di belakang kegagalan timnas?

Lalu, mestikah kita lupakan bagaimana PSSI (tentu dengan sepengetahuan Edy Rahmayadi) memutuskan menabrak regulasi dan menipu beberapa klub lewat manuver-manuvernya yang menggelikan dan penuh intrik?

Kita tidak boleh lupa, bahkan untuk sejengkal memori sekalipun tentang Liga 1 musim ini. Kita tidak boleh lupa tentang polemik hukuman kartu merah Mohammed Sissoko dan dampaknya terhadap perebutan gelar juara. Kita tidak boleh lupa intervensi kepolisian di laga Madura United kontra Bhayangkara pekan lalu. Kita tidak boleh lupa bahwa di hadapan semua kebusukan itu, jelas dan tampak nyata bahwa PSSI, ada dan terlibat di dalamnya.

Saya menerima hasil akhir Liga 1 dan segala keputusannya dengan penuh amarah tanpa sedikitpun rasa lapang dada yang tersisa. Kamu boleh menyebutnya dendam, tapi saya punya cara sendiri menyikapi ‘dendam’ tersebut. Milan Kundera, di salah satu buku terbaiknya yang pernah terbit, “The Book of Laughter and Forgetting”, menuliskan kutipan terkenalnya, The struggle of man against power, is the struggle of memory against forgetting,” dan saya memilih kutipan Kundera tersebut sebagai cara yang akan saya ingat baik-baik dalam perjuangan merawat ingatan akan kebusukan PSSI musim ini.

Di depan rezim PSSI yang (masih dan entah sampai kapan) busuk ini, perlawanan sebaik-baiknya suporter dan pencinta bola nasional adalah dengan merawat ingatan baik-baik. Anda tidak boleh lupa sedikitpun, bahwa di tahun ini, Liga 1 tak hanya mewartakan kabar gembira usai sanksi FIFA, namun juga mempermalukan kita dengan cara-cara licik nan culas yang memuakkan.

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia