Dalam kolomnya di FourFourTwo, Scott McIntyre mengupas bagaimana kebijakan Travel Ban Presiden baru Amerika Serikat (AS), Donald Trump, akan mempengaruhi sepak bola. Kebijakan yang di media sosial lebih dikenal dengan sebutan #MuslimBan itu memang kontroversial dan merupakan implementasi dari salah satu janji-janjinya selama kampanye.
Peraturan ini melarang warga negara dari tujuh negara Timur Tengah untuk mengunjungi AS yaitu Suriah, Iran, Sudan, Libya, Somalia, Yaman, dan Irak. Anehnya, warga negara dari negara-negara yang pernah terlibat terorisme seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir tidak termasuk. Peraturan ini turut berlaku bagi mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda.
Aroma fasisme dan kebencian terhadap Islam semakin menguap ke permukaan ketika kita membaca bahwa dalam hal penerimaan pengungsi, AS akan lebih mengutamakan mereka yang beragama Kristen ketimbang Islam. Menurut McIntyre, dampak langsung terhadap sepak bola ada pada kualifikasi Piala Dunia 2018. Urutan kelima dari negara Asia akan bertarung dengan urutan keempat negara yang tergabung dalam konfederasi CONCACAF.
Timnas AS sejauh ini telah mengalami dua kekalahan di dua laga perdana sehingga kemungkinan untuk itu semakin terbuka. Peraturan ini juga akan membuat sepak bola runyam karena banyak pemain ataupun ofisial yang memiliki kewarganegaraan ganda yang mana salah satu paspornya terikat dengan peraturan tersebut.
Politik dan sepak bola
Politik memang pernah begitu dekat dengan sepak bola. Sepak bola turut memicu suatu kesadaran negara-bangsa (nation-state). Kita ingat bagaimana di awal abad ke-20 Adolf Hitler, Benito Mussolini, Jendral Franco memanfaatkan sepak bola demi penyebaran ideologi fasis. Fasisme mereka kelak mewarnai dan merubah peta politik dan geopolitik, selain tentu saja mengorbankan jutaan nyawa.
Saat mereka memperjuangkan kemerdekaan dari kolonial Perancis, Aljazair membentuk skuat sepak bola, FLN XI, yang berekspedisi keliling dunia demi memerdekakan Aljazair secara simbolis, serta menggaungkan ide-ide kemerdekaan Aljazair. FLN merupakan abreviasi dari Front de Libération Nationale.
Dikutip dari The Rec.Sport.Soccer Statistics Foundation, FLN XI sukses menjalani 91 pertandingan dengan bemacam negara mulai dari Yugoslavia, Cina, sampai Vietnam. Presiden pertama Aljazair, Ahmed Ben Bella, sempat mengikuti trial untuk klub Perancis Marseille.
Indonesia sendiri pernah berani menyatakan sikap kebangsaan saat mereka menolak bertanding di tanah Israel. Babak kualifikasi Piala Dunia 1958 mempertemukan Indonesia dengan negara penjajah itu, Indonesia mengajukan kepada FIFA untuk bertanding di tanah netral, yang mana permintaan tersebut ditolak FIFA.
Sikap Indonesia kemudian membuat langkahnya terhenti karena didepak otoritas sepak bola. Namun hal itu tidak membuat negara lain, Sudan, untuk mengikuti sikap politik Indonesia.
Kebangkitan sayap kanan
Kemenangan Trump dan Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) disinyalir sebagai indikasi bangkitnya populisme yang dilandasi kebencian terhadap identitas tertentu. Di Inggris, faktor banyaknya imigran dan kemampuan mereka menjalani lompatan mobilitas vertikal adalah salah satu penyebab keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Kebijakan imigrasi, secara umum telah menjadi hantu bagi negara-negara Eropa.
Sementara di AS, narasi kampanye Trump yang kontradiktif dengan kenyataan sejarah tak menghalau kejayaannya atas Hillary Clinton. Publik merasa apa yang selama ini mereka simpan atau bicarakan diam-diam terwakili oleh sikap politik Trump.
AS adalah negara yang sarat akan multietnis (identitas) sejak awal ia berdiri. Dalam perkembangannya, identitas tersebut melebur menjadi satu warna, American pride, yang sayangnya mendiskreditkan warga non kulit putih dan Muslim.
Dikutip dari Indoprogress, momentum Brexit menginspirasi Perancis untuk turut melakukan referendum guna keluar dari Uni Eropa. Marine Le Pen dengan Front Nasional Perancis (NF)-nya dikenal sebagai wajah sayap kanan Perancis yang telah lama berseberangan dengan ide-ide pluralisme identitas dan persatuan Eropa.
Le Pen sendiri telah terang-terangan mencampuri urusan sepak bola. Saat Karim Benzema dicopot pelatih Perancis Didier Deschamps, striker Real Madrid tersebut berbicara kepada harian Marca bahwa hal tersebut terjadi berkat tekanan yang diberikan sayap kanan Perancis kepada Deschamps.
“Dia (Deschamps) telah bertekuk lutut kepada kelompok Perancis yang rasis. Dia harus sadar bahwa partai ekstremis menempati urutan kedua di dua pemilu terakhir,” kata eks striker Lyon berdarah Aljazair itu yang dikutip dari Guardian.
Padahal pada 1998 kita tahu bagaimana Perancis dengan multietnisitasnya berhasil menggemakan sepak bola inklusif saat Zinedine Zidane berhasil memboyong trofi untuk pertama kalinya. Timnas saat itu dihuni wajah-wajah bercorak plural. Chris Hunt dari FourFourTwo menyebut mereka sebagai ‘The Multiracial Rainbow Warriors.’
Uniknya, mereka juga mendapat tekanan dari pihak yang sama. Saat itu, pemimpin NF Jean –Marie Le Pen (ayah dan penduhulu Marine) berkata dengan tegas bahwa ia tidak mengakui timnas yang berlaga di Perancis 1998.
Kebangkitan sayap kanan juga menjangkiti Belanda. Wajah fasis negeri kincir angin ada pada sosok Geert Wilders, pembenci Islam nomor wahid. Pemimpin PVV (Partij voor de Vrijheid; Partai untuk Kebebasan) ini mencuat pada 2008 saat ia membuat film kontroversial yang menyudutkan Islam, Fitna.
Terkait keberadaan para pengungsi Timur Tengah, ia mengatakan bahwa mereka sebaiknya didekam dalam penjara guna menghentikan jihad seksual mereka. Ia juga menyebut bahwa itu untuk melindungi perempuan Belanda dari ‘bom testosteron’ pria muslim. Sebuah ucapan yang sarat kontroversi dan tentu menunjukkan wajah fasisme yang menjangkiti Belanda.
Meski belakangan agak melempem, sepak bola Belanda, sama seperti Perancis, juga banyak dihuni pemain-pemain imigran atau keturunan imigran. Kejayaan terakhir Belanda lewat Ajax Amsterdam di pertengahan ’90-an sarat akan warna plural.
Edgar Davids (warga Belanda kelahiran Suriname), Patrick Kluivert (berayah) Suriname dan ibu Curaçao), dan Michael Reiziger (keturunan Suriname) bersanding dengan duo Nigeria, Finidi George dan Nwanko Kanu. Jangan lupakan pula Frank Rijkaard dan Winston Bogarde
Tanpa mengesampingkan peran pemain asli Belanda di tubuh klub tersebut, Ajax 1994-95 mencatat prestasi. Mereka menjuarai Eredivisie tanpa kalah, lalu mengempaskan AC Milan lewat gol Kluivert yang saat itu baru berumur 18 tahun.
Demikian, sepak bola harus menyikapi ini dengan bijak. FIFA sendiri telah mencanangkan perubahan sejak lengsernya Sepp Blatter. Sepak bola telah sukses menyatukan berbagai kelompok, namun pernah juga memecah-mecahnya. Semoga bola terus bergulir ke nurani dan akal sehat.
Di atas kepentingan apapun, sepak bola dan lapangan hijau harus selalu mempunyai ruang terbuka untuk kemanusiaan. Satu hal yang membuat olahraga ini terasa begitu humanis bagi manusia.
Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com