Bagi para laki-laki, menangis adalah satu dari sekian ‘aktivitas’ yang amat dihindari. Tak perlu susah-susah mencari alasannya, karena dipandang dari sisi manapun, menangis lekat dengan sifat cengeng dan lemah. Sementara hal tersebut tidak ada di dalam ego para lelaki.
Mungkin, hanya karena sebab tertentu saja, para lelaki akan ikhlas menitikkan air matanya. Boleh percaya maupun tidak, namun sepak bola pasti masuk ke dalam salah satu penyebab itu.
Pada tahun 2010 kemarin, saya dengan ‘senang hati’ menitikkan air mata begitu menyaksikan penyerang Internazionale Milano, Diego Milito, menjebol gawang Bayern München sebanyak dua kali dalam partai final Liga Champions. Dwigol pria berkebangsaan Argentina tersebut sudah lebih dari cukup untuk membawa I Nerazzurri jadi kampiun Liga Champions untuk kali ketiga sepanjang sejarah.
Namun berselang satu dasawarsa sebelumnya, saya juga pernah menangis karena sepak bola. Bedanya, tangisan ini diakibatkan rasa kecewa, marah, dan risau. Semuanya disebabkan oleh satu figur yakni David Trezeguet.
Pada pagelaran Piala Eropa 2000 yang diselenggarakan di Belanda dan Belgia, tim nasional Italia yang skuatnya diisi nama tenar seperti Fabio Cannavaro, Alessandro Del Piero, Paolo Maldini sampai Francesco Toldo, dan dibesut oleh Dino Zoff, kembali didapuk sebagai calon juara bareng tim-tim tangguh lain semisal Belanda, Jerman, dan Prancis.
Keseriusan Italia dalam kampanye meraih titel kedua dalam sejarah keikutsertaan mereka di Piala Eropa pun ditunjukkan dengan cara yang brilian. Anak asuh Zoff berhasil mengandaskan perlawanan Turki, Belgia, Swedia (di fase penyisihan grup), Rumania (perempat-final), dan tuan rumah Belanda (semifinal). Partai melawan Belanda malah berlangsung menegangkan karena ditentukan via adu penalti.
Sampai akhirnya, di partai final mereka harus berjumpa Prancis yang merupakan kampiun Piala Dunia 1998 dan skuatnya dijubeli banyak pemain bintang seperti Laurent Blanc, Youri Djorkaeff, Thierry Henry, Robert Pires, sampai Zinedine Zidane.
Walau berakhir nirgol di babak pertama karena masing-masing tim gagal memanfaatkan peluang yang mereka miliki, partai final yang diselenggarakan di Stadion De Kuip itu terkesan sempurna bagi Italia ketika Marco Delvecchio, berhasil menjebol gawang Prancis di menit ke-55.
Keunggulan tipis ini sendiri sanggup dipertahankan oleh anak asuhan Zoff hingga laga mendekati detik-detik penghabisan. Namun nahas bagi Italia, keajaiban untuk Les Bleus justru muncul di menit ke-93 atau hanya berselang sekian detik dari usainya laga.
Adalah Sylvain Wiltord, pemain yang dimasukkan Roger Lemerre di babak kedua, yang jadi pencetak gol penting tersebut. Papan skor lantas berubah menjadi 1-1 sehingga laga terpaksa dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Gol yang dibukukan Wiltord itu justru memompa semangat Prancis untuk terus menekan pertahanan Italia. Hingga akhirnya, di menit ke-104, Trezeguet sukses mencetak golden goal ke gawang Toldo memanfaatkan umpan menyusur tanah yang dilepaskan Pires dari sisi kanan pertahanan Gli Azzurri guna mengakhiri laga.
https://www.youtube.com/watch?v=IJyH1qkoWRg
Sungguh, memandang Trezeguet berselebrasi dengan membuka kaos bareng rekan-rekannya yang disambut raut wajah kecewa para pemain Italia adalah sesuatu yang menyesakkan di dalam dada. Bersamaan dengan itu, pipi saya mulai basah dengan air mata. Sungguh, malam itu terasa pahit sekali.
Tapi uniknya, setelah membuyarkan mimpi Italia di Piala Eropa 2000, Trezeguet justru berkiprah di Negeri Pizza bareng salah satu tim raksasa, Juventus. Kesepakatan yang dicapai pihak Trezeguet dan I Bianconeri sendiri hanya terjadi satu hari sebelum final dramatis tersebut.
Kala itu, Juventus kudu menebus mahar Trezeguet senilai 20 juta euro kepada AS Monaco. Namun keputusan yang diambil manajemen I Bianconeri sama sekali tidak salah. Penyerang berkepala plontos ini sukses beradaptasi dengan cepat sekaligus menjadi andalan baru Juventus di lini depan. Duetnya bersama Del Piero menjadi senjata baru yang wajib diwaspadai lawan.
Dikenal sebagai penyerang oportunis, Trezeguet sanggup mencetak 171 gol dari 320 penampilan bersama I Bianconeri di seluruh ajang. Pencapaian apik ini sendiri dicatatkannya dalam kurun sepuluh musim berseragam Juventus. Rekor gol itu bahkan menempatkannya sebagai pencetak gol terbanyak keempat I Bianconeri sepanjang sejarah!
Bersama Juventus, lelaki kelahiran 15 Oktober 1977 ini juga sukses menggondol beberapa titel prestisius, mulai dari Scudetto, Piala Italia hingga Piala Super Italia. Meski begitu, ada satu penyesalan hebat yang dirasakan Trezeguet selama berseragam hitam-putih yakni gagal memenangi Liga Champions di musim 2002/2003 akibat keok dari AC Milan dalam partai yang bertajuk All Italian Final.
Selain Monaco dan Juventus, pria yang juga memiliki darah Argentina ini juga sempat membela Platense, Hercules, Baniyas, River Plate, Newell’s Old Boys, dan Pune City sebelum akhirnya pensiun pada tahun 2015 kemarin.
Kini, Trezeguet duduk sebagai Presiden Juventus Legends sekaligus menjadi duta besar klub dalam berbagai kegiatan. Harus diakui, meski memperkuat sejumlah klub yang berbeda sepanjang kariernya, nama Trezeguet akan selalu lekat dengan I Bianconeri sampai kapanpun.
Bon anniversaire, Trezegol!
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi )
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional