14 pertandingan sejauh ini di semua ajang, dengan hasil 7 kali menang, 2 kali imbang, dan 5 kekalahan, adalah hasil yang sangat ‘luar biasa’ bagi sebuah klub yang telah menggelontorkan dana hingga 200 juta euro di bursa transfer. Dengan perolehan itu, AC Milan telah menginvestasikan harta mereka dengan sangat ‘pintar’, membuat tiap poin yang mereka raih berharga 8,7 juta euro.
Dengan jumlah uang yang sama, Milan dapat membeli 21 Sylvano Comvalius dengan uang sebesar itu, daripada hanya “menggunakannya” untuk mendapat poin di klasemen.
Cederanya satu pemain dan kapten yang diberi kartu merah, tidak bisa dijadikan alasan mengapa kesebelasan ini bisa sangat jeblok. Apalah gunanya mengeluarkan uang 200 juta euro jika tidak bisa menciptakan kedalaman skuat? Apalah gunanya membeli 11 pemain baru jika tidak bisa mengantisipasi pemain yang absen?
AC Milan adalah lelucon di akhir pekan. Ketika kita menonton televisi di hari Sabtu atau Minggu, kita dapat menemukan beragam program-program komedi hampir di semua stasiun televisi. Kini, jenis program komedi terbaru muncul di lapangan hijau dengan para pemain yang mengenakan seragam merah hitam bersponsor maskapai penerbangan internasional.
Melawan dua tim ibu kota, kalah. Melawan saudara sekota, kalah. Melawan tim papan bawah, imbang tanpa gol. Pekan lalu melawan tim yang diejek karena kalah tujuh kali kalah di final Liga Champions, juga kalah. Terus menangnya kapan? Apa harus menunggu paruh kedua saat melawan Crotone, Cagliari, SPAL, dan Chievo lagi?
Baca juga: Kritik Keras Silvio Berlusconi terhadap Vincenzo Montella dan Leonardo Bonucci
Membeli penyerang yang berlabel The Next Cristiano Ronaldo, ternyata mandul. Membeli bek tengah seharga 42 juta euro, justru menjadi penyebab kekalahan. Hingga saat ini, pergerakan terbaik Milan di bursa transfer hanyalah mempertahankan Gianluigi Donnarumma dan Suso.
Ini merupakan musim ketiga secara beruntun Milan tidak tampil di Liga Champions. Artinya, sudah tiga musim lamanya I Rossoneri terlempar dari posisi tiga besar klasemen akhir dan tidak menjuarai piala domestik. Sebuah pencapaian yang sangat bagus dan benar-benar mencerminkan julukan Il Club Più Titolato Al Mondo (Klub Tersukses di Dunia).
Sukses dalam mengukir sejarah, sukses dalam membuai para pendukungnya dengan memori masa lalu, dan sukses mengumbar harapan palsu di setiap musimnya untuk kembali ke tangga juara atau lolos ke Liga Champions. Mungkin itulah tiga hal yang menggeser makna kata “sukses” di julukan tersebut dalam satu dekade belakangan.
Satu pelatih minim pengalaman datang, lalu di akhir musim dipecat, diganti pelatih lain yang juga minim jam terbang. Ia kemudian dipecat juga, diganti oleh pelatih medioker yang belum lama naik daun, lalu dipecat lagi, dan diganti pelatih medioker lain. Begitu saja terus sampai film The Fast and The Furious tamat. Tidak ada habisnya.
Ketika dana besar diguyurkan dan belasan pemain baru didatangkan, hasilnya sama saja. Bahkan, ada salah satu Milanista follower Football Tribe di Twitter yang mengatakan bahwa lebih baik hasilnya seperti ini tetapi dengan skuat musim lalu, daripada tetap berkutat di papan tengah dengan skuat super mahal saat ini.
Membangun ulang tim bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dilakukan dengan cepat. Napoli butuh satu dasawarsa untuk melakukannya, AS Roma juga tidak melakukannya dengan singkat, begitu pula dengan Lazio ataupun Tottenham Hotspur di Inggris. Semuanya butuh proses. Lebih baik sedikit demi sedikit pemain datang, tapi hasilnya maksimal.
Pelatih manapun akan sulit bekerja dengan target tinggi dalam waktu singkat, pemain juga akan sangat tertekan saat tampil di lapangan. Para petinggi AC Milan perlu menengok ke belakang sebentar, ketika Silvio Berlusconi pun tidak membangun Milan dalam waktu yang sebentar. Trio GreNoLi tidak datang secara bersamaan, trio Belanda tidak tercipta dalam semusim, dan tembok Paolo Maldini-Alessandro Nesta-Billy Costacurta tidak hadir dalam sekejap.
Itulah mengapa yang bisa membuat Milan hebat lagi mungkin hanya Bandung Bondowoso. Dengan keahliannya yang dapat membangun 999 candi dalam semalam, ia tentunya merupakan allenatore yang tepat bagi Milan, untuk membangun kejayaan dalam waktu yang singkat.
Sampai kapanpun, jika kebijakan ini tidak diubah, yaitu juru taktik yang terus menerus diganti tiap musimnya, dan pemain didatangkan secara serampangan, kejayaan mungkin takkan kunjung didapat. Kecuali, jika sosok Bandung Bondowoso dapat dihidupkan kembali untuk mengeluarkan daya magisnya bagi klub pemilik 18 scudetti ini.
Sebab, batas antara kejayaan dan kegagalan Milan saat ini sangat tipis. Ketika upaya untuk kembali berprestasi sedang dilakukan, di saat yang bersamaan, kegagalan besar juga mengintai. Mengancam keberadaan Milan untuk menjadi dongeng nostalgia dan membuat lemari trofinya menjadi obyek wisata, seperti Candi Prambanan dan puing-puing lainnya ciptaan Bandung Bondowoso.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.