Ranah maya tengah dibuat meriang oleh pidato Anies Barwedan setelah resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk masa bakti 2017-2022. Penggunaan kata “pribumi” di dalam pidato memicu perdebatan, bahkan Anies Baswedan sudah dilaporkan ke polisi karena penggunaan kata yang sudah dilarang tersebut.
Penggunaan kata pribumi dalam pidato Anies Baswedan dengan segera dihubungkan dengan caranya “menyindir” lawan politik ketika memperebutkan kursi DKI 1. Rival Anies Baswedan, yaitu Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, adalah orang keturunan Tionghoa. Banyak yang memandang diksi Anies ini sebuah blunder dan rentan memicu kisruh lebih lanjut.
Dan memang tak butuh waktu lama, bola salju blunder itu menggelinding dengan lincah. Merespons pilihan kata Anies, Banteng Muda Indonesia siap membawa blunder tersebut ke ranah hukum. Kepala Departemen Bidang Hukum dan HAM DPD Banteng Muda Indonesia, Pahala Sirait, dan Wakil Ketua Bidang Hukum, Ronny Talapessy, sudah berkunjung ke Polda Metro Jaya guna berkonsultasi dengan pihak kepolisian.
Memang, kata pribumi sudah tidak boleh digunakan karena menghadirkan makna yang bias, bahkan sudah ada peraturan yang dibuat. Penggunaan kata pribumi dan non-pribumi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 dan dilarang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Oleh sebab itu, Banteng Muda Indonesia, melalui Pahala Sirait, berpendapat bahwa pilihan kata Anies ini akan “menjadi bola liar”, seperti yang dikutip oleh cnnindonesia.
Bola liar memang berbahaya, karena gelindingnya bisa menyenggol pihak-pihak yang sebetulnya netral dan tengah menikmati hidup jauh dari ingar-bingar politik. Apakah pernyataan Anies tersebut bisa memicu kerusuhan sosial? Jawaban dari pertanyaan mengerikan itu tentunya masih tersimpan dalam hati masing-masing.
Bisakah sepak bola menjadi laboratorium persatuan?
Dari kacamata sepak bola, pemilihan kata Anies bisa sangat berbahaya, karena ada nuansa rasialis yang terkandung di dalamnya. Seperti yang kita tahu, FIFA, dan semua badan sepak bola di dunia sangat getol untuk menendang sikap rasis jauh-jauh dari sakralnya lapangan hijau. Aksi rasis bisa dihukum berat.
Meskipun belum sepenuhnya sehat, sepak bola dapat dijadikan sebuah laboratorium persatuan, menjadi lahan uji coba, menjadi contoh tentang kebaikan manusia. Yang perlu dilakukan hanyalah menggunakan akal sehat, berlogika, dan membuka hati. Ingat, perbedaan bukan untuk diseragamkan, namun untuk dihargai dan dirayakan.
Juan Mata misalnya. Pemain Manchester United tersebut membuat aksi kemanusiaan yang diberi tajuk Common Goal. Aksi amal ini bertujuan untuk membantu manusia, siapa saja, tanpa memandang ras, suku, agama, kepercayaan, dan lain sebagainya. Sejuknya aksi Mata adalah contih sederhana tentang menghargai keberadaan sesama, bukan justru membuat dikotomi atas perbedaan.
Jika Juan Mata terlalu jauh dari Indonesia, panggung politik bisa meniru aksi Madura Bersatu yang terus diperkuat oleh semua elemen suporter Madura United. Pulau Madura terdiri dari empat kabupaten, yang masing-masing punya klub sendiri. Namun, Pulau Madura seperti bersepakat untuk meninggalkan perbedaan dan bersatu demi Madura United.
Baca juga: Madura Bersatu: Merajut dan Merawat Benang Persaudaraan
Bagi orang Madura, sepak bola adalah pemersatu. Dan jika kita bicara sepak bola, artinya kita tengah membawa begitu banyak elemen ke tengah gelanggang, mulai dari pemain, suporter, manajemen klub, sponsor, penjaja lumpia di Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, penjaja tahu goreng di Stadion Sultan Agung Bantul, hingga calo tiket yang hidup dari lapangan hijau.
Semuanya punya warna masing-masing dan saling membutuhkan. Mereka semua tidak bisa hidup di dalam kotaknya sendiri. Sepak bola adalah kebaikan yang saling mengikat. Oleh sebab itu, sepak bola adalah laboratorium terbaik untuk melihat bagaimana perbedaan dihargai dan kegembiraan bersumber dari sana.
Salam Satu Bangsa
Selain dari Pulau Garam, panggung politik juga bisa belajar dari pemikiran luar biasa dari Suwanto ST, pendiri Balikpapan Suporter Fanatik. Suwanto adalah orang pertama yang memekikkan “Salam Satu Bangsa” dan dijawab dengan kata “Merdeka!”
Dasar pemikiran Suwanto sangat sederhana. Balikpapan dikenal sebagai Indonesia Mini, dengan begitu banyak pendatang untuk mencari pekerjaan. Para pendatang tentu membawa latar belakang yang berbeda, dari Indonesia paling timur, hingga paling barat. Semuanya tumpah-ruah di Balikpapan dan sebagian juga menjadi suporter klub Persiba Balikpapan.
Suwanto ingin menegaskan bahwa pendukung Persiba Balikpapan sadar akan perbedaan. Balistik harus bersatu, karena pada dasarnya, semua manusia yang berproses di dalamnya merupakan rangkuman paling jelas tentang bangsa Indonesia. Satu bangsa, satu bahasa, Indonesia. Maka, Salam Satu Bangsa merupakan wujud menghargai perbedaan, sekaligus tetap bisa mendukung klub kesayangan.
Suwanto ST juga menggunakan kata “Merdeka!” sebagai sahutan dari Salam Satu Bangsa. Kata ini melambangkan bahwa mereka yang tergabung dalam Balistik adalah manusia-manusia bebas yang bisa mengkespresikan diri tanpa takut pelabelan seperti pribumi, peranakan, atau orang keturunan.
Anies Baswedan boleh menggunakan kalimat pribumi yang merdeka dari penjajahan, kalimat yang justru memicu polemik berbahaya. Dari Suwanto ST dan Balistik kita belajar tentang makna berproses BERSAMA meski dalam PERBEDAAN. Saling mendukung, saling menghargai. Perbedaan tidak digunakan untuk mengkerdilkan sesama.
Dari sepak bola Indonesia yang belum sehat ini pun, banyak makna tulus yang bisa kita resapi. Ketika hidup makin berat, ketika politik makin bajingan, mari jaga sepak bola Indonesia tetap Bhineka Tunggal Ika.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen