Amat jarang kita menemukan pesepak bola asal Inggris, atau wilayah Britania secara umum, sukses dalam meniti karier di liga sepak bola yang berada di wilayah Eropa daratan. Nama-nama seperti John Charles, Mark Hateley, Chris Waddle, Gary Lineker, Steve McManaman, David Beckham, atau kini Gareth Bale, mungkin bisa menjadi pengecualian.
Namun rasanya, tidak banyak yang mengingat kiprah seorang gelandang tengah yang tidak hanya memiliki daya juang tinggi khas pemain-pemain Britania, namun juga memiliki kemampuan mengumpan dan memainkan tempo layaknya pemain dari wilayah daratan Eropa atau Amerika Latin. Dia adalah Vincent “Vinny” Samways.
Ya, dibandingkan dengan nama-nama terkenal tadi, Samways mungkin bukan siapa-siapa. Akan tetapi, memang Samways memiliki perjalanan karier yang berbeda dengan pemain-pemain tadi. Jika mereka sudah menyandang nama besar dan mampu menciptakan euforia, Samways tidaklah demikian. Ia tidak datang sebagai pemain berprofil tinggi.
Meski begitu, Samways berhasil menghabiskan tujuh tahun kariernya di dua klub Spanyol, yaitu Las Palmas dan Sevilla. Khusus di Las Palmas, para pendukung klub yang bermarkas di Pulau Canary ini mendapuknya sebagai pemain favorit mereka. Hal ini juga menunjukkan bahwa kedatangan Samways adalah murni alasan sepak bola, bukan karena alasan pemasaran.
Menjanjikan di usia muda
Lahir di London 49 tahun lalu, Samways berhasil menembus akademi Tottenham Hotspur untuk kemudian mengawali karier seniornya pada usia 18 tahun di klub tersebut. Umpan-umpan akurat, visi bermain yang baik, dan daya juang yang tinggi, membuatnya mapan di lini tengah Spurs. Sebagai pemain muda potensial, namanya pun kerap menghiasi tim nasional Inggris U-21. Ia juga sempat dinominasikan untuk dipanggil oleh tim nasional senior, meski akhirnya urung terwujud.
Dari delapan musim yang ia habiskan di White Hart Lane, kemampuan Samways sebetulnya cukup diakui. Terbukti, ia mencatatkan 193 penampilan bersama The Lilywhites. Ia juga turut menyumbang gelar Piala FA tahun 1991. Jika kemudian tersingkir dari tim inti, hal ini lebih karena persaingan keras untuk memperebutkan posisi gelandang di kesebelasan ini.
Pada saat itu, Spurs memiliki gelandang-gelandang berbakat seperti Paul “Gazza” Gascoigne, Steve Sedgley, Paul Allen, dan Darren Anderton. Samways pun dipandang sebagai surplus, yang kemudian membuatnya ingin pindah.
Everton menjadi pelabuhan Samways berikutnya, di mana The Toffees harus membayar 2,2 juta paun untuk memindahkannya ke Goodison Park. Di lini tengah klub yang kala itu dilatih Joe Royle, Samways bahu membahu bersama Andres Limpar, Graham Stuart, Barry Horne, dan Joe Parkinson. Namun meski saat itu The Toffees mengakhiri musim dengan merebut gelar Piala FA setelah mengalahkan Manchester United pada babak final lewat gol penyerang Paul Rideout, Samways gagal menembus tim inti.
Ia hanya bermain sebanyak 23 kali dan mencetak dua gol dalam dua tahun kiprahnya di Everton, di mana musim kedua dihabiskannya sebagai pemain pinjaman di klub Wolverhampton Wanderers dan Birmingham City. Ketika kontraknya habis tahun 1996, kedua pihak setuju mengakhiri kerja sama. Di usia yang sudah memasuki 28 tahun dan memasuki periode akhir puncak permainan, Samways mendapati hari depan yang belum jelas.
Keputusan berani berbuah pengakuan cult hero
Namun ternyata, situasi ini yang kelak mengubah total warna karier dari Samways. Berkat kemampuannya dalam mengumpan dan mengatur tempo, sebuah klub yang bermain di level kedua kompetisi sepak bola Spanyol, Las Palmas, menyatakan ketertarikan. Sepak bola Spanyol memang berbeda dengan Inggris, di mana faktor artistik dan pengaturan tempo dihargai lebih ketimbang agresivitas dan faktor-faktor fisik lainnya. Samways pun menerima tawaran itu.
Ternyata, ia menemukan kecocokan ketika menginjakkan kaki di rumput lapangan Iberia, meskipun harus rela turun level. Sergio Kresic, pelatih Las Palmas saat itu, bahkan menunjuknya sebagai kapten, tanda bahwa ia adalah salah satu pemain terpenting dalam tim.
Melalui perjuangan keras hingga empat tahun, Samways akhirnya berhasil memimpin tim yang bermarkas di Estadio Insular ini promosi ke Primera Division, di mana ia kemudian berkesempatan menghadapi pemain-pemain dunia seperti Zinedine Zidane, Gaizka Mendieta, dan Rivaldo.
Jurnalis kenamaan Inggris yang tinggal di Spanyol, Sid Lowe, sempat mewawancarainya saat Samways masih bermain. Secara khusus, Samways tertarik membicarakan caranya bermain yang membuatnya kerap terkena hukuman kartu dari wasit. “Saya tidak mengubah cara saya bermain. Bedanya ketika di Inggris, wasit memberi peringatan dahulu saat Anda melakukan pelanggaran,” ujarnya. “Di sini, mereka langsung menghadiahi Anda kartu kuning.”
Kendala bahasa dan budaya memang awalnya sempat membuatnya kesulitan, namun kemudian ia mampu mengatasinya. Bahkan, lidahnya cocok dengan salah satu kuliner khas Spanyol, yaitu paella, hingga kemudian berniat menetap di negeri itu setelah karier sepak bolanya usai.
Hingga usia 34 tahun, ia menjadi idola bagi publik Estadio Insular. Namun, periode indah pun pasti ada akhirnya. Pihak klub mengakhiri kerja sama dengannya pada tahun 2002, yang kemudian membuatnya pindah ke Sevilla, di mana ia tampil sebanyak 10 kali dan menjadi pemain asal Inggris pertama yang melakoni derbi Andalusia melawan Real Betis.
Setahun kemudian, ia mudik untuk bermain di Walsall. Namun, hati pemain yang hari ini (27/10) berulang tahun ke-49 ini, sepertinya sudah tertambat di Negeri Matador. Alih-alih pensiun di kota kelahiran, Samways memilih mengakhiri karier sepak bolanya di klub divisi bawah Spanyol, Algeciras, pada tahun 2005.
Rasa cintanya kepada Spanyol kembali diwujudkan ketika mengawali kariernya sebagai pelatih. Ia memulainya di klub San Pedro tahun 2006, meski kemudian mengakhirinya dua tahun berselang. Kabar terakhir, Samways masih menetap di Spanyol dan melanjutkan hidup dengan menjalani profesi sebagai agen pemain. Ia juga sempat membuka sebuah bar.
Meski tanah Spanyol telah merebut hatinya, namun ia tidak lupa pada akar. Vinny Samways masih tetap dan akan selalu menjadi pendukung fanatik Spurs. “Saya memiliki kenangan spesial bersama mereka. Semifinal Piala FA tahun 1991, kami mengalahkan Arsenal 3-1, lalu kemudian kami memenangkan Piala FA. Itu adalah momen terbaik,” ujarnya.
Selamat ulang tahun, Samways! Tidak banyak pesepak bola asal Inggris yang berani memilih jalan yang berbeda seperti Anda!
Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)